END

12.6K 53 4
                                    

***

Dingin tapi hangat.

Aku membuka kelopak mataku. Berat sekali. Bias cahaya lampu ublik di sudut kamar membantuku melihat. Menoleh. Samar-samar aku bisa melihat dari jendela jikalau hari sudah gelap. Jam berapa, aku tak tahu. Hanya satu yang kutahu: tidak ada Nenek di sampingku.

Aku menyingkap selimut tebal membungkus tubuh. Mendapati diriku yang masih telanjang bulat. Bedanya, seluruh tubuhku terasa ringan. Tidak ada lengket dan bau kelamin seperti sebelum-sebelumnya kala aku biasa memadu cinta bersama Nenek.

"Ah, setan!" aku meringis kesakitan. Batang kontolku ngilu minta ampun. Mati rasa saat aku menyentuhnya dengan telapak tangan. Efek seharian aku bercinta layaknya binatang baru terasa sekarang.

Aku mengatur nafasku sejenak. Setelah agak tenang, aku bangkit dari ranjang. Duduk sebentar di tepi ranjang. Kembali mengingat persetubuhan abnormal yang kulakan. Korbannya sudah barang tentu si Nenek binal.

Nenek.

Wanita tua super genit itu sungguh mampu membuat jiwaku bergejolak. Kadang senang, sedih, marah, sampai tertawa sinting berdua.

Lamunanku terus bergulir mengingat bagaimana keseriusan Nenek menolak untuk aku jadikan pasangan hidup. Aku masih belum memahami jalan pikiran si genit itu. Sedikit kesimpulanku adalah Nenek yang seolah menghindar jika obrolan jadi serius. Ia seperti orang yang hanya menikmati kehidupan tanpa melibatkan perasaan.

Lucu. Dibalik tingkah jenakanya mengundang kekesalan, Nenek menyimpan hati yang lebih dingin ketimbang kulkas. Belum lagi dirinya menganggap segala hal sebatas candaan.

Mengingat memori buruk itu, membuat hatiku semakin sakit. Penolakan dari Nenek yang menyimpan tanda besar di kepalaku masih mengundang rasa penasaran. Aku yakin kalau Nenek punya alasan tersendiri. Tak mungkin ia setega itu denganku. Terlebih aku cucu pertamanya. Cucu yang juga memberinya kenikmatan di atas ranjang.

Memikirkan ini semua seorang diri memang berat dan melelahkan. Mau tak mau aku butuh bantuan seseorang yang ada kaitannya perihal diriku. Kalau mencoba memaksa Bu Rini angkat bicara, itu jelas sulit. Ia sudah memberi clue. Tinggal bagaimana caranya aku menyelesaian apa yang sudah kumulai.

Baik, Kobe. Santai, tenang kalem. Satu persatu akan terbuka. Dirimu harus lebih sabar sambil mengurai benang kusut sampai menemukan titik terang. Sampai saat itu tiba, aku akan memilih bungkam terlebih dahulu.

Aku turun dari ranjang. Berdiri di depan almari mencari pakaian. Jujur saja malam ini jauh lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Apa mungkin akan turun salju, ya?

"Salju ndasmu!" kicau si Palu Gatot, yang setelah sekian kliwon tak kudengar suara cemprengnya.

"Sayangku, kamu sehat-sehat aja, kan?" sapaku, sambil mengelus si Palu Gatot yang sedang mencari posisi nyamannya bersembunyi dibalik celana dalam.

"Habis merawani pantat Nenekmu sendiri, otakmu tambah miring gini, Kapten."

"Aku ucapakan terima kasih sama kamu yang sudah menemaniku menjelajah ke gua paling angker, Tot. Untung aja kamu nggak tersesat."

"Aku nggak menerima terima kasih. Yang aku harapkan permintaan maafmu, bajingan."

"Maaf kenapa lagi? Kan kamu sudah dapat jatah banyak hari ini."

"Ini bukan masalah jatah. Ini masalah caramu memperlakukanku, su."

"Iya, iya. Mohon maaf diriku ucapkan, Gatot-ku sayang."

"Jancok! Jijik, cok! Udah sana mati aja kamu, Kapten!"

"Tadi disuruh minta maaf, sekarang disuruh mati. Maumu apa, tho?"

Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang