2

29.9K 125 1
                                    

***

Begitulah awal mula obrolan keluarga kecil yang sampai sekarang membuatku ingin menangis di dalam bus ini. Bus yang mengantarkanku jauh ke ujung timur pulau Jawa.

Sampai di terminal, aku oper dengan angkot sebanyak dua kali. Lalu, masuk ke desa diantar ojek.

Sambutan pertama untukku setelah menjejakkan kaki di Desa Gentengan, tepatnya di pelataran luas rumah kakekku adalah: ratusan jagung yang terbentang rapi di atas terpal sedang dijemur.

Ya, aku telah tiba siang menjelang sore hari.

Nenek yang kebetulan sedang menjemur pakaian di samping rumah, melihat kedatanganku bak seorang pangeran dari isekai, mengulus senyum simpul, lalu melanjutkan aktifitasnya.

Setelah membayar ojek, aku meletakkan barang bawaanku berupa satu koper dan satu tas ransel di dekat salah satu dari dua tiang di rumah khas Jawa ini.

Sambil menunggu Nenek menyelesaikan jemur-menjemur, aku duduk di undak-undakan rumah. Aku keluarkan sebungkus rokok beserta koreknya. Membakar sebatang sembari menikmati pemandangan indah pedesaan yang mempertontonkan hampsran sawah yang menghijau di seberang jalan. Sawah milik kakek, tentu saja.

Tak hanya itu, walau terkesan orang desa, kakek dan nenekku ini orang berada. Sawahnya hampir puluhan hektar. Kebun jagung, tebu, teh, kopi, sampai palawija, ada semua.

"Kapan pulangnya, Le?" sapa Nenek, yang tahu-tahu sudah berada di depanku.

Oke. Satu masalah timbul. Sabar, Kobe, sabar. Nenekmu ini memang menyebalkan. Ingat pesan Yang Mulia, kamu tidak boleh emosi dengan Nenekmu, apapun yang terjadi.

Ya, wanita yang sudah setengah abad umurnya ini adalah nenekku, Nurul Fauziah, dukun bayi sekaligus penyuka anak-anak.

"Aku baru datang, Nek. Masa langsung disuruh pulang." Aku menjawab sedikit kesal.

Sambil menyibak rambut hitam yang tergerai, Nenek mengikat rambutnya ke belakang. Tepat ketika Nenek mengangkat kedua tangannya ke atas, membuat kedua susunya yang besar dan hanya berkutang putih pudar seperti ikut terangkat, membusung ke depan.

Alamak!

Mungkin dulu aku masih kecil. Tapi, sekarang aku sudah dewasa. Aku tahu yang seperti ini tidak baik untuk kesehatan jantung dan kontolku. Apalagi melihat puting payudara Nenek yang samar-samar nyeplak terkena rembesan air. Entah air apa itu. Air comberan kali.

"Yo wes, ayo melbu. Ojok lali wijik sek yo, terus sapa kakekmu seng ganteng dewe nang kamar." (Ya sudah. Ayo masuk. Jangan lupa bersih-bersih dulu ya, terus sapa kakekmu yang ganteng sendiri di kamar.) Nenek berujar santai, kemudian melangkah masuk terlebih dahulu.

Buru-buru aku berdiri, membuang rokokku yang masih setengah ke jalan, kemudian mengulurkan tangan untuk salim.

Nenek seketika berhenti, menatapku aneh. "Lapo, Le?" (Kenapa, Nak?)

"Salim, Nek, salim. Astajim!"

"Oh, salim tho? Tak kiro awakmu kape ndemok susuku." (Oh, salim tho? Aku kira kamu mau megang susuku.) Nenek mengulurkan tangan, dan langsung kusambut dengan perasaan semakin kesal. "Lah kok dicucup ngunu tho tangan Nenek, Le? Aduh, tangan Nenek sek rusuh iki." (Lah kok disedot gitu tho tangan Nenek, Le, aduh, tangan Nenek masih kotor ini.)

Aku melepaskan ciuman tangan, lalu menegakkan badan sambil menentang barang bawaan. "Nggak pa-pa, Nek."

"Heleh. Daripada kamu nyucup tangan Nenek, mending cucupen iki lho susuku," beo Nenek tanpa dosa.

Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang