9

18.2K 107 2
                                    

***

Malam bertabur bintang. Kilauan cahaya menghiasi bumi yang semakin tua. Sukar dipercaya jika kuasa Sang Pencipta itu benar adanya.

Bayangkan saja, andai bintang-bintang di langit punya kehendak sendiri, niscaya mereka akan dengan senang hati menghantam jiwa-jiwa yang telah terkontaminasi pikiran kotor nan cabul. Menghukum insan perusak muka bumi dengan menyebarkan paham normalisasi persetubuhan tanpa ikatan janji suci adalah suatu yang wajar.

Kembali lagi bersama aku, Kobe Bangun Kusumo. Yang sekarang baru saja menyelesaikan makan malam bertajuk menaikkan mood Nenek yang tiada menentu kejelasannya. Duduk ngobrol berdua di kursi bambu bawah pohon mangga belakang rumah. Ditemani teh hangat dengan jemari tangan terselip sebatang rokok, kami bercengkerama layaknya sepasang kekasih yang telah lama tak bersua.

Meskipun gayanya yang sengak dan suka meledak-ledak, Nenek masih bisa mengontrol diri agar tidak berlebihan dalam berkata-kata. Itu dibuktikan saat diriku kembali mengajaknya bergurau. Tanggapan ringan bin konyolnya yang selalu kunantikan.

Tak bisa kupungkiri jikalau aku mulai nyaman dan betah di tempat ini. Desa Gentengan yang menyimpan sejuta pesona para wanitanya yang menyegarkan mata.

Jujur saja, aku pribadi tak mempermasalahkan sama sekali karakter Nenek yang demikian unik. Bagiku, Nenek adalah Nenek. Wanita tua setengah sinting yang mengantongi perjakaku di dalam memeknya.

Satu hikmah yang bisa kupetik dibalik ini semua. Nenek adalah wanita kesepian yang membutuhkan teman untuk bercerita. Terlepas dari masa lalunya yang gemar mengobral kemaluan demi mencapai puncak tertinggi sebuah kenikmatan, aku salut akan prinsip kuat Nenek yang tak pernah menggunakan rasa. Meski hatinya sudah disakiti Kakek, Nenek tetap cinta, setia, sabar, dan telaten merawat Kakek.

Awalnya, cinta Nenek sepenuhnya untuk Kakek. Itu benar adanya. Namun, setelah mendengar pengakuan Nenek di akhir obrolan, Nenek memutuskan membagi cintanya kepadaku. Cinta seorang wanita yang lupa akan umurnya kepada seorang cucu yang haus akan rasa penasaran terhadap tubuh perempuan.

Satu pertanyaanku: apakah ini wajar?

Entahlah.

Keyakinanku tak pernah goyah sedikit pun meski berurusan dengan wanita mana pun. Satu-satunya wanita yang kucintai di kota hanya dia. Namun, seiring berjalannya jarum jam yang kini menunjukkan angka 21.30 malam, keyakinanku untuk menempatkan satu wanita di hati dengan cepatnya dijebol. Pelakunya adalah Nenekku sendiri, tentu saja.

"Ngomong-ngomong, besok Nenek mau ke mana?" aku yang tengah rebahan di paha Nenek mendongak menatapnya. Mengajukan pertanyaan untuk membuka obrolan baru guna mengalihkan fokus nafsu syahwat yang sedari tadi meronta-ronta.

"Oh, iyo. Ngene, Le. Mene iku Nenek kape tuku traktor enyar gawe mbajak sawah. Traktor seng lawas wes bejat, dadi perlu diganti. Terus perlu tuku siji maneh alat seng jenenge Kultivator digawe ngolah tanah ndek mburine gunung iki." (Oh, iya. Gini, Nak. Besok itu Nenek mau beli traktor baru buat mbajak sawah. Traktor yang lama sudah rusak, jadi perlu diganti. Terus perlu beli satu lagi alat yang namanya Kultivator dubuat ngolah tanah di belakang gunung ini.) Nenek menjelaskan panjang lebar. Tangannya yang bebas mengelusi rambutku penuh kasih.

Aku manggut-manggut. "Tek'e Kakek kabeh ta Nek lahane?" (Punya Kakek semua kah lahannya?)

"Iyo. Mangkane, mene Nenek rencana kape budal nang kota kabupaten. Toko'e mek onok ndek kono." (Iya. Makanya, besok Nenek rencana mau berangkat ke kota kabupaten. Tokonya cuma ada di sana.)

"Sama aku aja. Nggak usah sama Adam."

"Yo ndak pa-pa. Nenek malah seneng kalau kamu yang nemenin Nenek."

Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang