***
Aku terjaga.
Entah jam berapa ini, kulihat dari jendela persegi kamarku langit sudah gelap. Hawa sejuk bercampur dingin pedesaan menusuk-nusuk pori-pori. Aku sedikit menggigil dibuatnya.
Nyaman, tentram, damai.
Bebauan rumput dan pepohonan di desa ini sungguh menghipnotisku. Apalagi penerangan di kamarku ini masih jadul, yaitu menggunakan lampu ublik.
Tak hanya kamarku saja, setiap sudut rumah juga sama. Sungguh nostalgia. Dari sudut kanan di atas dinding, kamarku sudah terpasang ublik. Mungkin saja Nenek yang sudah memasang dan menghidupkannya ketika aku tertidur.
Tunggu dulu!
Bukan itu yang ingin kubahas. Yang menjadi atensiku adalah: sayup-sayup terdengar suara orang sedang ngobrol dan tertawa terbahak-bahak.
Salah satu suaranya adalah Nenek, namun pemilik suara lain yang seorang laki-laki terdengar masih muda.
Aku duduk di tepi ranjang. Mengumpulkan nyawa yang belum genap.
Setelah cukup sadar, aku turun dari ranjang. Mengambil sebungkus rokok di atas nakas dari kayu sengon. Lalu, melanjutkan jalan keluar.
Srek!
Kusibak tirai putih yang berfungsi sebagai pengganti pintu.
Tepat di depan mataku, kulihat Nenek sedang bercakap-cakap seru dengan seorang pemuda yang asing di mataku. Mungkin sewaktu terakhir kali aku ke mari masih SMP, jadi aku tak terlalu kenal dengan orang-orang di desa ini.
Kulanjutkan langkahku, bergabung dengan Nenek dan si pemuda berambut keriting.
Melihat kedatanganku, keduanya menatapku lekat. Ditatap demikian, sedikit banyak membuatku kesal. Bukan apa-apa, seakan kehadiranku hanya menganggu obrolan mereka.
“Sudah tidur, Le?” tanya Nenek, yang entah sengaja atau tidak, beliau selalu berkata kebalikkannya.
“Sudah bangun, Nenek.” Aku duduk di seberang kursi. Menghadap ke arah Nenek dan si pemuda asing yang duduk berdampingan. Kuambil sebatang rokok, lalu meletakkannya di atas meja. “Rokok, Mas?”
“Aku ndak ngerokok, Mas. Enak dirokok.” Pemuda asing itu menjawab ambigu.
Sialan. Orang udik juga tahu hal begituan ternyata. Niat menawari si pemuda, justru Neneklah yang menyambar rokok beserta korek dari tanganku. Diambilnya sebatang, lalu dibakarnya hingga asap mengepul memenuhi ruang tamu.
“Rokokmu mantep, Le.” Nenek berkata sambil mengeluarkan asap dari hidungnya.
“Nenek ngerokok?” tanyaku jengah.
“Yo iyo tho, Le. Howone adem ngene yo butuh seng anget-anget.” (Ya iya, lah, Nak. Hawanya dingin gini ya butuh yang hangat-hangat.) Sambil mengerling genit ke arah si pemuda, Nenek menyahut menggoda.
“Piye niku seng anget-anget, Nek?” (Gimana itu yang hangat-hangat, Nek?) tanya si pemuda, memancing.
“Yo opo ae pokok anget tho, Dam. Nek isok nganti kemringet kotos-kotos.” (Ya apa aja pokok hangat, lah, Dam. Kalau bisa sampai keringatan menetes-netes.) Nenek tersipu malu menjawabnya. Lalu sedetik, menatapku seraya memperbaiki ekspresi. “Oh iyo, Le Kobe. Kenalno, cah iki Adam. Anaknya Rini seng omahe idek kali.” (Oh iya, Nak Kobe. Kenalkan, anak ini Adam. Anaknya Rini yang rumahnya dekat sungai.)
Aku melihat sekilas sosok pemuda bernama Adam yang perawakannya ceking dengan rambut keriting. Pakaiannya seperti para pemuda desa pada umumnya. Kaos lengan pendek dan bersarung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]
Fantasy*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN SEDIKIT SARKAS. DIMOHON DENGAN BIJAK PARA PEMBACA UNTUK MEMILIH BACAAN. TERIMA KASIH. *** Sinopsis Karena sebuah alasan, Kobe te...