***
Antara sadar atau tidak sadar jaraknya begitu tipis. Setipis imanku yang tanpa pikir panjang memasuki lubang dosa bernama persetubuhan tabu. Sedarah. Hubungan tak biasa bersama seorang wanita yang telah melahirkan lima orang anak, kalau anak terakhirnya yang sudah dipanggil Sang Pencipta ikut dihitung. Yang mana, salah satu anak dari wanita itu adalah ibuku sendiri.
Ini gila. Semakin gila saat lamunanku terkontaminasi bayang-bayang erotis bersama Nenek. Membayangkan dari awal bagaimana pelepasan perdana statusku sebagai seorang perjaka. Masih tak menyangka semuanya berlalu begitu cepat.
Kuraba si Palu Gatot yang tahu-tahu sudah terbangun mendahuluiku. Kubelai dan mencoba merasakan, apakah ada perubahan yang terjadi dengannya sebelum dan sesudah menembus liang senggama seorang wanita.
"Gak usah pegang-pegang, Kapten Celeng!" sentakan kasar si Palu Gatot membuatku kaget.
"Asu. Nggagetin aja kamu makhluk jadi-jadian."
"Jangan ngomong sama aku. Aku lagi mengobati rasa kecewaku kepadamu, cucu gendeng."
"Lho, kenapa?"
"Aku tuh merasa malu sama temen-temen seperjuanganku. Pengalaman pertama mereka rata-rata sama pasangan yang muda-muda. Lah, kamu? Malah sama nenekmu sendiri. Mana ngecrot cepet pula. Dasar lelaki lemah!"
"Gimana, sih? Kan kamu yang keluar-masuk di dalam sana. Kok nyalahin aku? Kekuatanmu aja yang perlu dipertanyakan. Aku juga hampir malu tadi. Untung aja nenek juga ikut muncrat. Kalau enggak? Bisa dianggap cucu gagal aku. Bajingan kamu, Tot."
"Lemah teriak lemah. Gini nih kalau pacaran cuma ketawa-ketiwi tapi nggak ngewe. Mending kamu pacaran aja sana monyet."
"Asu, lah. Omonganmu kok tambah nggatheli gini, Tot?"
"Gatot gitu, lho! Kenapa? Gak terima? Mau adu mekanik, kah?"
"Oke. Kita coba lagi."
"Bangsat! Bercanda aku, Kapten! Woi! Kapten Gendeng!"
Tak kuhiraukan celotehan si Palu Gatot. Tanpa celana dalam, segera aku membungkus diriku dengan sarung. Membiarkan kontolku menonjol besar ke depan.
Aku keluar kamar. Mencari Nenek. Yang kebetulan Nenek baru saja keluar dari kamar depan, kamarnya Kakek.
Kami saling berpandangan. Terhenyak kaget.
"Ancene cucu kucluk. Gak isok ta lek gak getgeti Nenek? Tuman." (Dasar cucu sinting. Tidak bisakah kalau tidak menggageti Nenek? Kebiasaan.) Nenek mulai mengomel. Seperti biasa.
Aku menatap Nenek kikuk. Ia menegurku seakan sebelumnya tak pernah terjadi apa-apa. Begitu santai, cuek, dan gila. Sungguh, tak ada ucapan selain membuat hati dongkol dari bibir tebalnya.
"Iya, iya, Nek. Mohon maaf aku ucapkan." Mencoba ikut gila, aku menjawabnya bergurau.
"Kamu mau ke mana, Le?"
"Mau nyari Nenek."
"Ngapain nyari Nenek?"
Bingung juga aku menjawabnya. Wajah Nenek sedatar ubin lantai. Mau to the point pun terdengar tak pantas untuk sekaliber anak muda kepada orang tua.
"Ehm ... aku laper, Nek." Akhirmya aku menemukan sebuah jawaban aman.
"Ya udah. Ayo makan. Kamu tadi tidurnya nyenyak banget. Nenek jadi ndak tega mau bangunin ngajak sarapan bareng." Nenek berjalan lebih dulu. Hanya menggenakan jarik putih mangkak yang simpulnya diikat di tengah dada, cara jalan Nenek agak berbeda jika kuperhatikan secara seksama. Seperti pinguin, kurasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]
Fantasy*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN SEDIKIT SARKAS. DIMOHON DENGAN BIJAK PARA PEMBACA UNTUK MEMILIH BACAAN. TERIMA KASIH. *** Sinopsis Karena sebuah alasan, Kobe te...