***
Brum! Brum! Brum!
Aku membelah jalan dengan perasaan ringan. Bagiku, melakukan kebaikan kecil seperti barusan bukan semata-mata ingin minta balasan. Pun tidak selamanya otakku hanya soal selangkangan.
Menurutku, mengembalikan senyuman cerah di wajah orang yang kubantu sudah cukup membuat kesehatan mental serta moodku di zona bagus.
Selain daripada itu, sedikit banyak aku mengetahui jikalau membangun rumah tangga, sekaligus menghidup istri dan anak itu cukup kompleks. Termasuk pilar penting adalah ekonomi. Percuma saja hanya modal cinta dan kontol kalau si kepala keluarga tak memberi nafkah yang cukup. Terlebih biaya hidup zaman sekarang semakin mahal.
Total belanjaan dengan nominal 8 juta dua wanita di warung tadi sudah cukup menjelaskan kalau hidup itu sejatinya butuh uang. Memang sih uang bukan segalanya. Tapi segalanya butuh uang. Mungkin kalau dunia ini masih menerapkan barter, barulah uang tak banyak bicara.
Sekarang, motor RX King yang kutunggangi telah tiba di pelataran rumah Kakek. Tak banyak yang berubah. Ya iyalah. Baru berapa jam aku meninggalkan rumah, masa iya rumah ini tiba-tiba berubah jadi istana. Bajingan.
Brum! Brum! Brum!
Aku turun dari motor. Mematikan mesin. "Umi! Ini ditaruh mana?" setengah teriak, aku bertanya sambil menenteng dua sak karung berisikan masing-masing jagung dan kelapa berukuran besar.
"Taruh ndek teras ngarep ae, Be. Mengko aku seng ngurus." (Letakkan di teras depan saja, Be. Nanti aku yang ngurus.) Nenek menyahut dari arah ruang tamu sambil menghembuskan asap rokok kretek.
"Habis gini aku disuruh apalagi, Umi?" aku bertanya lagi sembari berjalan masuk ke dalam rumah.
Aku seka keringatku yang menetes di pelipis. Baru kusadari kulitku yang semula putih kini gosong terpapar sinar ultraviolet.
Tepat saat aku berdiri di depan Nenek yang duduk di ruang tamu sambil bersila, aku terperanjat saat mendapati wanita tua super binal itu hanya menggenakan kutang putih khas orang desa. Sedang bawahan sang Nenek hanya menggenakan kain jarik sebatas pusar.
Harusnya aku sudah biasa melihat pemandangan ini setelah beberapa hari tinggal di Desa Gentengan. Akan tetapi, namanya juga shock culture, aku masih terheran-heran. Sebab, tak hanya Nenek yang suka berpakaian terbuka mengundang birahi anak muda sepertiku, melainkan wanita-wanita desa yang aku temui di toko kelontong sebelumnya, pun di sepanjang jalan pulang juga sama.
Bagaimana bisa orang-orang di desa ini, terutama para lelaki, menahan godaan terindah yang tak pernah ditemui di sudut kota mana pun?
Apa wanita di desa ini saking bebasnya berpakaian, sampai menghiraukan ada aku yang mengalami fase keingintahuan lebih akan seluk beluk tubuh wanita?
Terlebih aku sudah merasakan dengan kesadaran penuh dua wanita yang telah aku gauli, pun aku puaskan.
Semakin heran, tatkala aku duduk berseberangan dengan Nenek, di mana tanpa sungkan ia meloloskan kutang hingga menyembulkan dua payudara yang sebesar gaban.
Walau dua bulatan itu mengendur, tak menyurutkan mata dan nafsuku memandang penuh gairah. Aku pandangi terus menerus, hingga tanpa sadar batang kejantananku mengeras tanpa bisa ditahan.
Kurang ajar ini si Palu Gatot. Sudah ngecrot tiga kali, masih saja menuntut jatah. Tidak ada puas-puasnya ia menebar benih. Mana tak ada rasa terima kasihnya kepadaku. Yang mana, lututku lemas sampai gemetar dibuat jalan. Perhatian sedikitlah soal staminaku yang sudah terkuras habis bersama Bu Rini. Bajingan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]
Fantasy*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN SEDIKIT SARKAS. DIMOHON DENGAN BIJAK PARA PEMBACA UNTUK MEMILIH BACAAN. TERIMA KASIH. *** Sinopsis Karena sebuah alasan, Kobe te...