spesial ramadan (1)

807 102 14
                                    

Silakan dibaca dulu, ya. Maaf kalau agak panjang.

Sebelumnya buat sayang-sayangku yang tanyain S2 BrotherHot, buat saat ini belum ada niatan, yaaa. Soalnya cerita ini kan baru tamat belum lama ini, dan seperti yang aku bilang kemarin kalau Abang dan Adek lagi persiapan untuk naik cetak (kemungkinan setelah lebaran nanti akan terbitnya, jadi silakan nabung, yaaa).

Terus, karena aku lagi fokus nulis Papa dan Kakal, jadi biar tidak bercabang idenya, aku belum merancang S2 untuk cerita ini.

Apakah akan ada S2? Sekali lagi sayang-sayangku, aku belum ada niatan membuat S2. Bukan berarti tidak ada pikiran ke sana sama sekali.

Selain itu, aku takut karena terlalu fokus sama cerita Abang dan Adek, nanti malah universe cerita di akun ini akan mandek di BrotherHot saja.

Tenang saja, gaesss, masih banyak cerita menarik di akun ini dan ke depannya juga aku akan banyak menulis juga.

Mohon dukungan untuk cerita-cerita di akun Cikinini, yaaa.

With Love,
Cikinini

And, happy reading!


Saat suara jam wekernya berbunyi, Jaehyun segera mengangkat tubuh dan berjalan untuk mematikan benda tersebut. Anak berusia delapan tahun itu membawa langkahnya menuju kamar mandi, lalu dia mulai membasuh muka agar tidak kembali mrngantuk. Setelahnya dia kembali ke ranjang, mengamati wajah terlelap adiknya yang tidak terusik sama sekali.

Jaehyun menarik selimut milik Haechan, lalu menempelkan kedua telapak dinginnya ke pipi sang adik. "Bangunnn! Bangunn! Yang katanya mau puasa, ayo bangunnn!" ucapnya sambil memencet-mencet pipi gembil milik Haechan.

Tentu saja aksi Jaehyun itu membuat sang adik terusik. Haechan bergumam kesal, berusaha menyingkirkan tubuh kakaknya yang menyebalkan agar berhenti memencet pipinya, dan juga berhenti berisik.

"Diaamm! Diaamm! Adek masih mengantukkk!" jawab Haechan dengan mata yang masih terpejam.

"Ayo, bangun! Nanti keburu imsak, terus nggak boleh makan. Semalam Adek kan sudah baca niat, walaupun Adek nggak makan sahur nanti tetap terhitung puasa, loh. Adek mau?" Sebagai abang yang sudah berpengalaman, Jaehyun berbicara panjang lebar agar Haechan mau membuka mata.

Sayangnya, Haechan adalah Haechan. Kalau masih mengantuk, Haechan tidak mau diganggu.

"Lima menit lagi, Abang. Adek masih mengantuk!" Dan tentu saja jawaban ini keluar dengan mata Haechan yang masih tetap terpejam. Oh, jangan lupakan tangan gempalnya yang berusaha menarik kembali selimut untuk menutup tubuh.

Jaehyun berdecak sebal. Dia menahan selimut yang mau ditarik sama Haechan. Matanya menatap galak pada sang adik. "Echaann, banguunnn!" ucap Jaehyun keras dalam satu tarikan napas.

"Berisiiikkkk!" balas Haechan, tak mau kalah.

"Banguunnn! Banguunnn! Ayo, banguunnn! Ayo sahuurrrr! Ayo, ayoo! Nanti keburu imsaakkk!"

"Nantiii!"

"Harus sekaraannggg!" balas Jaehyun lagi.

Keduanya terus berdebat sampai ibu naik ke atas dan menggeleng melihat kehebohan yang dibuat oleh abang dan adek. Jaehyun berlari menuju ibunya, lalu menunjuk bulatan besar yang tertutupi oleh selimut.

"Kenapa, Abang?"

"Adek tidak mau bangun, Ibuuu! Abang kan sudah bangunkannn!" lapor Jaehyun.

"Abang turun dulu, ya? Biar gantian Ibu yang bangunkan Adek. Abang makan dulu saja tidak apa-apa, okay?"

"Abang tunggu Ibu dan Adek saja," jawab Jaehyun.

"Okay. Abang tunggu di bawah sebentar kalau begitu."

Jaehyun mengangguk setuju. Dia masih sempat berbalik sebentar untuk melihat tubuh adiknya yang terbungkus selimut. Lalu setelah itu dia turun, menunggu ibu dan adiknya di meja makan.

Butuh sekitar sepuluh menit untuk Jaehyun menunggu hingga Haechan dan ibunya turun ke bawah. Haechan dengan rambut acak-acakan, seperti singa yang tidak pernah ke salon itu masih setengah sadar. Mata adik Jaehyun itu masih terkantuk-kantuk, bahkan dia turun dari tangga saja sambil digandeng oleh ibu. Jaehyun merasa kesal karena Haechan yang tidak bisa menepati janjinya sendiri. Padahal kan yang mau ikut puasa itu Haechan, tidak ada yang memaksa sama sekali.

Jaehyun tidak banyak bicara saat makan. Dia menghabiskan isi piringnya tanpa banyak drama. Saat dia sedang meminum susu buatan ibunya, Jaehyun bisa melihat piring Haechan yang bahkan belum habis setengahnya.

"Ayo, Adek. Makan lagi. Nanti biar kuat puasanya," bujuk Ibu.

"Sudah kenyang, Ibuuu. Echan dak bisa mam lagi."

"Nanti kalau puasanya tidak kuat gimana? Ayo, dimakan lagi. Makan dagingnya saja nggak pa-pa." Ibu masih terus berusaha membujuk karena sekarang puasa pertama Haechan. Jika Haechan makan sedikit saja, takutnya nanti dia sudah merengek lapar sebelum jam makan. Bisa-bisa malah jam tujuh atau delapan pagi nanti Haechan minta sarapan.

"Udah kenyang, Ibuuu."

"Makan dagingnya, Echan. Nanti kalau lapar gimana?" Jaehyun jadi ikut membujuk. Adiknya tuh memang paling susah dikasih tahu.

"Sudah kenyang, Abanggg!" balas Haechan, masih keukeuh.

"Ya sudah, kalau gitu Adek minum susunya, ya? Biar kuat."

Kali ini Haechan mengangguk setuju pada Ibu. Dia mengambil gelas miliknya, lalu menghabiskan isi gelas tadi tanpa sisa. Haechan meletakkan gelas yang sudah kosong tadi ke tempat semula.

"Allahuakbar!"

Ibu dan Jaehyun menatap bingung ke arah Haechan yang baru saja berucap takbir itu. "Kok Allahuakbar. Dek? Memang ada apa?" Ibu yang penasaran, memilih untuk bertanya.

Kening Haechan mengerut, seolah-olah pertanyaan yang ibunya ajukan tadi adalah hal paling tidak masuk akal di dunia. Anak itu menjawab dengan sangat ringan, "Kan harus bersyukur kalau habis makan dan minum, Bu. Makanya Adek bilang Allahuakbar tadi." Dia tidak merasa aneh sama sekali dengan penjelasannya itu.

Jaehyun jadi semakin yakin kalau adiknya itu memang masih setengah sadar. Belum sepenuhnya terbangun dari alam mimpi. "Alhamdulillah, Dek, alhamdulillah! Bukan Allahuakbar!" balas Jaehyun sewot.

"Aduh, udah-udah, jangan tengkar. Adek, ambil air wudu. Abang juga. Kita ke masjid, ya?"

"Loh, nggak tidur lagi, Bu?" Haechan bertanya dengan wajah linglungnya.

"Ke masjid, Adek. Solat subuh berjamaah di masjid. Biar dapat banyak pahala. Lagian sebentar lagi juga subuh, ngapain tidur lagi?" Ini Jaehyun yang menjawab.

"Terus, habis dari masjid boleh tidur lagi?"

"Mengaji dulu, dong! Lagian tidur pagi-pagi tuh nggak baik, tahuuu." Jaehyun masih menjawab dengan penuh perhatian, walau dia sendiri sudah jengkel sama pertanyaan Haechan yang tidak ada habisnya itu. Adaaa saja bahan tanyanya.

"Terus tidur laginya kapan?" Wajah Haechan berubah pias. Dia tuh masih sangat mengantuk.

"Nanti siang, habis solat zuhur." Jaehyun mencoba melihat ekspresi yang Haechan buat. Ada kecewa di sana. "Eh, tapi Adek kan puasa zuhur ya, Bu? Kalau habis makan bukannya nggak boleh tidur dulu, ya?" Karena melihat Haechan yang sangat putus asa, Jaehyun jadi ingin iseng sedikit.

"Iya. Soalnya bahaya, nanti organ tubuhnya harus kerja ekstra."

"Loh? Kok? Terus Adek boboknya kapan?" Haechan menampung wajahnya dengan kedua tangan. Dia menatap tidak percaya ke abang dan ibunya.

"Ya ... kapan-kapan," jawab Jaehyun yang berhasil membuat wajah Haechan jadi semakin suram.

"Waktu tidur Adekkk!" Dan yang di kepala Haechan hanyalah jam tidurnya yang berharga. "Apa Adek batal puasa saja, ya?"

"Tidak boleh, Echaannn!" Ibu dan Jaehyun menjawab bersamaan. Mereka hanya bisa menggeleng saja melihat si bungsu yang sudah meletakkan kepala di atas meja.

Haechan seperti kehilangan separo semangat hidupnya. Haechan tidak bisa hidup tanpa banyak-banyak waktu tidur.


TBC

27/03/24

BrotherHot•√ [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang