spesial ramadan (2)

674 100 17
                                    

Jam sembilan pagi. Haechan berbaring di bawah jam dinding besar di ruang santai. Mana bulat anak itu mengikuti gerak jarum yang terasa lamaaa sekali berputarnya. Padahal rasanya Haechan sudah berada di posisinya itu selama seratus jam, tapi sampai sekarang masih saja jam sembilan dan itu PAGI.

Setelah solat subuh dan mengaji, Haechan diajak jalan-jalan sama Jaehyun. Mereka keliling kompleks dan menyapa orang-orang yang Jaehyun kenal; soalnya memang cuma Jaehyun yang kenal, Haechan mah modal senyum doang sambil angguk-anggukin kepala waktu ada yang sapa.

Contohnya kayak pas Pak Rajib yang sudah Haechan lupa wajahnya itu bilang, "Loh, ini adek kamu Jae? Sudah gede, ya? Dulu masih suka nangis karena ngompol di celana kan, ya?" Haechan cuma senyum kecut aja nanggepinnya.

Tapi Haechan bakalan jujur, sih, abangnya itu keren karena bisa hafal sama hampir semua orang yang mereka temui di jalan. Kalau tidak kenal juga kemungkinan besar orang itu bukan warga kompleks mereka. Beda banget sama Haechan, orang sama sebelah rumah mereka saja dia suka lupa siapa namanya.

Terus, habis jalan-jalan pagi Haechan diajak siram bunga di depan rumah mereka. Ibu suka banget nanam bunga, tapi Ibu juga suka lupa ngurusin bunga-bunga yang dia tanam. Waktu Ayah belum dinas, Ayah yang ngurusin bunga-bunga Ibu dan Bang Jae suka bantuin kegiatan Ayah. Kalau Haechan sih tidak usah ditanya, dia tim duduk lihatin saja tapi atensinya sambil kemana-mana alias tidak pernah bisa fokus. Mungkin karena itu juga, Bang Jae jadi bisa diandalkan buat bantu itu urusin tanamannya kalau tidak ada Ayah di rumah seperti sekarang ini.

Habis siram tanaman, Haechan pikir kegiatan pagi mereka sudah beres gitu. Tapi Jaehyun memang kelewat aktif, jadi dia malah mengajak Haechan buat jemurin pakaian yang sudah Ibu cuci.

"Biar waktunya tiba-tiba sudah lewat gitu, Dek. Kalau ditunggu terus, yang ada kamu malah laper nanti. Kan kalau sambil gerak gini, waktunya suka tiba-tiba gerak."

Haechan iya-iya saja. Dia kan baru pertama kali puasa, jadi dia ngikut apa kata abangnya. Dia mengekori langkah Jaehyun buat jemurin baju di belakang rumah mereka. Padahal waktu mereka keluar itu masih jam setengah sembilan, tapi terik matahari di Jakarta memang agak sinting. Panasnya naudzubillah banget kalau kata Haechan, mah.

"Abang, kalau habis jemur baju nanti bisa minum?"

"Adek haus?" tanya Jaehyun.

Haechan mengangguk dengan tampang polos miliknya. "Bangett."

Tapi, nyatanya jawaban dari Jaehyun tidak memuaskan sama sekali. Jaehyun malah usap-usap rambut Haechan sambil bilang, "Sabar, ya. Kan Adek puasa dzuhur. Enggak lama, kok."

Aaaaa! Adek tuh haus sekaliii! Abang tidak pekaaa!

Setelah acara menjemur baju selesai, saat itulah Haechan memilih memisahkan diri dari abangnya. Kalau ada di dekat Jaehyun, bisa-bisa Haechan diajak mengepel tanah nanti. Haechan menggeleng heboh akan pikiran aneh yang dia miliki sendiri. Dia masuk ke ruang santai, dan berakhirlah Haechan yang asik menatap jarum jam.

"Lamaaa! Kok nggak azan-azan, sih? Adek kan sudah lapar!"

Bibir Haechan menggerutu. Mulutnya dia manyunkan. Dan mata bulat anak itu masih terus menatap jarum jam yang saat ini masih di angka SEMBILAN.

Haechan memiringkan tubuh. Satu tangannya dia gunakan sebagai bantal, sedangkan tangan yang bebas dia usap-usapkan ke perut buncitnya yang telah berbunyi sejak tadi. Haechan lapar. Dia jadi menyesal karena tidak menuruti perkataan ibunya tadi. Kalau Haechan makan daging yang ibunya masak, pasti dia tidak akan selapar sekarang.

Memang, ya, yang pertama itu pendaftaran. Makanya, Haechan menyesal sekarang, huh!

"Peruuttt, sabar, yaaa. Adek kan puasa. Nanti kalau sudah azan, kita makan banyak-banyak. Makan nasi, makan daging, makan stroberi juga. Terus nanti minum susu, pasti enak!"

Haechan memejamkan mata. Bibirnya mengecap-ngecap, terbayangkan makanan yang dia ucapkan satu per satu tadi. Perut buncit anak itu semakin meraung karena kepalanya yang memikirkan makanan.

"Masih ada kukis nggak, ya? Pasti enak kalau ada kukis juga."

Bukannya berhenti, Haechan malah lanjut part sekian untuk memikirkan makanan yang dapat dia nikmati saat buka puasa nanti.

"Nyam, nyam."

"Adek ngapain?"

Mata Haechan terbuka. "Aaa! Abang!" Dia menjerit kaget karena Jaehyun yang berada tepat di depan wajahnya.

"Adek makan apa? Kok tadi bilang nyam-nyam?" Tidak peduli dengan raut terkejut adiknya, Jaehyun kembali ke pertanyaan awal tadi.

Haechan merengut tidak senang karena secara tidak langsung Jaehyun itu menuduhnya batal puasa. Anak itu mengangkat tubuh untuk duduk, lalu sedikit mendorong bahu Jaehyun agar menjauh darinya. "Adek nggak makan apa-apa, ya!" seru Haechan. "Adek kan puasa!"

"Terus tadi?"

Haechan tertawa pelan. Dia menatap Jaehyun dengan mata yang disipitkan. "Adek lagi mikirin makanan apa aja yang bisa Adek mam waktu buka puasa dzuhur nanti."

"Astagfirullah, Adek!" Jaehyun berdecak menatap ke arah adiknya. "Itu makruh, ya. Apalagi Adek mikirinnya sampai ngecap-ngecap gitu."

"Makruh itu apa?"

"Makruh itu segala sesuatu yang tidak mendapatkan dosa kalau dilakukan, tapi dianjurkan untuk dijauhi!"

"Kan tidak berdosa, jadi nggak pa-pa dong kalau Adek mikirin makanan?" celetuk Haechan diiringi senyuman lebar.

"Enggak gitu konsepnya, Bocilll!"

"Abang juga masih kecil tahu!" protes Haechan. Enak saja dia dipanggil bocil sama abangnya yang hanya berbeda dua tahun itu.

"Intinya, memangnya Haechan mau udah puasa, capek, haus, lapar, tapi nggak dapat pahala apa-apa?"

"Ihhh! Abang bilang kalau puasa nanti dapat surga. Kok ini nggak dapat apa-apa?"

"Ya, kalau kamu nggak bisa nahan pikiran kayak gitu sama saja bohong, 'kan?"

Bibir Haechan mengerucut. Kenapa puasa susah sekali, ya? Padahal kan Haechan cuma mau dapat surga saja. Biar nanti kalau sudah dapat surganya sendiri Haechan bisa pamer ke abang. Haechan juga penasaran, nanti surga siapa yang lebih besar di antara mereka.

Huh! Haechan pusing mikirin surga!

"Ya sudah."

"Ya sudah apa?" tanya Jaehyun.

"Adek tidak memikirkan makanan lagi. Sudah, 'kan? Dapat surga kan nanti?"

Jaehyun tertawa pelan mendengar ucapan polos dari adiknya itu. Dia mengangguk, lalu mengusap lembut kepala Haechan. "Good. Semoga dikasih surga sama Allah, ya, nanti."

"Um!"

Haechan merebahkan tubuhnya lagi. Kali ini Jaehyun ikut melakukan apa yang dilakukan oleh adiknya itu. Mereka sama-sama menatap ke arah jam dinding.

"Abang," panggil Haechan.

"Hm?"

"Kalau makanannya tidak dipikirkan, tapi masuk ke mulut Adek, gimana?"

"Hah? Maksudnya?"

Haechan mengusap-usap perut bulatnya. Dia menatap sedih ke arah Jaehyun. "Perut Adek bunyi-bunyi terusss. Adek lapar, Abanggg!"

Dan tentu saja, perjalanan puasa pertama Haechan masih belum usai.


TBC

Agak sedih, sih, kalau pada nagih update tapi di sini tidak ada yang berusaha meramaikan.

Tapi, ya sudahlah.

Mungkin memang isi ceritanya belum semenarik itu untuk bisa menggerakkan jari kalian buat ninggalin komentar, haha.

Selamat sahur.

Last chapter buat edisi puasa aku update kapan-kapan, yaaa.

Kalau bisa tanya di DM, paling enggak usahain juga buat ramaikan cerita di sini, ya.😔☝

With Love,
Cikinini

BrotherHot•√ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang