***
Senandung merdu burung-burung di alam bebas bagai terompet sangkakala. Seolah merobek gendang telinga. Memaksa kesadaranku pulih. Baru beberapa persen nyawaku terkumpul, serangan selanjutnya datang dari arah dapur. Serangan yang tak bisa kuabaikan.
Adalah harum wangi seseorang yang tengah memasak di dapur belakang rumah. Satu-satunya nama yang pastinya beliaulah pelakunya. Beliau bukan sembarang beliau. Kuda tua nan binal yang semalam menunggang liar di atas tubuhku.
Nenek.
Harusnya aku memanggil sayang. Wanita tua kelewat genit itu sama sekali tak pantas menyandang nama sebagus itu, andai ada orang yang benar-benar waras menormalisakan persetubuhan sedarah yang berlindung dibalik kata 'suka sama suka'. Bajingan.
Entah aku harus ikut menghujat diriku sendiri atau tidak, yang jelas aku paling benci pepatah tersebut. Pasalnya, kalau sekadar suka sama suka, tuh mbak-mbak sales rokok juga suka. Maksudnya, suka jika kita membeli dagangannya.
Terus, bagaiamana? Ya suruh ngisi formulir, lah. Nama, nomor telepon, dan status. Kalau Dewa Hujan memberi lampu hijau dengan kode gerimis rintik-rintik disertai bau wangi bunga kasturi, sikat saja ajak ke hotel.
Tapi, kalau misal si mbaknya lagi haid, bagaimana? Kan masih ada lubang satunya. Seperti kata pepatah, 'tidak ada rotan, silit pun jadi'.
"Bangsat! Yang bener itu, tidak ada rotan, akar pun jadi!" si Palu Gatot ikut nimbrung diriku yang sedang berbicara sendiri.
"Ck! Puncak komedinya ada di situ. Kamu itu ganggu aja. Udah bagus kamu mingkem dari semalam, eh, pagi-pagi bukannya mengucap terima kasih sudah dikasih jatah malah menghujat diriku. Sedih kata aku teh."
"Nggak usah sok gaul kalau ngomong, Kapten. Aku ngambek nggak ngaceng, mampus kamu."
"Mau ngaceng kek, tidur kek, salto kek, terserah kamu. Aku masih punya tangan, mulut, dan lidah. Emang elu siapa sok penting?"
"Yeee! Ngelunjak si cucu cabul. Woi, saos tiram, dengerin aku, ya. Mentang-mentang ganteng, jangan dikira bisa menaklukkan wanita kalau nggak ada aku. Aduh ... kasihan dah."
"Menyimak sambil ancang-ancang nyoblos paslon nomor empat."
"Gubluk! Paslonnya cuma tiga, bluk."
"Yang keempat ada. Kamu sih cuma punya mulut tapi nggak punya mata. Jadi picek."
"Asu! Terus siapa yang kamu maksud, Kapten Celeng?"
"Ada, deh. Bentar lagi keluar ke permukaan. Tunggu aja tanggal mainnya. Bener nggak, Mas Bara dan Mas Berto?"
Di isekai, dua batangan yang sedang sibuk makan kucur, tiba-tiba tersedot ke dalam blackhole. Lubang hitam yang membawanya masuk ke dimensi lain. Sialnya, dua lelaki gembel itu malah terlempar ke Desa Gentengan. Sialnya lagi, pendaratan mereka kurang mulus. Alhasil, wajah mereka lebih dulu mencium lantai kamar. Terjengkang.
"SOPO SENG EDO TENSEI AKU MERENE, NDENG, GENDENG?!" (SIAPA YANG EDO TENSEI AKU KE SINI, LA, GILA?!) teriakan garang Mas Bara menjadi bunyi kedua yang merusak pendengaranku. Harusnya aku lakban mulutnya. Bajingan.
"Iki nandi, ho? Suroboyo jelas gak adem ngene iki. Iki pasti ndek Hawai." (Ini di mana, ho? Surabaya jelas tidak dingin seperti ini. Ini pasti di Hawai.) Mas Berto nyeletuk, sambil menggigil kedinginan. Wajahnya pucat seperti mayat. Kalau disandingkan dengan mumi, jelas si mumi akan kembali ke peti. Kalah saing.
"Nggih, nggih. Ngapunten sanget menawi wonten lepat, kulo nyuwun atusan papat." (Iya, iya. Mohon maaf bila ada salah, saya minta ratusan empat.) Aku berkata sambil menyatukan kedua telapak tangan di depan dada, lalu tanganku menengadah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nenekku, Pahlawanku 21+ [END]
Fantasy*** WARNING!!! CERITA DEWASA PENUH ADEGAN SEKS KOMPLEKS, KATA-KATA KOTOR, VULGAR, DAN SEDIKIT SARKAS. DIMOHON DENGAN BIJAK PARA PEMBACA UNTUK MEMILIH BACAAN. TERIMA KASIH. *** Sinopsis Karena sebuah alasan, Kobe te...