10.

1.7K 157 13
                                    

Haloo, ayem beekk

Kalian ada yang lagi sibuk skripsian, nggak? Aku lagi sibuk skripsian, gaesss. Jadi, aku mau update dulu sebelum lanjut ngerjain skripsian lagi T.T

Sebenernya aku mau update mingdep aja sekalian, karena kayaknya bakalan full sibuk buat mingdep. Tapi aku udah kangen sama Abang dan Adek juga, wkwk

Udahlah, nanti terlalu panjang jadinyaaa

Janlup tinggalin votment, yaawwww

Piridinggg~

"Hari ini Haechan mau berangkat sekolah sendiri."

Selesai sarapan, Haechan mengutarakan keinginannya, memerhatikan raut milik ibu dan abangnya. Mereka memang tidak banyak berbicara saat makan.

Ibu menatap Haechan, seolah meminta penjelasan akan kalimatnya tadi. "Haechan sudah besar. Lagian, buat apa motor yang dibeliin Ibu kalau nggak dipakai?" jelas Haechan.

"Tapi, kan, Adek biasanya berangkat sama Abang," ucap Ibu, merasa ada yang aneh.

"Sekarang pengennya berangkat sendiri!" Haechan bersikeras, tidak mau diganggu keinginannya. "Lagian, Adek sudah gede juga. Enggak selamanya Abang boncengin Adek ke sekolah!"

"Tapi, Dek—"

"Bu, Jaehyun berangkat dulu. Adek bawa motor sendiri juga, 'kan?" Jaehyun memotong kalimat ibunya. Dia menyandang tas, berjalan meninggalkan Ibu dan Haechan di ruang makan. Haechan menatap kepergiaan abangnya, mendecih pelan, mengambil tasnya lalu berdiri.

"Adek juga berangkat," pamitnya.

"Hati-hati, ya? Adek jangan pulang telat. Bawa motor sendiri—"

"Iya, Adek nggak pulang telat, nggak pergi-pergi juga. Langsung pulang pokoknya," ucap Haechan, memotong kalimat ibunya.

Haechan merogoh saku, mengambil kunci motor dari sana. Saat di ruang tamu, dia mendengar deru motor Jaehyun menjauh. Haechan tersenyum kecut, abangnya sudah berangkat.

"Terserah. Lagian, gue bisa berangkat sendiri juga!" Haechan memegang erat kunci motornya, berjalan dengan penuh percaya diri. Dia yakin, dia bisa mandiri tanpa bantuan Jaehyun. Haechan tidak mau terus-terusan berada di belakang Jaehyun. Dia tidak mau dianggap remeh terus-menerus. Dia mau berkembang.

Haechan menaiki motor matic yang dibelikan untuknya saat baru masuk SMA. Sebelum menyalakan mesin, Haechan tidak lupa mengenakan helm. Tangannya sedikit berkeringat, mengingat ini akan menjadi hari pertama dia datang ke sekolah dengan motor sendiri. Haechan memang tidak pernah lepas dari pengawasan Jaehyun, dan hari ini akan menjadi kali pertamanya.

Semua akan menjadi kali pertama untuk Haechan, mulai hari ini. Haechan sangat yakin dengan keinginannya.

Motor mulai dinyalakan, perlahan Haechan mulai melajukannya. Lalu, belum ada lima meter perjalanan, Haechan menghentikan lagi laju motornya. "Sial! Gue, kan, nggak hafal jalan ke sekolah!" Haechan ingin menangis saja sekarang. Dia sangat jarang memerhatikan jalanan, dan sekarang dia mendapatkan karma sepertinya.

Haechan putar balik, menuruni motornya lalu berlari ke rumah. "Loh, nggak jadi berangkat, Dek?" tanya Ibu.

"Ibu, telponin Abang. Adek, kan, nggak hafal jalan, Bu!" rengek Haechan, mengundang tawa ibunya tentu saja.

"Ibu bilang juga apa, mending berangkat bareng Abang. Adek nggak mau denger, sih! Makanya, kalau ada orang tua bicara didenger baik-baik, jangan asal dipotong."

Haechan mendengkus kesal. Memeluk tubuh ibunya, tidak mau menunjukkan wajah. Dia malu. "Telponin Abang, cepet. Adek nggak mau nyasar ke sekolahnya."

"Iya, iya," kekeh Ibu, menepuk pelan pundak Haechan.

Haechan masih dalam posisi memeluk tubuh ibunya, tidak mau menampakkan wajah. Ibu mengambil ponsel dari saku, menghubungi nomor Jaehyun.

"Halo? Ada apa, Bu?" Suara Jaehyun cukup keras untuk bisa Haechan dengar.

"Kamu di mana?"

"Udah sampai di sekolah," jawab Jaehyun.

"Balik pulang, gih. Jemput Adek."

"Tadi katanya mau berangkat sendiri?" Haechan mencebik kesal saat suara Jaehyun jelas sekali terdengar mengejek.

"Ya, kamu tahu sendiri si Adek nggak hafal jalan, Jae. Sudah, pulang cepetan, jemput Adek."

"Iya, Bu."

Ibu melepas pelukan Haechan, menepuk pipi putranya itu dengan lembut. Ibu berucap, "Kamu berantem sama Abang?" Haechan mengangguk pelan. "Kenapa?" Haechan menggeleng, tidak mau menjawab. "Dek ... Ibu sama Abang sayang banget sama Adek. Apa pun yang Abang lakuin, Abang berusaha jaga Adek."

"Adek bukan cewek yang mesti dijaga!"

"Iya, Adek memang bukan cewek. Siapa juga yang bilang kalau Adek itu cewek? Ibu yang lahirin Adek, jadi Ibu juga tahu kalau anak Ibu ini cowok."

Haechan menunduk. "Semua orang terlalu berlebihan kalau sama Adek. Adek risi juga kalau diperhatiin sebanyak itu."

"Dek ... percaya deh sama Ibu. Enggak ada yang berusaha membatasi Adek. Itu cuma perasaan Adek aja," ucap Ibu pelan, berusaha memberi penjelasan.

Haechan memilih untuk bungkam, tidak mau menepis ataupun membenarkan ucapan ibunya.

Keduanya menoleh saat suara motor Jaehyun terdengar. "Sudah sampai, tuh. Gih, susul Abang."

"Adek berangkat sekolah dulu, Bu."

"Iya," balas Ibu pelan. Ibu melihat sendiri saat Haechan keluar rumah, dan terkekeh mendengar cibiran Jaehyun pada adiknya itu. Ibu bahkan dapat membayangkan ekspresi yang Haechan keluarkan karena terlalu kesal.

Anak-anaknya sudah tumbuh dewasa. Padahal rasanya baru kemarin mereka menyambut kehadiran Haechan di rumah keluarga Jeong. Ibu jadi rindu akan masa-masa itu, hari di mana anak-anak masih sangat kecil dan hanya mengerti bermain saja.

...

"Pegangan!" peringat Jaehyun.

"Ini juga sudah pegangan kok!" Haechan menjawab ketus.

"Gue ngebut nih!"

"Ngebut aja! Lo pikir gue takut apa?" tantang Haechan.

Jaehyun benar-benar menaikkan kecepatan laju motornya setelah melewati gang.

"Aahhh! Jangan gila lo!" pekik Haechan, meraih pinggang abangnya untuk dipeluk karena terlalu takut. "Jaehyun! Turunin kecepatannya, SETAN!"

Bukannya berhenti, Jaehyun malah semakin laju mengendarai motor. Haechan mengeratkan pelukannya, menyembunyikan wajahnya di punggung Jaehyun.

"SETAN! SIALAN!" Tubuh Haechan gemeteran, bahkan saat motor sudah berhenti di parkiran.

"Udah, nggak usah lebay lo. Udah berhenti ini motornya," ejek Jaehyun.

Haechan menjauhkan diri dari Jaehyun, segera turun dari motor. Matanya memelotot, menatap tajam pada abangnya. Setelah membuka helm, dia melemparnya ke arah Jaehyun. "SIPIT SIALAN!" pekik Haechan, berlari untuk menjauhi Jaehyun yang tertawa meremehkan.

Harinya untuk tampil sebagai anak keren hancur begitu saja. Haechan kesal setengah hidup memikirkan bagaimana dia memekik kencang di jalanan dengan cara tidak etis.

Semua salah Jaehyun. Haechan semakin kesal pada abangnya itu. Jika boleh, Haechan ingin menenggelamkan Jaehyun ke rawa-rawa saja.

"Eh, gue kan belum hafal jalan. Kalau gitu, Jaehyun nggak boleh tenggelam dulu," gumam Haechan, membetulkan pikirannya.

Yah, gimana Haechan bisa hafal jalan kalau Jaehyun memacu adrenalinnya terus-menerus? Haechan semakin kesal memikirkan abangnya itu.

Jaehyun sialan!

...

TBC

Oh, ya, gaesss, kalau aku bikin WAG buat kita ghibahin abang dan adek gimana? Kalian setuju, gak?

BrotherHot•√ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang