14.

1.7K 191 27
                                    

Some of you maybe have noticed that this story is a remake story. Yup, and the original author is still me, wkwk

Nah, the original story only has about 23 chapter, so actually this story will have 23 chapter as well,

But, my friend suggests me to do more with this version

What about you, gaess?

Mau lebih banyak chapter atau ngikut aja kayak versi lama cerita ini?

Kalau mau lebih banyak, kalian mau momen kayak apa untuk cerita lanjutannya?

Reply sini, ya, nanti aku pilih-pilih buat dimasukin, hehe

Btw, janlup buat votment banyak-banyaakkk

Piriding~

Mulut Haechan tidak bisa diam saat Jaehyun mengobati lukanya. Dia terus saja mengoceh yang intinya dia bisa mengobati diri sendiri, tidak membutuhkan bantuan dari abangnya itu.

Jaehyun sendiri sebisa mungkin memilih untuk menulikan pendengarannya, fokus untuk mengoleskan obat merah ke dahi Haechan yang memar. Jaehyun sudah membersihkan darah di dahi Haechan tadi.

Kenapa bukan ibu saja yang mengobati Haechan?

Long-short story, Haechan trauma diobatin ibunya. Soalnya ibunya itu galak dan tidak sesantai Jaehyun saat mengoleskan obat. Makanya, Haechan kalau kenapa-napa seringnya tuh diurus sama Jaehyun. Kebiasaan dari kecil kebawa sampai sudah remaja. Gitu deh, Haechan kayak jadi anaknya Jaehyun sekarang.

"Aw! Jangan kasar-kasar, dong!" pekik Haechan saat Jaehyun dengan sengaja malah menekan lukanya. Dikiranya tidak sakit apa? Haechan mengerucutkan bibir, menatap galak ke abangnya.

"Makanya, diem! Masih mending gue mau ngobatin luka lo itu!" dengkus Jaehyun, lama-lama dia jenuh sama cerocosan Haechan. Tangan Jaehyun mengambil plester di nakas, memasangkannya  ke dahi Haechan dengan kasar.

"Lo ngapain aja sampai bisa luka gini?" Selesai mengobati adiknya, Jaehyun bertanya dengan nada kesal. Jaehyun tuh tidak suka kalau harus melihat adiknya terluka.

"Ya, tadi ... ehm, tadi ...."

"Tadi ngapain?" todong Jaehyun, gemas karena Haechan tidak segera menjawab pertanyaannya. Jelas sekali jika Haechan ingin menghindar, dan Jaehyun juga tidak ingin melepaskan adiknya itu. "Ngomong yang jelas!"

"Jangan galak-galak!" ucap Haechan tidak kalah menyolot.

"Ya, gimana nggak galak kalau lo-nya aja ngomong kek orang gagu?" cibir Jaehyun. "Makanya jawab, lo ngapain kok bisa jatuh tadi?" tanya Jaehyun lagi.

"Kepleset."

"Kepleset gimana?"

"Ya kepleset! Kepleset kok gimana!" ketus Haechan.

"Ya, kok lo bisa kepleset? Lo ngapain sampai bisa kepleset?" Uratnya Jaehyun yang sempat mereda langsung balik lagi. Emosi dia lama-lama ngadepin adeknya.

"Ya nggak tahu! Masa orang kepleset diniatin dulu? Kepleset, ya, kepleset!"

Jaehyun mendengkus kasar, sepertinya dia sudah putus asa untuk memaksa Haechan buka suara. Bikin capek batin.

"Ya udah, serah lo! Gue nggak peduli!" Jaehyun mengangkat bokongnya dari kasur, berjalan menjauhi ranjang milik adiknya.

"Kok gitu?" Mata Haechan memerah, menatap wajah abangnya.

"Ya gitu gimana sih? Lo maunya gimana? Gue capek, mau tidur!"

"Abang marah?" cicit Haechan.

"Enggak! Gue nggak marah. Gue capek, mau istirahat," balas Jaehyun kesal.

Haechan menggigit bibir bawah, melihat Jaehyun yang berjalan tanpa menoleh meninggalkan kamarnya. Dia menghela napas kasar, mengusap pelan plester yang Jaehyun pasang. Matanya jadi semakin berkaca-kaca.

"Tahu ah! Sebel!" dengkus Haechan kesal. "Padahal kaki gue terkilir juga, dasar nggak peka!"

Haechan menutupi kepalanya dengan bantal, mencoba untuk tidur. Tapi, sekeras apa pun mencoba, dia tetap tidak bisa tidur. "Lapeerrr," rengeknya. Haechan menyesal sekarang karena melewatkan makan malam. Dia tidak bisa meminta bantuan Jaehyun, dan ibu mereka mungkin sudah terlelap. Kenapa harinya menjadi menyebalkan seperti ini? Haechan ingin menangis saja.

Suara pintu terbuka membuat Haechan membuka selimutnya cepat. Jaehyun berdiri di depan pintu dengan nampan di tangan. "Makan." Hanya satu kata yang terucap.

Jaehyun meletakkan nampan berisi makanan tadi di samping tubuh Haechan. Dia duduk di sisi yang lain. "Kaki lo ada yang sakit, nggak?" tanyanya. Suara Jaehyun sedikit lebih bersahabat sekarang.

"Yang kanan, terkilir," cicit Haechan.

Jaehyun menarik kaki kanan adiknya itu, ada lebam di dekat mata kakinya. Jaehyun mendengkus kasar melihatnya. "Kalau gue nggak tanya, lo mau diem aja, gitu?" ketusnya. Dia berjalan menuju nakas dekat ranjang, membuka lacinya lalu mengambil minyak urut dari sana. "Kalau punya mulut tuh dibuat bicara, jangan diem aja! Kalau kaki lo kenapa-napa gimana, coba?" Jaehyun mengomel panjang. Dia paling tidak suka melihat adiknya terluka.

Haechan menunduk saja, mengaduk-aduk sup yang Jaehyun bawakan tadi. Dia tidak berani menjawab, bahkan rasa laparnya terabaikan sekarang.

"Gue ngomong sama manusia apa patung, sih? Lo digituin aja udah kacau, gimana kalau gue beneran nggak mau tahu soal lo lagi ke depannya?"

"Emang ... Abang bisa sejahat itu ngabaiin Adek?" Haechan menahan tangisnya.

Jaehyun memberikan tatapan tidak percayanya. Jelas, dia tidak akan pernah bisa melakukan itu.

Jaehyun menarik kaki Haechan kasar, ditumpukan pada pahanya. "Dah lah, males debat sama bocah. Cepet makan, gue urut kaki lo!"

"Jangan kasar-kasar, pelan aja," pinta Haechan.

"Hm," balas Jaehyun pendek.

Jaehyun mulai mengurut kaki Haechan, sedangkan Haechan sendiri memasukkan nasi ke mulutnya. Beberapa kali dia meringis saat Jaehyun menekan bagian yang memiliki lebam, sangat sakit.

"Besok ke sekolah bareng gue, bilang ke Jaemin biar dia nggak nungguin lo di depan rumah."

"Iya," balas Haechan tidak berani memberi bantahan.

"Bawa bekal sekalian, biar nggak perlu pergi ke kantin. Jaemin nggak nyontek PR matematika lo besok, dia ngerjain sendiri."

"Iya."

"Jangan iya-iya doang, beneran dilakuin!" tegas Jaehyun.

"Iya, Abang." Haechan mendengkus pelan, memasukkan suapan terakhirnya ke mulut. Jaehyun sendiri terlihat sudah selesai mengurut kaki Haechan.

"Susunya dihabisin, gue yang bikin."

Haechan tanpa banyak kata segera menandaskan isi gelas. Dia meletakkan piring dan gelas sisa ke atas nampan kembali. "Abang," panggilnya.

"Apa?"

"Temenin Adek tidur."

Jaehyun menghela napas pelan. Dari kecil, setiap mereka memiliki pertengkaran besar, keduanya akan berakhir tidur bersama. Atau, paling tidak jika Haechan yang merasa bersalah. Tidur bersama seperti sebuah permintaan maaf tanpa suara, mengakhiri perdebatan panjang tanpa ujung.

"Gue balikin nampannya dulu," balas Jaehyun yang membuat Haechan bisa bernapas lega.

"Iya."

Jaehyun mau memaafkan Haechan. Jaehyun tidak akan bersikap dingin lagi padanya. Haechan sangat lega sekarang. Haechan tersenyum manis, memandang ke arah pintu yang sudah tertutup.

"Ada untungnya juga gue kejedot."

Crap, Haechan! Malah bangga habis bikin heboh abangnya!

...

TBC

BrotherHot•√ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang