20

12K 54 13
                                    

***

Gemerisik pohon bambu yang saling bersinggungan mengundang serta hembusan angin sepoi di tengah terik matahari membakar ubun-ubun. Lirih tenang aliran air membentuk buih-buih yang jauh dari kata tercemar.

Iklan yang numpang lewat sebelumnya hanya sebatas buah liar imajinatif terkontradiksi sebuah momentum dilatasi waktu terbunuh sepi. Hanya dalam satu untaian kata tuk bisa memahami betapa sulitnya menggapai kata fokus manakala satu atau dua batu sandungan turut serta membantu menyedapkan rasa sebuah drama cinta tabu nan haram, yang kemudian melahirkan benih-benih nafsu berlandaskan janji suci dua insan mabuk kecubung.

"Hm, Umi," bisikku. Perlahan, aku menindih tubuh Nenek. Menatap wajahnya yang selalu tersenyum. "Aku ngaceng."

Nenek mengganguk. Seolah mengerti keinginanku. "Mau ngenthu di sini, Sayang?"

Aku melirik kanan-kiri. Mencoba memastikan sekali lagi spot yang duduki tak ada eksistensi manusia iseng yang mencoba mengintip. Atau kemungkinan terburuk malah ikut-ikutan jatah. Haduh. Kalau sudah begitu, moodku jelas hancur lebur. Bisa-bisa kepalanya aku jadikan gulai, lalu aku lempar ke kandang singa. Bajingan.

"Aman kan tapi?" tanyaku, sedikit ragu.

"Ndak tahu." Nenek malah tersenyum jahil. "Kalau ada yang ngintip pun, anggap aja rejeki."

"Aku yang nggak rela tubuh Umi jadi bahan coli, lah!"

"Tapi kan ndak sampai nyentuh ya biarin aja, tho, ya. Anggap aja sedekah."

"Sedekah susumu!" aku ngegas. Terlalu gemas diriku akan kegilaan Nenek yang harus ekstra sabar menghadapi kelakukan absurdnya bak apotik tutup. Tidak ada obat, bajingan.

Ya sudahlah. Sekali pun ada yang melihat kelakuan bejat kami, dan kalau sampai ikut campur, aku tinggal memukul kepalanya dengan batu.

Cup!

Hembusan angin sepoi-sepoi menjadi tanda dimulainya bibir Nenek yang masih tersenyum, untuk segera aku lumat. Memagutnya. Kami hanyut dalam ciuman yang perlahan membangkitkan nafsu birahi.

Seiring ciuman kami yang semakin liar, gestur tubuh Nenek kurasakan semakin resah gelisah. Bergerak ke kanan-kiri. Pahanya digesek-gesekkan di bawah tindihan si Palu Gatot.

Cup!

Kecupan keringan kuberikan di bibir Nenek, sebelum akhirnya aku menyudahi fase ciuman kami yang tanpa jeda nafas.

Dada Nenek naik-turun. Olah nafasnya tak beraturan. Dengan segera, aku menarik lepas kaus Nenek, berikut membuka kait bra besar yang menbungkus hampir seluruh payudaranya.

Boing-boing!

Bertelanjang dada sepunuhnya, tumpah ruah dua benda jumbo nan kenyal berwarna putih di hadapanku. Ukuran bak buah pepaya membuat ngiler setiap aku memandangnya. Belum lagi areola besar berwarna hitam yang di tengahnya terdapat puncak gunung nampak tegak menjulang senada mengeluarkan setitik air kenikmatan. Sungguh, darahku semakin berdesir melihatnya.

Aku ulurkan kedua tanganku meremas dan memijit dua pepaya Nenek. Jemari tanganku ikut aktif bergerak memilin-milin dua puting yang secara bertahap mulai besar, mekar, dan menegang. Persis seperti dot bayi.

Kemudian, bibir dan lidahku bergerak dinamis menelusuri wajah Nenek. Menjilatinya sampai tak sedikit pun wajah itu terlewati sapuan bibirku.

Dan sekarang, bibirku menuju telinga kiri Nenek. Menggigitnya lembut. Dengan sendirinya, kepala Nenek miring ke kanan dibarengi erangan lembut. Seolah memberikanku keleluasaan untuk menelusuri titik sensitifnya di sana. Kujulurkan lidahku menjilat rongga telinganya. Menghisap daun telinganya. Lalu, bibirku tiba di leher Nenek. Aroma keringat yang menguar dari tubuhnya semakin membutakan mataku.

Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang