***
Pulang sih pulang. Tapi faktanya, saat baru saja aku keluar dari area hutan, mesin motor Beat mendadak mati di tengah jalan. Susah jelas ini penyebabnya adalah oli! Bajingan!
Benar. Aku tidak sedang berdusta. Saat kulihat dan aku cek, olinya kering. Sedikit pun tak keluar.
Aku berdiri dari posisi jongkokku. Menatap Tante Ima yang sedang duduk di bawah pohon sambil makan kuaci. Ia balas menatapku tanpa dosa.
"Tante Ima." Aku memanggilnya dengan wajah sebal. "Bisa jelaskan ke aku, gimana ceritanya motor Tante nggak ada olinya sama sekali?"
"Anu ..." Tante Ima garuk kepala sambil tetap mengunyah, "Tante yo ndak tahu, Be. Biasane Ommu seng benerin." (Tante ya tidak tahu, Be. Biasanya Ommu yang benerin.)
"Kapan itu?" selidikku dengan mata menyipit. Semoga saja jawaban yang Tante Ima berikan tak sesuai prediksiku.
Tante Ima berpikir sejenak. Takut-takut, ia menyahut, "Ada setahunan."
"MATENG KON!" (MATANG KAMU!) aku menghentak-hentakkan kaki di tanah. Menjambak rambut frustasi. Sudah cukup kebodohan hari ini. Waktunya aku berubah jadi batu. Enak, diam saja tidak perlu kerja keras. Cukup menikmati setiap kekonyolan yang tersaji di depan mata.
Tante Ima menghela nafas. "Bukan salah Tante juga, lah, Be. Ommu tuh yang ndak perhatian sama Tante. Motor Tante aja ndak pernah diurus, apalagi Tante sendiri."
"Malah curhat. Ya wes, sekarang di mana bengkel terdekat, Te?"
"Ya di desa kita, Be. Samping rumahnya Pak RT ada bengkel yang dikelola sama anaknya."
"Oke."
"Apanya yang oke?"
Aku berdecak. "Ya oke. Kita jalan. Tante naik sini, biar aku yang nuntun ini motor butut."
Pipi Tante Ima menggelembung sok marah. "Jambret. Jangan ngatain motor Tante butut, Be."
"Iya, iya. Duh! Cepetan naik, Te. Mendung ini."
Sambil merogoh bungkus kuaci dan mengambil biji matahari di dalamnya, Tante Ima menghempaskan bokong semoknya di atas jok motor. Duduk tegak memasang tampang lempeng-lempeng saja. Ini orang apa ote-ote, sih, jancok?!
Tanpa mengeluh, segera kutuntun motor, berikut seluruh barang bawaan beserta betina kampret yang nangkring di atasnya.
Beberapa meter kemudian, sesekali aku berhenti untuk sekadar mengambil nafas panjang. Keringat mulai bercucuran. Panasnya mentari di siang hari tak bisa diabaikan. Lelah fisikku terasa berlapis-lapis. Sekuat-kuatnya tenaga yang kumiliki, pun ada batasnya. Tak menampik sebuah fakta jikalau tanganku mulai kram. Kakiku hampir copot.
Tak ada percakapan untuk 45 menit ke depan. Aku yang konsentrasi untuk menyelesaikan tugas, Tante Ima yang kali ini beralih fokus dari makan kuaci ke rokokan sambil minum minuman dingin.
Aku meliriknya sekilas.
Sementara Tante Ima hanya nyengir, sebelum menawarkan, "Sebat dulu, bro."
"Sebat udelmu bodong!" cetusku, sebal.
Hahahahahaha!
Tawa Tante Ima sungguh meledek. Ingin rasanya aku tampar bibirnya yang tipis itu dengan si Palu Gatot. Bajingan.
"Gimana, Kapten?" Palu Gatot mulai menggeliat bangun dari tidurnya. Tanpa kusuruh, kepala dan badannya mulai mencari posisi nyaman untuk tegak lurus. Namun, apalah daya celana dalam yang kugunakan sedikit ketat. Alhasil si Palu Gatot sedikit miring ke kiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]
Fantasy*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN SEDIKIT SARKAS. DIMOHON DENGAN BIJAK PARA PEMBACA UNTUK MEMILIH BACAAN. TERIMA KASIH. *** Sinopsis Karena sebuah alasan, Kobe te...