9.

1.7K 162 30
                                    

Oemjii, tadinya aing gamau double update lagi dan pengen posting entar-entar aja, gitcuuu

Tapi, karena viewers book ini udah tembus 1000, aku unlocked new chapter buat kalian

Seneng, gak? Seneng, gak? Wajib seneng doonnggg

Kalian yang suka liat orang tengkar, pasti suka sama chapter ini, xixixi

Janlup tinggalin komentar banyak-banyak, yaawww

Kalian tim Abang apa Adek?

Bagiin book ini ke temen-temen kalian biar makin banyak yang kenal sama Abang dan Adek, yaawww

Piriding~

Haechan tidak bisa berhenti memikirkan Teh Hanna. Bukannya dia suka atau berniat menikung temannya. Tidak. Haechan juga tidak berpikiran buruk tentang gadis yang disukai temannya itu.

Selama perjalanan pulang, Haechan hanya diam saja. Dia benar-benar hanyut dalam pikirannya sendiri. Jaemin juga terlihat tidak berniat menganggu temannya itu, membiarkan Haechan terhanyut dalam oleh isi kepalanya. Sampai di rumah, Haechan sama sekali tidak berucap saat turun dari taksi, Jaemin bilang dia yang akan membayar ongkosnya.

Haechan menghela napas pelan, mengeratkan pegangannya pada tali tas, membuka pintu rumah perlahan. "Adek pulang!" ucapnya sembari melangkah masuk.

"Adek cuci tangan sama kaki gih, terus mandi."

"Iya, Bu." Dia membalas pendek, meletakkan sepatunya di rak lalu segera berjalan ke kamar.

Jaehyun yang menangkap raut lesu adiknya, menatap penuh curiga.

"Adek kenapa, Jae?"

"Enggak tahu, Bu. Tadi habis pergi sama Jaemin. Palingan mereka tengkar, kayak biasanya." Jaehyun membalas seadanya saja karena dia memang tidak tahu apa-apa.

"Kamu tanyain gih nanti. Bisa demam dia kalau murung gitu." Nyonya Jeong mendesis pelan. Kebiasaan Haechan, dia akan demam jika banyak pikiran.

Haechan itu memang agak lemah, entahlah ... fisiknya sering membuat orang-orang terdekat khawatir. Tidak selemah itu memang, tapi tetap saja, banyak yang sering khawatir jika itu menyangkut Haechan.

"Iya, Bu," balas Jaehyun pendek. Dia juga berniat bertanya pada adiknya tanpa perlu disuruh.

Jaehyun berjalan menuju kamarnya. Haechan biasanya membutuhkan paling tidak dua puluh lima menit untuk selesai dengan urusannya sendiri.

Jaehyun duduk di kasur, membuka aplikasi permainan dan menjadi begitu fokus. Sebelumnya, dia menyetel alarm pada ponselnya, sesuai perkiraan waktu yang dibuatnya sendiri.

Kamar Jaehyun didominasi warna biru gelap. Bagian atas kamarnya ditempeli banyak sekali tempelan berbentuk benda-benda di angkasa. Catnya sendiri memiliki kandungan fosfor, sehingga saat lampu dimatikan akan ada cahaya remang-remang muncul dari dinding, sangat keren.

Haechan pernah bertengkar dengan Jaehyun, meminta bertukar kamar. Tapi, baru semalam tidur di kamar abangnya, Haechan menangis dan ingin kembali ke kamarnya sendiri. Menurut Haechan, cahaya yang dihasilkan oleh dinding kamar Jaehyun lebih mirip seperti rumah horor. Haechan trauma tidur di kamar abangnya.

Alarm berbunyi tepat saat Jaehyun selesai dengan permainannya. Meletakkan ponselnya di atas meja, berdiri, lalu berjalan untuk menghampiri kamar Haechan. Jaehyun mengetuk tiga kali sebelum masuk, membuka pintu yang tidak dikunci. Haechan berbaring di kamar.

"Ayo turun, makan," ajak Jaehyun.

"Males." Dan Jaehyun seperti sudah menduga jawaban apa yang akan Haechan keluarkan.

Jaehyun membuka pintu lebih lebar, memberikan akses untuk dirinya sendiri masuk lebih dalam. Haechan yang berbaring di kasur menutupi tubuhnya sampai leher dengan selimut.

Jaehyun mendesah pelan. "Kenapa sih, Dek?" tanyanya, mengusap pelan kepala Haechan. Dia duduk di pinggir ranjang adiknya. "Tengkar sama Jaemin?"

"Enggak."

"Terus kenapa?" tanya Jaehyun.

"Bang."

"Iya?" Jaehyun menunggu kalimat yang ingin Haechan utarakan dengan sabar. Adiknya terlihat berpikir keras sekarang, membuat Jaehyun gemas ingin meninju pipi gembilnya saja.

"Jaemin suka sama cewek, namanya Teh Hanna." Haechan menjeda kalimatnya cukup lama.

"Terus?"

"Teh Hanna cantik banget." Haechan lagi-lagi memberi jeda pada kalimatnya. "Tapi, kakinya pincang sebelah." Matanya menatap langit-langit, seolah mencari jawaban atas pikirannya sendiri di sana. "Haechan bukannya berpikir itu jelek. Enggak kok, Jaemin malah keren banget kalau menurut Haechan."

"Terus, kenapa Adek sedih?" pancing Jaehyun.

"Bang."

"Hm?"

"Jatuh cinta tuh rasanya gimana, sih?" Haechan menatap Jaehyun dengan tajam. Ada perasaan aneh yang dapat Jaehyun tangkap di sana, seperti kemarahan.

"Kayaknya, Adek salah tafsir tentang apa itu jatuh cinta. Waktu lihat Jaemin sama Teh Hanna, Haechan tuh ngerasa adem banget gitu. Tapi, Haechan jadi penasaran. Apa Haechan beneran cinta sama Lisa? Atau Haechan cuma pengen mengungkuli Abang?"

Jaehyun tertegun. Dia tidak pernah berpikir kalimat itu bisa keluar dari bibir Haechan, adiknya sendiri. "Mengungkuli Abang?"

Wajah Haechan sedikit memerah, matanya juga berkaca-kaca. Dia kelihatan marah dan Jaehyun tidak tahu alasannya sama sekali.

"Abang tahu nggak, sih, Abang tuh bisa bebas ngapa-ngapain. Abang punya semuanya, beda banget sama Adek! Abang tahu nggak, Adek juga pengen kayak Abang! Pengen bisa semuanya sendiri."

"Tapi, Dek. Lo tuh ...."

"Adek apa? Adek lemah? Abang mau bilang gitu, hah? Adek nggak lemah, Bang! Adek juga bisa kok kayak Abang kalo dibolehin!" pekik Haechan. Dia memotong kalimat Jaehyun dengan cepat.

"Dek ...."

Haechan menatap kesal ke arah Jaehyun. "Abang diem dulu!" serunya. "Memangnya, kalian pikir Adek ini burung yang disimpen di sangkar, apa? Adek juga punya keinginan sendiri. Adek pengen lari-lari di lapangan, main basket, voli, Adek pengen bisa semuanya juga!" Haechan menarik selimut, menutupi kembali tubuhnya.

"Haechan!" Jaehyun mendesis, dia ikut kesal dibuatnya.

"Adek nggak lapar, mau tidur aja!" dengkusnya.

Jaehyun menghela napas pelan, mengusap rambut Haechan sebelum berdiri. "Chan, lo tahu nggak sih. Apa yang lo tuduhin ke gue, ke kita-kita, nggak ada yang bener. Kita sayang sama lo, tapi kita nggak pernah ngebatesin apa yang lo mau."

"Bullshit!" cibir Haechan. "Mulai sekarang, gue juga bisa ngelakuin semuanya sendiri! Gue udah gede!" Haechan berucap cepat.

"Chan, lo sadar nggak sih apa yang lo omongin?" Jaehyun ikut menaikkan oktaf suaranya.

"Lo pikir gue pingsan apa sampai nggak sadar?" balas Haechan sengit.

"Dek ...."

"Keluar sana! Gue nggak pengen denger suara lo."

Jaehyun mendesis kesal. "Oke! Terserah lo! Gue ngikut apa yang lo mau!" bentaknya sebelum keluar dari kamar Haechan, dan menutup pintunya sedikit kencang. Jaehyun emosi, sama seperti Haechan.

Haechan menyembunyikan tubuhnya, menangis di balik selimut. Dia takut, tapi dia tidak mau terus-terusan diperlakukan sebagai anak kecil.

"Enggak pa-pa, Chan, lo bisa. Lo nggak mungkin bergantung terus sama abang lo!" ucap Haechan untuk menenangkan dirinya sendiri.

"Jaehyun jahat! Kenapa bentak gue?" Haechan terisak. Suara bentakan Jaehyun masih terngiang di kepalanya.

Haechan takut.

...

TBC

BrotherHot•√ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang