11

11.3K 67 0
                                    

***

Mungkin sudah saatnya aku memperkenalkan keluarga besarku.

Jadi, Kakek dan Nenek dulu menikah muda karena perjodohan. Tepatnya Kakek yang berumur 17 tahun, Nenek yang masih 14 tahun. Biasa, tradisi lama.

Kakek memiliki nama lengkap Dewo Suryopranoto. Darah beliau mengalir dari bangsawan Jawa. Sedangkan Nenek yang nama panjangnya Siti Nurul Fauziah Aruminingtyas berangkat dari keluarga priyayi yang notabene keluarga terpandang ahli agama di kota kabupaten.

Dari pernikahan dua anak manusia gesrek inilah, menghasilkan empat keturunan, yang kesemuanya perempuan.

Anak pertama tak lain adalah wanita tercantik di dunia yang umurnya genap 40 tahun. Adalah ibuku sendiri, Siti Aminah. Menolak dijodohkan dan memilih kabur dari rumah. Hidup di perantauan dengan mengandalkan bakatnya di bidang musik sebagai solo singer. Hari-hari ibuku hanya soal perform dan perform. Mengisi event-event dari yang terkecil sampai yang terbesar. hingga akhirnya, takdir mempertemukan ibu dengan seorang lelaki tampan rupawan yang usianya 2 tahun lebih tua di salah satu restoran yang baru opening. Karim Wijaya nama ayahku. Dari pernikahan mereka, satu anak tampan terlahir. Sudah jelas aku, dong.

Berikutnya ada anak kedua Kakek dan Nenek, Miftachul Jannah. Aku jarang sekali bertemu dengan keluarga kecil Bulikku ini jika ada perkumpulan keluarga besar. Bukan apa-apa. Wanita 38 tahun yang kupanggil Bulik Anna ini seorang dokter spesialis kandungan dan ginekologi gelar di belakang namanya saja Sp.OG, yang jelas memiliki keahlian khusus di dua bidang, yaitu keahlian seputar kehamilan dan proses melahirkan alias obstetri, dan keahlian seputar kesehatan reproduksi alias ginekologi. Ditempatkan di luar pulau, menjadikan Bulik Anna tak memiliki waktu luang hanya sekadar berkumpul bersama. Wanita yang memiliki anak kembar laki-laki ini sukses mendidik kedua putranya untuk menggeluti minat bakat masing-masing. Hal itu tak terlepas dari andil besar suami Bulik Anna yang seorang dosen, Sigit Priambodo. Pria berusia 44 tahun yang mengajar di tiga perguruan tinggi ternama.

Adalah benar jikalau di sebuah keluarga ada beban. Itu adalah si anak ketiga yang hanya bisa minta uang, uang, dan uang. Ayu Nafisah. Wanita 33 tahun yang manja bin centil. Jelas saja aku jadi punya panggilan akrab kepadanya: Bunda Ayu. Sama seperti kedua kakaknya, Bunda Ayu diajak merantau oleh teman-teman geng SMA-nya. Setahuku, pekerjaannya sebelum mengenal Paklik Hendro ialah staff gerai toko hijab. Yang kemudian, setelah melahirkan seorang anak perempuan, Bunda Ayu memiliki gerai toko hijabnya sendiri. Hendro Siswanto yang umurnya 6 tahun lebih tua dari Bunda Ayu ini seorang duda kaya tanpa anak.

Nah, yang terakhir, atau si bungsu, diberi nama Fatimah Salfahira. Aku memanggilnya Tante Ima karena wanita berumur 30 tahun ini menolak dipanggil 'bulik' dengan alasan kuno. Terhitung hari ini, usianya memasuki kepala tiga. Berbeda dengan ketiga anak Nenek yang lebih memilih keluar dari zona nyaman, Tante Ima yang agak tomboy ini memilih menikah dengan seorang pengangguran. Tidak apa-apa kalau tidak becus bekerja, asal ganteng. Katanya. Bajingan memang. Namanya Hasan Fahlevi. Umur mereka sepantaran. Tak segan cekcok di hadapan keluarga besar kami saat berkumpul. Pemenangnya? Sudah jelas Tante Ima, kan? Kombinasi wanita tomboy, jago beladiri, dan mewarisi keras kepalanya Nenek, hampir mustahil Tante Ima terkalahkan. Masih belum ditemukan pawang yang bisa mengatasi si beruang betina ini.

Dan sekarang, si tomboy Tante Ima tanpa tedeng aling-aling memberikan ceramah lembut yang pernah kudengar. Diimbangi makian serta hujatan penuh cak-cok-cak-cok, Tante Ima marah besar melihat kelakukan ibunya sendiri yang bermain gila bersamaku, keponakannya. Apalagi ada Kakek yang sedang berjuang melawan sakitnya di kamar sebelah.

"Entah setan apa yang merasuki Umi sampai merusak cucunya sendiri. Ingat umur, Umi. Umur. Umi sudah ndak muda lagi. Kalian juga punya hubungan darah. Yang begini apa pantas kalian disebut manusia? Pantasnya sih disebut musang birahi." Rangkaian kata membentuk kalimat yang diucapkan Tante Ima membuat Nenek menggeram marah. Bekas sendok makan Nenek lempar ke wajah Tante Ima. Tetapi, wanita berparas galak itu bisa menghindarinya dengan mudah.

Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang