18.

1.7K 176 15
                                    

"Pahit ... Adek nggak mau makan. Abang aja yang makan," rengek Haechan.

"Jangan gitu dong, Adek kan harus minum obat nanti. Makan dikit lagi, ya?"

"Nggak mau, Abang! Makanannya pahit, Adek nggak suka!"

Haechan sudah ditangani dokter tadi, dan sekarang waktunya makan siang. Jaehyun menjaga Haechan sendirian karena Mang Asep sudah pulang.

Suhu tubuh Haechan lumayan turun dibanding saat masih di rumah. Haechan bilang, badannya seperti remuk semua dan makanan yang masuk ke mulut tidak jauh-jauh dari kata pahit. Haechan sudah seperti anak tujuh tahun yang susah dibujuk.

Tapi Jaehyun tidak kehabisan akal. Jaehyun tidak menyerah begitu saja. Menuruti Haechan hanya akan membuat anak itu lebih lama sembuhnya. Wajah Haechan bahkan sampai memerah karena suhu tubuhnya yang tinggi, membuat Jaehyun merasa jika adiknya mirip kepiting rebus.

"Ya udah, Adek mau makan apa? Abang beliin deh, yang penting Adek makan," bujuk Jaehyun.

"Mau bakso. Baksonya Pak Ridho."

"Hah?"

"Abang kan tadi tanya, Adek mau makan apa, ini Adek jawab. Adek pengen makan bakso. Tapi maunya bakso yang dijual Pak Ridho."

Jaehyun mengusap keningnya, menatap Haechan. Dia seperti berusaha mencari tahu, Haechan hanya bercanda atau serius. Tapi sepertinya Haechan memang serius dengan kemauannya.

"Baksonya Pak Ridho lumayan jauh, Dek. Kalau beli bakso di sana, sampai sini nanti udah dingin. Adek kan nggak suka makanan yang sudah dingin. Beli yang dekat sini saja, gimana?" bujuk Jaehyun.

"Enggak pa-pa. Adek pengen baksonya Pak Ridho," rengek Haechan lagi. Dia juga tidak tahu kenapa, hanya mendadak sangat menginginkan masakan milik tetangga mereka tersebut.

"Ya udah, Abang beliin." Daripada Haechan tidak makan, mending Jaehyun menyerah saja untuk berdebat.

Namun, masalah tidak berhenti di situ saja. Saat melihat abangnya bergerak, Haechan auto panik.

"Abang mau ke mana?" tanya Haechan cepat, air mata sudah menumpuk di ujung mata.

"Beliin bakso buat Adek, 'kan?" jawab Jaehyun, bingung sendiri.

Haechan mencebikkan bibirnya, tidak suka. "Abang jangan pergi. Adek nggak mau sendirian." Matanya yang berkaca-kaca tadi sudah mulai menjatuhkan beberapa tetes cairan.

Jiwa cengeng Haechan sepertinya datang lagi. Haechan memang sangat rewel saat sakit, dia tidak suka ditinggal sendirian, tapi memiliki banyak keinginan yang harus dituruti juga. Mengriweuh sekali memang.

"Terus, Adek maunya gimana?" Capek Jaehyun tuh lama-lama.

"Beliin bakso, tapi Abang di sini aja," jawab Haechan lirih.

Jaehyun menghela napas pasrah. "Ya udah, nanti Abang mintain Johnny buat beliin baksonya. Sekarang masih jam sekolah, Adek makan bubur dulu, ya?" Entah untuk keberapa kalinya Jaehyun mencoba membujuk. "Adek kan harus minum obat juga. Mau, ya, makan buburnya," pinta Jaehyun lagi.

"Iya." Haechan membalas dengan suara lemah, mengundang napas lega dari Jaehyun.

Jaehyun membantu Haechan untuk duduk bersandar pada kepala ranjang. Selesai mengatur posisi duduk adiknya, Jaehyun menyuapi Haechan. Haechan mengunyah dengan cukup lama, rasa pahit yang memenuhi mulut membuatnya enggan menelan makanan tadi. Tapi, dia juga tidak mau gagal mendapatkan bakso. Jaehyun sangat sabar meladeni sifat adiknya itu.

"Jangan lupa baksonya," peringat Haechan saat Jaehyun memasukkan suapan ke lima.

"Iya."

"Udah, Abang. Adek mual kalau banyak-banyak."

"Dua kali lagi, ya? Adek belum sarapan tadi."

"Dua kali beneran, ya?" Jaehyun mengangguk, mengiakan.

Setelah dua kali suapan tadi, Jaehyun membantu Haechan untuk meminum obatnya. Dia memastikan kalau Haechan benar-benar menelan obat tadi.

"Udah. Adek tidur, istirahat, biar panasnya cepet turun."

"Eung," lenguh Haechan pelan. Dia menurut saja. Toh tubuhnya memang lemas dan sangat sakit hanya dengan sedikit gerakan. Haechan benci aroma antiseptik, dan tidur juga bukan pilihan yang buruk untuknya.

Jaehyun menepuk-nepuk lengan kanan Haechan, memberikan tatapan teduhnya untuk sang adik. Haechan terlihat sangat damai dalam tidurnya.

"Kalau lagi tidur aja kelihatan anteng," dengkus Jaehyun pelan.

"Pedes, nggak?"

Saat ini Johnny sedang dalam misi menyelamatkan nafsu makan Haechan. Sepulang sekolah tadi, dia mendapat telpon dari Jaehyun, yang tentu saja memberikan tugas sangat penting dari pusat negara. Membelikan bakso untuk Haechan di warung Pak Ridho.

"Ya enggak lah, bego! Namanya juga buat orang sakit!"

Pak Ridho yang dari tadi dengerin obrolan Jaehyun sama Johnny di telepon ikutan ngegas. Johnny yang denger saja sampai terkejut, matanya membola kayak mau keluar dari tempat.

Kok ada ya, tukang bakso galaknya sialan banget?

"Mama saya kalau sakit beli bakso pedes banget, Pak," gerutu Johnny yang tidak ditanggapi sama Pak Ridho. Jaehyun di seberang sana udah ketawa-ketawa saja mendengar Johnny disembur sama tukang bakso.

"Nanti langsung bawa ke sini ya, John. Oh ya, makasih."

"Masama, oy, kayak sama siapa aja," balas Johnny.

"Buat Haechan ya, Mas?" tanya Pak Ridho.

"Iya. Kok Bapak tahu?"

"Ya, tadi pas telpon-telponan masnya manggil nama Jaehyun, abangnya Haechan, 'kan?" ujar Pak Ridho lagi.

"Oh, Bapak kenal sama Haechan?" tanya Johnny. Dia tuh gampang akrab anaknya. Tidak canggung kalau diajak ngobrol, meskipun belum kenal gitu. Easygoing, kalau kata orang-orang sekarang.

"Kenal. Dia yang kemarin cekcok sama abangnya di depan warung Mang Asep. Terus besoknya makan di warung saya."

Ooohhh, Johnny sudah mendengar cerita itu. Kisah tentang perjuangan Haechan membeli bakso di warung tukang nasi goreng. Tiada akhlak memang manusia satu itu—lebih ke abangnya sih yang kurang aja, menurut Johnny. Sudah tahu Haechan otaknya kadang cuma sebagian yang kepakai, malah diusilin yang bikin susah orang lain juga. Untung saja orang-orang yang jualan di sini baik, kalau tidak, ck ck ck. Bisa jadi keajaiban dunia kali, ya?

"Ini, Mas. Gratis ajalah, buat Haechan, 'kan?"

"Lah? Kok gratis, Pak? Emang kenapa kalau buat Haechan? Bukannya masih sama-sama manusia? Apa kalau Haechan yang beli bisa jadi pesugihan buat Bapak, ya?"

Kayaknya karena kelamaan bergaul sama Haechan dan Jaehyun, otak Johnny jadi ikutan konslet. Pak Ridho menatap horor ke arah Johnny, bahaya banget mulutnya.

"Astagfirullah, mulutnya."

"Bercanda, Pak. Maaf, hehe."

"Sayanya mau kasih gratis, Mas. Enggak ada tujuan apa-apa. Pure mau kasih saja. Sekalian bilangin ya Mas ke Haechan, moga cepat sembuh." Pak Ridho menitipkan pesan untuk Haechan.

"Ah, iya, Pak. Saya sampaiin nanti."

Aslian, Johnny bingung banget sekarang. Sesering apa pun dia nongkrong di warung kopi, belum pernah tuh dikasih gratisan. Lah ini, Haechan yang baru beberapa hari jadi pelanggan Pak Ridho kok bisa dapat gratisan semudah ini, ya? Johnny harus curi resepnya dari Haechan setelah ini. Kan lumayan kalau dia nongki di warung-warung terus dapat gratisan gitu.

Haduhhh, dasar jiwa setan yang tersesat lainnya.

TBC

BrotherHot•√ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang