16

13.6K 78 9
                                    

***

Bunyi-bunyian hewan malam membentuk harmoni melodi syahdu bersamaan semerbak aroma sejuk pepohonan serta gesekan dedaunan yang rindang Desa Gentengan. Benar adanya jika hujan masih air. Namun, air hujan yang turun membasahi bumi sudah berhenti beberapa menit yang lalu. Menyisakan gerimis lembut membawa serta kabut tipis sebagai teman menemani langkah kakiku menapaki jalanan desa menuju rumah Nenek.

Inilah pilihanku. Menolak dan sebisa mungkin tak terlibat urusan ranjang dengan Tante Ima. Kenapa? Bekas cap telapak tangan berwarna merah di pipiku sudah menjelaskan bagaimana akhir dari sebuah cerita yang mendekati zina antara bibi dan keponakan beberapa waktu sebelumnya. Terdengar naif, tapi nyatanya aku memang tak mendapat feel apa pun saat bersama Tante Ima.

Lantas? Apa ungkapan cintaku sebelumnya kepada Tante Ima hanya bualan belaka? Tentu saja tidak. Aku memang menyukainya. Mencintainya layaknya seorang lelaki kepada wanita idamannya. Namun, saat aku mencoba menyelami lebih dalam untuk mengetahui perasaan apa yang tengah kurasakan, nyatanya bayang-bayang Nenek yang mengisi relung hatiku lebih dominan. Sosok Nenek benar-benar tak tergantikan, sekali pun pesona Tante Ima tak bisa diabaikan.

Kendati demikian, jikalau aku menuruti nafsu sesaat lalu berakhir menyatukan dua alat kelamin berbeda tanpa adanya ikatan yang jelas, tak ada bedanya aku seperti binatang jalang. Menghajar setiap lubang di berbagai kesempatan. Ya, benar. Hati kecilku berseru untuk tidak bercinta dengan perasaan timpang sebelah.

Di lain pihak, entah kejujuran atau sebatas nafsu sesaat kata cinta yang dituturkan oleh Tante Ima kepadaku, untuk sementara aku mundur karena aku memikirkan berbagai kemungkinan. Salah satunya soal Tante Ima yang begitu sempurna sebagai seorang wanita malah dimadu oleh Om Hasan. Jelas, ada udang dibalik batu. Pun ada tabir rahasia lebih gelap di antara mereka yang belum aku ketahui. Mengapa aku bisa beranggapan demikian? Itu karena saat mendengar dari Nenek masalah mandulnya Tante Ima, itu bukan alasan Om Hasan mencari pelampiasan ke wanita lain.

Ada banyak sekali asumsi yang kubangun di dalam benakku perihal bahtera rumah tangga Tante Ima. Tapi, aku tak ingin gegabah menyimpulkan. Kembali lagi, ini soal harga diri seorang lelaki. Aku menolak menjadi pelabuhan sementara tempat singgah adik ibuku itu. Yang kuinginkan, kami melakukannya tanpa alasan suatu hari nanti.

Ah, sudahlah.

Badanku sudah mencapai titik lelah. Lelah dalam arti yang sebenarnya. Terlebih barang bawaanku cukup banyak. Aku lupa barang apa saja yang aku beli di supermarket kota kabupaten. Mungkin nanti atau besok saja aku bongkar.

Saat ini, aku hanya ingin cepat sampai rumah. Mengistirahatkan badan, lalu bertemu Nenek.

Ah, Nenek.

Wanita itu sungguh membuatku gila. Seolah duniaku hanya terpaku padanya. Senyumnya, gaya bicaranya, tubuhnya, hingga tingkahnya yang jauh dari kata anggun kalau sedang tantrum. Ya, beliau lah alasan utamaku tak ingin membagi kontol ke wanita lain, biar wanita yang kumaksud adalah orang yang kusayang.

Sayang? Aku menyayangi Tante Ima? Tanteku sendiri? Istri orang yang kesepian itu? Lucu sekali.

Tap, tap, tap.

Sampai.

Halaman teras rumah Nenek gelap gulita. Sama sekali tak ada penerangan. Atau mungkin lampu ublik yang biasa dipasang sengaja tak dinyalakan. Entahlah. Tapi, kekhawatiranku kepada Nenek seketika menguap saat kudapati seorang wanita lanjut usia yang masih terlihat segar di usianya yang tak lagi muda itu tengah merokok. Entah mengapa, ia seolah kebal akan udara dingin yang menusuk tulang. Bagaiamana wanita tua itu tak memakai pakaian untuk menutupi atasan, dan hanya menggenakan kutang yang warnanya sudah pudar, sudah cukup menjadi alasan jikalau ia telah terbiasa menghadapi suhu ekstrim di desa ini.

Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang