***
Orang bilang, aku terlalu muda untuk mempunyai pemikiran dewasa.
Orang bilang, aku terlalu polos untuk ikut berperan mengatasi polemik kompleks sebuah masalah.
Orang bilang lagi, kalau aku adalah manusia dingin tak memiliki empati dan rasa kemanusiaan yang tinggi karena aku lebih seringnya mementingkan kebahagiaan sendiri dibanding orang lain.
Faktanya, semua itu benar adanya. Aku memang terlalu muda. Aku memang terlalu polos. Pun aku memiliki hati sedingin es.
Karenanya, satu pertanyaan timbul: mengapa bisa demikian?
Berhubung suasana di Desa Gentengan sore ini sangat pas untuk bernostalgia, mari kuajak kalian menyelami sedikit ingatan tentang aku tiga tahun ke belakang.
***
Sehari setelah kepulanganku dari liburan lebaran hari raya selama dua minggu di desa ini, aku benar-benar mengalami perubahan kepribadian dalam waktu singkat. Efek samping berhadapan Kakek dan Nenek merubah diriku yang polos menjadi sosok yang tak kukenali.
Hanya saja, tingkah abnormal Kakek masih bisa aku toleransi. Setidaknya, Kakek lebih ke arah menggembleng fisikku untuk lebih kuat, karena sejatinya aku anak laki-laki dan cucu pertamanya. Kakek tidak ingin cucunya lembek dan hanya berjibaku di dapur mengikuti jalan hidup Ayahku yang seorang koki. Oke, yang ini aku setuju. Sejujurnya ... aku memiliki fisik lemah. Maka dari itu, ketika tahu keterbatasanku, aku memilih memfokuskan minat bakatku mengasah kemampuan mengolah bahan makanan menjadi hidangan.
Namun! Perlu digarisbawahi satu hal. Beda kepala, beda kelakukan. Antara Kakek dan Nenek, keduanya mempunyai sifat yang bertolak belakang kalau aku telaah lebih jauh.
Contoh kecil yang membuat mentalku amburadul adalah saat di suatu hari dan untuk pertama kalinya aku melihat tubuh polos Nenek tanpa pakaian manakala ia memijit bocah lelaki di rumah. Yang membagongkan, acara pijat-memijat itu ditutup dengan si bocah lelaki menetek di payudara Nenek sambil tangan Nenek mengocok kontol imut nan suci. Bajingan.
Tayangan live menggairahkan tersebut jelas berimbas pada tubuhku. Gejala pertama adalah lemas campur tegang. Yang lemas lututku, dan yang tegang batang kontolku. Nggatheli.
Masih terekam jelas di ingatanku malam itu aku mengalami fase normal lelaki: mimpi basah. Wanita yang datang di mimpiku adalah Nenek. Ia menciumi seluruh tubuhku. Memegang kontolku, lalu mengocoknya. Saat aku kembali menyelam lebih dalam mengingat-ingat mimpi itu, aku dapati adegan paling erotis yang membuatku sesak nafas. Nenek ... ia melahap kontolku. Mengulumnya dengan kepala naik turun dengan mata indahnya yang tak pernah lepas menatap bola mataku.
Ya, mimpi basah yang telat kala itu menjadi awal di mana aku mengenal nikmatnya mengeluarkan sperma melalui metode onani.
Secara otomatis, hampir seluruh kegiatan produktif di outdoor mulai terbengkalai hanya demi mengejar kenikmatan sesaat sambil membayangkan sosok Nenek. Hanya Nenek yang menjadi fantasiku. Obsesiku.
Di sisi lain, aku membenci Nenek secara personality karena telah membuatku jadi tergila-gila kepadanya sampai tahun-tahun berikutnya aku menolak untuk diajak lagi ke desa dengan seribu alasan.
Hari demi hari aku lalui dengan hati gamang. Dampaknya, aku mulai malas mencari ide-ide baru untuk mengembangkan cita rasa masakan, baik itu di rumah mau pun di dapur ekstrakurikuler tata boga sekolah. Berlanjut pada diriku yang sering absen nongkrong di perpustakaan bersama teman-teman kutu bukuku, yang kemudian beralih circle ke geng anak-anak bengal. Disanalah aku mengembangkan bakatku yang tersembunyi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]
Fantasy*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN SEDIKIT SARKAS. DIMOHON DENGAN BIJAK PARA PEMBACA UNTUK MEMILIH BACAAN. TERIMA KASIH. *** Sinopsis Karena sebuah alasan, Kobe te...