***
Sang Surya perlahan naik lebih cepat dari uapan embun pagi ke udara. Seiring berjalannya waktu, pancaran panasnya membakar kulit. Sesuai apa yang dijanjikan kala bintang terbesar di galaksi Bima Sakti ini terbentuk beratus-ratu juta tahun yang lalu: tugasnya ialah menyinari, memastikan kehidupan di bumi berlangsung seperti semestinya, memberikan kesempatan untuk bunga-bunga bermekaran indah, berikut menjaga keseimbangan semesta yang gelap gulita.
Pagi ini, aku terbangun dengan badan segar siap memulai aktifitas positif membantu segala rutinitas di rumah.
Terasa atmosfir Desa Gentengan jauh lebih dingin dan lembab saat pagi hari. Menggigil, tentu saja. Selain itu, panggilan aroma bawang yang tengah ditumis membuat perutku yang sejak semalam belum terisi makanan meronta-ronta.
Hingga kemudian, setelah nyawaku terkumpul sepenuhnya, aku putuskan untuk turun dari ranjang. Sedetik, mataku sekilas tertuju pada sisi ranjang yang semalam ditiduri oleh Nenek.
Basah?
Aku penasasan. Mendekat. Kuraba untuk memastikan sesuatu. Sudah kering sih, tapi baunya semakin pekat dan aneh. Alih-alih mual, badanku justru sedikit bergetar. Rasa birahi perlahan menyeruak, yang kemudian menjalar mengalir pada batang kontolku yang merespon tegak berdiri.
Cuk!
Pagi-pagi pikiranku sudah tak karuan. Haduh! Sedikit menyesal diriku karena terlalu lurus sewaktu di bangku SMA. Aku yang seharusnya memiliki pengalaman bersama wanita dan mengetahui seluk beluknya, harus terkendala akan ancaman serius ayahku. Ia yang juga pernah muda mewanti-wantiku untuk tidak melakukan sesuatu di luar batas saat pacaran. Dan dengan bodohnya, aku menuruti bagai monyet diberi segepok pisang.
Kalau sudah begini, bagaimana? Hanya mengandalkan informasi dari video porno yang kerap kutonton saat suntuk, tak banyak membantu saat dihadapkan oleh kenyataan di depan mata.
Keluar kamar. Aku berjalan santai menuju sumber wangi masakan menggugah selera. Terlihat Nenek tengah memasak di area dapur yang masih jadul. Posisinya duduk di atas kursi kecil membelakangiku. Masih asyik berjibaku di depan tungku perapian menumis bawang, lalu memasukkan berbagai macam sayuran ke dalamnya.
"Nek," sapaku.
"Jancuk!" Nenek terlonjak kaget. Lagi-lagi drama. Ia menoleh ke belakang. Hampir saja spatula melayang, andai yang menggagetkannya bukan aku. Setelahnya, Nenek berdecak sambil geleng-geleng. "Minimal salam dulu, Le. Kamu ini kok seneng banget tho nggagetin Nenek."
"Assalamualaikum."
"Telat. Tapi waalaikumsalam." Nenek mencicit, "ada apa?"
Aku tak lekas menjawab. Aku hanya berjalan memutari Nenek. Mengambil kursi lainnya dan meletakkan di samping kiri Nenek. Kemudian, aku duduk sambil mengulurkan tangan ke depan perapian.
"Laper, Nek," kataku, malu-malu.
"Iyo sek. Iki ae sek ket masak Nenek. Paling marengene mateng. Dua jam, lah." (Iya sebentar. Ini aja barusan masak Nenek. Paling sebentar lagi matang. Dua jam, lah.)
Aku menangis darah. "Selak bongko aku, Nek." (Keburu mampus aku, Nek.)
Tawa Nenek lepas. "Hahahaha. Yo wes, gawe ngganjel wetengmu seng krucuk-krucuk iku, rene mentil nang susu Nenek." (Hahahaha. Ya sudah, buat ganjal perutmu yang bunyi-bunyi itu, sini netek ke susu Nenek.)
Aku memijat pelipisku, lelah. "Ojok guyon terus po'o, Nek. Njaluk tolong sanget, nggih." (Jangan bercanda terus napa, Nek. Minta tolong sekali, ya.)
"Lho? Nenek serius, Le. Susune Nenek lho onok banyu ASI-ne. Akeh gizine." (Lho? Nenek serius, Nak. Susunya Nenek lho ada air ASI-nya. Banyak gizinya.)
"Ibarat kelapa tua, pasti sudah terkontaminasi formalin campur bensin."
"Ndak sopan. Tapi bener juga. Adam aja cuma pernah nyoba sekali, habis gitu ndak lagi. Kenapa, ya? Apa sudah kadaluwarsa?"
"Ya nggak tahu, kok nanya aku."
"Coba sih kamu sendiri yang pastikan, Le."
"Pastikan apa?"
"Netek susu Nenek, lah!" jawab Nenek, santai tapi nyolot.
"Tidak, terima kasih. Lebih baik aku minum Arak daripada memilih keracunan minum ASI Nenek. Lagipula ..." aku mengernyit. Menatap curiga ke arah Nenek, lalu bergumam, "gimana ceritanya Nenek bisa punya ASI? Kan Nenek udah tua?"
"Rahasia wanita itu. Kamu ini suka kepo. Ndak sopan blas sama Nenek."
"Habisnya aku bingung, Nek." Aku menatap Nenek lekat. Mencari sebuah jawaban dari sorot matanya yang teduh. "Setahuku, wanita yang punya ASI kan rata-rata ibu menyusui. Nah, kalau Nenek kan nggak punya bayi, hamil pun enggak. Terus darimana sumbernya?"
Senyum licik di bibir Nenek nampak menyebalkan. "Nenek kasih tahu, tapi ada syaratnya."
"Oke. Asal aku nggak disuruh push up sambil gendong Nenek."
"Jancuk. Sembarangan kamu. Nenek ndak gendut, ya!"
"Yang bilang Nenek gendut itu siapa? Sensitif amat nih Mak Lampir."
"Mboh wes. Budreg Nenek ngomong karo awakmu seng mbetik'e jan ora umum." (Tidak tahu, lah. Lelah Nenek ngomong sama kamu yang nakalnya sungguh tak lazim.)
"Aku malah katut mengong nek suwe-suwe gumbul ambek Nenek. Temenan. Gak mbujuk aku." (Aku malah ikutan sinting kalau lama-lama bergaul sama Nenek. Sungguh. Tidak bohong aku.)
"Kalau gitu, Nenek ndak bakal kasih tahu kamu. Wleeee!" ledek Nenek, seraya menjulurkan lidahnya. Memang lagi lucu-lucunya ini orang tua.
"Iya, iya, Nek. Gimana? Nenek minta apa? Atau ... Nenek mau aku melakukan apa?"
Nenek menambahkan kayu bakar terlebih dahulu ke dalam perapian, sebelum berkata serius sambil menatapku tegang, " Di desa ini lagi rame kasus begal payudara. Nenek minta kamu menangkap begal itu. Kalau bisa tangkap hidup-hidup, terus kita arak keliling kampung."
"Susu Nenek yang kayak pepaya Pasar Turi ikut dibegal juga?"
"Endak."
"Kalau gitu, aku menolak."
"BERARTI NENEK HARUS DIREMES SAMA SI BEGAL DULU, BARU KAMU MAU BERTINDAK?! DASAR PARUTAN BENGKOANG!" seru Nenek dengan ludah menyembur tepat di wajahku. Parahnya, ada yang masuk ke hidungku. Bajingan.
"Bukan gitu maksud hamba, Yang Mulia." Sambil menyeka muncratan ludah Nenek, aku mencoba berdalih. Menciba mencari alasan. Memutar otak. Setelah ketemu jawaban yang pas, kembali aku berucap, "Seandainya Yang Mulia yang jadi korban si begal payudara, hamba pasti akan langsung mencarinya."
Mata Nenek berkaca-kaca. Kontan ia berhambur memelukku. Sengaja tak sengaja dua bongkahan payudaranya kembali mendesak dadaku. Kenyal sih, tapi ini milik Nenek sendiri. Sopankah begitu?
"Makasih, yo, Le. Nenek seneng kamu perhatian sama Nenek."
"Sama-sama, Nek. Aku beneran bakal mencarinya, untuk membayarnya, lalu kusuruh membegal susu Nenek lagi. Kalau bisa dibawa pulang sekalian."
CUCU SETAN!
KAMU SEDANG MEMBACA
Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]
خيال (فانتازيا)*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN SEDIKIT SARKAS. DIMOHON DENGAN BIJAK PARA PEMBACA UNTUK MEMILIH BACAAN. TERIMA KASIH. *** Sinopsis Karena sebuah alasan, Kobe te...