***
Aku mendongak. Menatap Nenek tak percaya. Tanpa aku sadari, kontolku sudah mengeras. Shit. Aku ... apakah aku benar-benar nafsu dengan Nenekku sendiri?
Sementara itu, Nenek menangkup kedua pipiku.
Cup!
Nenek yang pertama memulai. Begitu agresif tanpa tedeng aling-aling. Bibir kami sudah saling melumat. Aku memejamkan mata. Pun dengan Nenek. Aku membiarkan perasaan kami mengalir. Menyatu. Ciuman ini ... aku bisa merasakan kemelut suasana hati Nenek: marah, rindu, benci. Rasa-rasanya perasaan itu tidak ditujukan kepadaku.
Aku membuka mata. Mendorong pelan kedua pundak Nenek, lalu bertanya, "Nenek jangan bercanda, ya?"
Tanpa menghiraukan ucapanku, Nenek menggandengku menuju masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu.
Di kursi paling panjang yang ada di ruang tamu, Nenek naik ke atas pangkuanku. Wajahnya buas penuh nafsu birahi. Nenek mengalungkan kedua tangan di leherku, kemudian kembali nyosor pada bibirku. Tak kusangka, sambil berciuman, dada Nenek bergetar hebat. Ia malah menangis tersendat-sendat sambil menggumamkan nama Kakek. Menyumpah serapah.
Sejurus, kedua tanganku kugunakan untuk membelai rambut panjang serta punggungnya, tangisan Nenek kian kencang. Pilu. Seakan besarnya rasa kesedihan ia pikuk sendiri.
Lambat laun, seiring getaran tubuh Nenek kembali normal, tangisnya juga berangsur reda. Pun bibirnya mulai terlepas. Aku tetap membelainya untuk beberapa lama.
Sampai di mana, Nenek sendiri yang mulai bergerak. Ia sedikit menegakkan badan. Menatapku sayu. Dan tanpa mengucapkan sepatah kata, Nenek melumat bibirku. Menghisap. Menggigit kecil. Kemudian, lidah Nenek menyeruak memaksa menerobos bibirku. Aku tanpa banyak drama mengikuti keinginan Nenek. Membiarkan Nenek melakukan apa yang ia mau. Sebab, biasanya wanita lebih suka aksi daripada retorika belaka. Karena love language dengan skin touch lebih mudah untuk dipahami. Tak berbeda jika pasangan main kita beda usia. Dua kali, atau mungkin tiga kali. 18 tahun melawan 55 tahun. Bagaimana aku mengatakannya? Ini terlalu gila, bajingan.
Suara hisapan serta kecupan dari bibir Nenek membangkitkan gairahku. Mau tak mau, aku harus meladeninya. Kugunakan sedikit pengalamanku menamatkan video porno yang berjumlah 100 scene di dalam ponsel.
Aku mengikuti insting kelelakianku.
Kami saling mengadu teknik ciuman dan belitan lidah. Sesekali menelusuri rongga mulut. Tak lagi kupedulikan bau mulut Nenek yang rasa tembakau rokok dan kopi. Bagiku, kalau sudah nafsu yang berkuasa, mau bau nitrogen pun dijabani. Bajingan.
"Hmm ... mmm .... hmmm ..." Nenek menyudahi ciuman. Ia mengambil nafas barang sejenak sambil memandangku. Sayu sekali. Yang kemudian, ia berucap, "Kamu sudah pernah main wanita, Le?"
"Nenek bercanda. Apa aku terlihat seperti seorang cucu yang kelakuannya kayak binatang?" aku balik bertanya. Sengaja aku mengajaknya ngobrol untuk membangkitkan feel agar lebih lepas jika nantinya terjadi aksi coblos-mencoblos. Sekadar menyatukan vibes menjelang pelepasan statusku sebagai perjaka di usiaku yang dua bulan lagi 19 tahun.
"Hahaha. Cucu gendeng. Yo wes, nanti Nenek ajarin. Tapi dasar-dasarnya kamu tahu harus ngapain, kan?" Nenek tertawa renyah, seraya membelai rahangku.
"Nonton bokep sedikit membantuku, Nek. Aku akan mencoba sebisaku. Tapi Nenek jangan terlalu berharap, lho, ya."
"Pinter. Ini baru cucu Nenek. Dan Nenek yakin insting kejantananmu bisa bicara lebih."
"Mari kita lihat apa yang bisa aku lakukan."
"Nenek pikir, semua Nenek di dunia ini punya hasrat untuk ngenthu sama cucunya sendiri."
Aku memijat pelipisku yang berdenyut. "Aku rasa, cuma Nenek yang punya pikiran bejat seperti itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]
Fantasy*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN SEDIKIT SARKAS. DIMOHON DENGAN BIJAK PARA PEMBACA UNTUK MEMILIH BACAAN. TERIMA KASIH. *** Sinopsis Karena sebuah alasan, Kobe te...