Snape mengantar grace ke common room Gryfindor. Ia duduk di samping Grace yang berbaring di sofa dekat perapian tadi.
Tubuh gadis itu masih menggigil takut dan dingin. Entah mengapa Snape merasa iba. Ia ingin sekali menghangatkan tubuh gadis itu. Namun, tentu saja tidak bisa.
Yang bisa ia lakukan hanya menunggu ia tertidur lelap.
"Ku tunggu kau sampai tidur. Habis itu aku akan kembali" ucapnya, "sekarang tidurlah."
Grace memejamkan matanya. Sebenarnya ia sudah mengantuk. Hanya saja geledek dan ketakutan mengganggunya dari tidur. Andai saja Snape adalah guling, ia pasti dapat memeluknya erat.
Snape tidak jadi membaca buku kesukaannya. Takdir memang mengharuskan dirinya menemani Grace. Tapi, kalau Snape pikir-pikir... Ini tidaklah buruk...
Kenapa justru ia jadi senang? Dan puas? Bukankah harusnya ia sebal karena diganggu jam bacanya? Tapi... Kali ini tidak...
Ia dengan senang hati menemani Grace. Bahkan hingga fajar pun ia rela berada di sampingnya untuk menjaga Grace aman.
"Dasar bocah..." decaknya pelan.
Grace tersenyum. Padahal ia sudah tertidur. Melihat itu, Snape berhasil dibuat menaikkan sudut bibirnya.
"Profesor... Snape..." Ucap Grace... Mengigau...
Sudah sekian tahun hati Snape yang beku merasakan kehangatan kembali. Setidaknya begitu semenjak Grace mewawancarai dirinya kala hari guru. Ia tak menyangka gadis lugu, polos satu ini dapat memberikan perhatiannya kepada Snape dengan luar biasa.
Hal ini menimbulkan sesuatu pada benaknya. Ia mulai menyayangi anak tersebut. Bahkan... Rasanya sama seperti kala berdua dengan Lily dahulu...
Snape terbuai dalam pikiran dan perasaanya. Tanpa sadar sang gadis berdiri dengan rambut yang berantakan dan mata yang masih terpejam.
"Mrs Russel?"
Tidak ada jawaban. Gadis itu lunglai berjalan ke arah kamar mandi. DUBRAK! Itu suara dia menabrak tembok.
"Ck... Dasar bocah..." Ucap Snape capek.
Singkat cerita flush berbunyi dan gadis itu keluar dari toilet. Masih dengan raut muka yang sama. Mata merem dan rambut berantakan.
Snape masih setia memandangi jendela yang dikenai butiran air hujan. Tanpa sadar gadis yang baru saja dari toilet itu tersandung oleh kakinya.
JEDER!
Tubuh gadis itu tepat berada di atas tubuh Snape yang membeku. Bibir basah gadis itu mengenai dagunya. Deruan nafas hangat menyapu bibir sang potion master lembut.
Tangan kanan Grace terjatuh tepat pada telapak tangan Snape. Dan tangan kirinya tidak sengaja melingkari pinggang pria itu.
Kini ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Di hadapannya ada gadis berusia 16 tahun yang tanpa sadar jatuh ke pangkuannya-lebih tepatnya tubuhnya. Snape tidak sengaja mencium rambutnya yang wangi gulali. Telapak tangan mereka saling bersentuhan dan pinggang pria itu dirangkul lembut.
Hujan memberikan musik hangat terhadap kedua insan tersebut di common room. Snape sadar...
Ia telah jatuh hati pada gadis ini...
Reflek, profesor itu menggenggam erat telapak tangan Grace. Tangan kanannya ia taruh di atas kepala gadis itu. Diusapnya dengan lembut dan penuh kasih. Kakinya digunakan untuk mengelus kaki Grace yang mengambang karena sofa nya terlalu tinggi. Dan ia mengecup pucuk kepalanya hangat.
"Thank you..." Ucap pria itu lembut.
"Sama-sama..." Jawab suara seorang gadis. Itu suara Grace.
SIALAN! DIA BELUM TERTIDUR!
Reflek Snape mendorong tubuh Grace (tapi menahannya pula agar tidak jatuh). Ia hanya ingin wajah bocah sialan itu dapat dilihat olehnya.
"Kau belum tidur!?"
"Belum prof.." ucap Grace polos yang masih mengantuk.
"Sialan!" Snape menjentik kening Grace.
"Ouch! Hey sakit tahu!" Ucap Grace mengusap keningnya yang tidak bersalah.
"Mengapa kau belum tidur, bocah sialan!?"
"Ya habisnya saya pengen tahu gimana reaksi prof... Ternyata reaksinya kayak tadi... Prof belum punya istri kan?" Goda Grace.
Guratan merah terlukis di wajah Snape. Alih-alih marah besar, ia justru kesal kenapa ia dibuat salah tingkah sama muridnya sendiri.
"Prof..." Grace bilang, "i like you..."
Kata-kata itu terlontar keluar begitu saja dari mulut Grace. Namun Snape tidak yakin apakah dia mengigau atau tidak. Raut wajahnya tidak meyakinkan.
Dengan lembut Grace berkata "Profesor sudah jadi bagian yang penting dalam hidup Grace."
Snape benar-benar bisu total. Baik pikirannya maupun raganya. Ia tak dapat memproses semua ini. Yang baru saja terlontar dari mulut Grace dan perasaan yang melanda hatinya ini. Terlalu sulit untuk dikendalikan. Apakah ini bukti pasti bahwa ia menaruh perasaan yang sama? Kalau tidak, mengapa ia begitu bahagia dan malu kala mendengar bahwa Grace menyukainya?
Energi Snape habis total. Ia tidak tahu respon apa yang harus ia berikan. Sang potion master mendesah pasrah. Ia memijat pangkal hidungnya, "huh... untung nilai potion mu jelek."
"Kenapa begitu?"
"Sehingga aku masih bisa benci padamu."
"Jangan benci Grace prof..."
"Nilai potion mu jelek. Ron saja jauh di atas dirimu."
"Tapi nilai DADA ku bagus prof"
"Siapa yang peduli.."
"Profesor tentu..."
"Siapa yang bilang?"
"Bukankah selama ini profesor peduli padaku?"
"Aku cuma berbuat baik. Tidak lebih."
Bagai beling pecah, perkataan tersebut berhasil menusuk hati Grace. Ternyata Snape berbuat seperti itu didasari alasan kebaikan. Tidak lebih. Tidak seperti dirinya sendiri.
Grace berdiri dari rebahnya. Ia mengusap kedua matanya. Berusaha menyembunyikan air mata. Lalu ia pura-pura menguap senatural mungkin "Grace sudah ngantuk prof... Hujan sudah reda juga... Grace sudah gak takut. Terima kasih prof sudah nemenin Grace."
Gadis kecewa itu membalikkan badan dan ingin kembali ke kamarnya lagi. Sia-sia hal itu dicegah oleh profesor Snape yang langsung menarik Grace ke posisi semula. Kini tanpa pikir lama, pria itu memeluk Grace erat, mengelus-elus rambutnya dengan lembut.
"Dasar bodoh... Ternyata kau tidak hanya gagal di kelasku. Tapi gagal mengerti perasaan ku pula..."
"Aku bohong. Aku suka dirimu, bodoh." ucap Snape.
☁️☁️☁️