15

11.4K 67 3
                                    

***

Sekuat tenaga aku berjalan di jalanan penuh ranting nan becek. Mencoba mencari sumber suara. Tepatnya, mencari keberadaan Tante Ima.

Barulah sampai kakiku menjejakkan ke tanah berlumpur, kudapati Tante Ima dalam posisi tersungkur membelakangiku sambil memegangi pahanya. Namun, bukan itu yang menjadi perhatianku. Melainkan celana leggings serta celana dalam yang turun sebatas lutut. Mempertontonkan bongkahan padat putih mulus buah pantat yang langsung terekam di memori otakku. Tak hanya itu, terlihat jelas dari belakang celah memek nan tembem berwarna coklat segar tanpa bulu kemaluan. Liang senggama berukuran kecil berhiaskan labia mayora yang presisi.

Aku masih mematung di belakang Tante Ima. Sampai kemudian, Tante Ima menoleh. Ia tak mencoba menutupi ketelanjangan bagian bawahnya, tetapi mengasuh sambil menangis. "Kobeeee ... sakittt ...."

Aku segera tersadar. Panik melanda. Menghampiri Tante Ima yang merintih kesakitan. Sialnya, telapak tanganku mendarat di bokong Tante Ima, lalu bertanya, "Tante kenapa, Te?"

"Ssss ... Beee ... anunya Tante digigit lintah ... aduhhh ... sakit, Be ...." Rengek Tante Ima, sambil menatapku dengan bibir meringis.

"Sebelah mana?" aku bertanya lagi, seraya mengamati bagian bawah Tante Ima. Ternyata memang benar ada vampir penghisap darah alias lintah yang cukup besar dan panjang hinggap di paha Tante Ima bagian dalam.

"I-itu ... di tempek Tante." Tak ada rasa malu Tante Ima berkata frontal demikian. Terdengar tak senonoh, tapi tak tepat juga. Mungkin saja sudah terlanjur panik, ia mengira memeknya yang tergigit.

"Hm."

Sebisa mungkin aku memasang wajah datar. Kuusap air hujan di wajahku. Kutenangkan sejenak batinku yang bergejolak meronta-ronta melihat pemandangan menggairahkan di bawah sana.

Sejurus, aku mengumpulkan sedetail mungkin penanganan pertama yang pernah kudapat saat mengikuti persami beberapa kali di sekolah.

Pertama, dalam kondisi hujan, tak mungkin aku bisa membuat api untuk mengusir si lintah nakal yang menempel di papa Tante Ima. Pun tak mungkin aku mencari garam untuk mengakali si lintah yang masih setia menyedot darah si wanita barbar ini. Solusi terakhir di situasi darurat begini adalah menggunakan cairan berbau menyengat untuk melepaskan gigitan lintah. Dan cairan yang kupunya ada dua opsi: air kencing dan air sperma. Kalau kencing, bisa kulukukan dalam waktu singkat. Nah kalau sperma, butuh waktu banyak, dan itu jelas tak mungkin.

"Tante, dengerin aku. Tante percaya sama aku, kan?" aku menatap Tante Ima serius.

Seperti tak ada tenaga, Tante Ima mengangguk lemah tanpa berkata-kata.

"Aku bakal ngencingin Tante. Maksudku, aku bakal ngencingin paha Tante biar lintahnya lepas. Kenapa? Soalnya kita nggak punya alkohol atau garam di sini. Dan kalau dibiarin, bisa-bisa lintahnya malah nangkring di paha Tante. Kalau setuju anggukan kepala. Kalau enggak, tetap katakan yes."

Ada keraguan di wajah Tante Ima. Tapi kemudian, ia mengangguk lagi. Tak ada pilihan, daripada darahnya habis dijadikan mukbang lintah kurang ajar.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, aku menurunkan celanaku, berikut celana dalamnya. Si Palu Gatot yang dalam keadaan menciut kedinginan keluar dari sarangnya. Entah mengapa batangku yang sudah tidak perjaka ini malu-malu kucing.

Aku baringkan Tante Ima terlebih dahulu. Setela itu, aku membuka keduanya lebar-lebar. Kemudian, aku berdiri bertumpukan kedua lutut sambil menggoyang-goyangkan pinggulku ke kanan-kiri, dan ...

Currrrr!

Semburan air kencing berwarna putih memancar deras menyiram area paha Tante Ima hingga mencapai selangkangannya. Badanku bergetar. Sensasi aneh bercampur nakal menyeruak begitu saja. Terlebih saat proses aku mengencingi paha Tante Ima, kuperhatikan ekspresi wajah Tante Ima seperti menahan sesuatu.

Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang