13

10.8K 67 1
                                    

***

Matahari sudah memancarkan panas membakar. Turut serta angin sepoi melambai-lambai menerbangkan dedaunan di pinggir jalan saat motor matic Beat warna merah-putih aku kendarai membelah jalanan Desa Gentengan menuju kota kabupaten.

Di belakangku, duduk normal Tante Ima. Kedua tangan memegangi pundakku. Sedikit jaga jarak karena ia tak ingin aset berharganya menempel di punggungku. Apalagi adik ibuku itu sudah tahu menahu kalau sebaik-baiknya lelaki itu pasti memiliki sisi terpendam untuk memanfaatkan celah kecil di berbagai situasi dan kondisi. Tak jauh berbeda denganku. Katanya.

Aku sendiri tidak munafik. Ada hasrat penasaran ditunggangi nafsu binatang ingin mengeksplor setiap jengkal tubuh moleknya. Namun, hasrat pada diriku tak seliar yang Tante Ima bayangkan. Tentu saja, ini karena sebelum berangkat ke kota kabupaten untuk memesan traktor dan kultivator, Nenek sudah memberiku kenikmatan blowjob guna meredam hawa nafsuku agar tidak macam-macam dengan Tante Ima. Dasar Nenek posesif.

Ngomong-ngomong, soal obrolan sebelumnya tentang pernikahan bagaimana? Entahlah. Aku sendiri tak ingin membahasnya lebih dalam. Di samping kurangnya pengalamanku, untuk saat ini yang bisa aku katakan adalah ... menjalani kehidupan di desa sebagai bentuk persiapan dan keseriusanku sebagai seorang lelaki untuk mengemban tugas besar. Tak hanya mengurus wanitanya saja, melainkan tanah Kakek yang puluhan hektar, juga peternakan Kakek yang setiap tahunnya rutin melakukan ekspor ke luar wilayah Desa Gentengan.

Maka dari itu, pagi menjelang siang ini Nenek menyuruhku untuk banyak belajar bersama Tante Ima. Dimulai soal pengolahan perkebunan dan peternakan. Sebab, segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan di desa di handle Tante Ima. Bahasa gaulnya, Tante ima memiliki jabatan sekelas manajer. Kalau Nenek memilih rebahan santai di rumah. Menyebalkan.

Di jalan, Tante Ima banyak bercerita kepadaku soal job desk warga yang bekerja di bawah manajemennya.

Dimulai dari lahan perkebunan. Urusan lapangan diserahkan sepenuhnya oleh keluarga Pak Kusno. Termasuk di dalamnya Bu Rini dan Adam yang ikut membantu Pak Kusno yang statusnya sebagai seorang mandor. Barulah jika urusan penjualan berbagai macam palawija, Tante Ima yang mengurus.

Yang kedua ada lahan peternakan. Hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing, ayam, dan bebek, masalah lapangan dipercayakan kepada sahabat Kakek semasa muda sampai sekarang, Gito. Aku sendiri jelas mengenalnya dengan baik perangai lelaki berusia 58 tahun itu. Aku memanggilnya Lik To. Harusnya sih aku memanggil 'mbah' karena beliau sudah memiliki cucu. Namun, namanya juga kebiasaan, apa boleh buat. Lik To masih gagah meski usianya hampir kepala enam. Mengurus dan mengawasi peternakan bukan perkara mudah. Lik To dibantu istrinya yang bernama Sumiati. Wanita yang 5 tahun lebih muda dari Lik To itu biasa kupanggil Lik Sum. Mereka berdua ini orang kepercayaan Kakek setelah keluarga Pak Kusno.

Selain daripada itu, aku cukup salut akan Tante Ima yang agak urakan ini tapi masih sayang dan memperhatikan Kakek dan Nenek dengan caranya sendiri. Meski gaya berpakaiannya seperti mahasiswa tipikal ukhti-ukhti suka pamer susu, Tante Ima tidaklah murahan. Ia lebih punya harga diri sebagai seorang wanita yang tak pernah luntur kesetiaannya kepada pamanku, Om Hasan, meski ia dimadu dua tahun yang lalu.

"Tante. Ngepom dulu, ya! Bensinnya udah tinggal satu digit."

"Hah?!" Tante Ima mendekatkan kepalanya sambil berseru di dekat telingaku. Otomatis dua susunya yang padat menempel ketat di punggungku.

"Ngepom! Isi bensin, Te! Bensin! Habis bensin motornya Tante ini!"

"Oke!"

Saat motor sudah memasuki area kota kabupaten, kulihat pom bensin. Aku menekan lampu sein kiri. Tapi naas. Sebuah motor melaju kencang di sebelah kiri, lalu memotong ke kanan hendak menyebrang. Sontak saja aku mengerem mendadak menghindari benturan.

Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang