Author's POV
Sudah dua Minggu Snape dan Grace tidak bertemu. Profesor Lupin bilang profesor Snape sedang ada tugas khusus dari headmaster. Sebenarnya Grace tidak peduli. Ia lebih mementingkan bagaimana caranya lupa akan sakit hatinya.
Lupa untuk memikirkan dirinya.
Tapi tiap kali tetap saja gagal. Wajah profesor potion itu tetap menghantui pikirannya. Kini pelajaran Divination dan Grace ikut memejamkan mata seperti Ron. As always.
"Takdir... memang hal yang tidak dapat... Diduga" puitis Trelawney. Aku hanya diam. Bahkan kutu buku sekelas Hermione pun juga ogah kalau disuruh ke sini. Aku hanya berusaha mencari pelarian.
Well, setidaknya tidak ada yang mustahil dalam Divination kan?
"Mrs. Russel! Would you stand up! Everyone, let's do a quick forecast on her... Come on come on! Open your eyes everyone!"
Seketika mata Grace terbuka.
"Come! Don't be shy my young lady!"
Profesor Trelawney mendatangi Grace dengan semangat. Membopong dirinya ke tengah ruangan sakral itu.
Seperti biasa ia mengambil sehelai rambut Grace lalu diputar-putarnya bola kristal itu. Apakah yang dikatakan takdir tentang dia?
"Hujan..."
"Apa?" Grace bertanya.
"Hujan memang sering memberi pertanda yang... Unik..."
Grace mencoba menerka maksud guru ramal itu.
"Terkadang... Hujan akan membasahi mu untuk menangis bersama. Terkadang hujan memang tega membiarkanmu menggigil sendirian.
"Tapi...
"Kau akan temukan sesuatu di dalam hujan... Sesuatu yang... Tidak akan pernah bisa direbut darimu... Masa depan maupun masa lalu sekalipun."
Grace terdiam. Profesor Trelawney membuka matanya penuh air mata. Seisi kelas ternganga dengan kejadian barusan.
Gadis itu hanya menatap profesor Trelawney. Berharap mendapatkan penjelasan.
Yang sebenarnya beliau sendiri tidak mengetahuinya.
***
Grace's POV
Hujan?
Malam ini turun hujan. Untuk kesekian kalinya di bulan September, hujan melanda Hogwarts. Tidak salah sih... Toh bulannya juga berakhiran dengan "ber".
Hermione sudah tidur di ranjang. Padahal biasanya ia getol membaca buku hingga malam. Kali ini buku besar itu terjatuh begitu saja dari genggaman tangannya. Menyisakan ia yang mulutnya setengah terbuka tidur dalam lelap.
Ginny, Patil. Semua gadis sudah tertidur. Hanya aku saja yang masih terbangun.
Hanya aku.
JEDER!
Lucu... Biasanya aku takut dengan petir. Kini, aku tidak merasakan apa-apa. Petir tidak lagi menyambar ketakutanku. Malahan...
Aku jadi ingat malam itu...
Malam ketika ia tidur bersamaku di common room.
Aku masih ingat sekali kejadiannya. Hujan kali itu mendukung ku untuk bermesraan dengannya. Hujan dan petir adalah alasanku untuk pergi mendatangi Snape dan bertaut manja layaknya kekasih yang takut akan laba-laba. Kekasih yang minta dilindungi dari marabahaya. Dan juga bagi Snape mungkin hujan adalah pendukungnya. Sehingga ia dapat melindungi ku dari dunia.
Aku teringat dia...
JEDER
Kilatan itu membuat ku menengok ke jendela. Akhirnya aku duduk di sofa sebelah jendela. Sofa ternyaman yang pernah aku duduki selain sofa common room.
Di bawah sepi. Hanya ada rintik hujan yang menciptakan cipratan air pada danau Hogwarts. Dan sesekali kilat menyambar memberi penerangan.
Danau nya hitam... Hitam?
Tunggu... Itu bukan danau... Bayangan apa itu?
Lalu mengapa bayangan itu berlari ke daratan?
JEDER!
ITU SNAPE!!!
Ia mendarat di tepi danau. Ada merah-merah di badannya... Oh Tuhan... Aku harus ke sana-
JEDER!
SIAL! PINTU GERBANG PASTI SUDAH DIKUNCI!
Biasanya aku tidak pernah seberani ini. Iya, walaupun asramaku gryfindor, namun aku dikenal pengecut oleh keluargaku. Maka dari itu mereka merasa aku tidak dapat menjadi penyihir hebat. Jadi muggle saja tidak becus. Tapi, aku tidak peduli...
Kata mereka, cinta itu dapat merubah siapapun bukan?
Maka kuberanikan diri membuka jendela asramaku dan
"Semoga tidak sia-sia nilai excellent ku."
WUSH!
Aku berubah menjadi seekor burung hantu. Burung hantu hitam legam. Menyusur dinding-dinding Hogwarts dan derasnya hujan malam ini. Aku mendekati tubuh Snape yang terbaring lemah di sisi danau.
JEDER!
Bayangan itu pergi. Sial! Karena petir itu, Snape jadi melarikan diri. Aku harus mengejarnya. Ia tak mungkin bisa pergi sejauh itu.
Ternyata dugaanku salah. Ia melesat tinggi ke ujung danau. Aku mengejarnya.
Ia meloncat-loncat di atas genangan air. Malam itu, riak-riak berdansa bersama bayangan hitam Snape yang melaju kencang. Aku berusaha mengejarnya namun ia begitu cepat. Kalau bukan karena rembulan yang membantu ku melihat di mana ia berada, mungkin aku akan kehilangan arah.
"STOPP!!!" ucapku dalam hati. Memaki-maki kenapa burung hantu tidak bisa berbicara.
Bayangan itu menukik ke atas. Aku mengerem laju terbangku. Ia kembali ke Hogwarts. Namun kini, IA MEMASUKI JENDELA KAMARKU! Aku langsung mengejarnya. Berusaha sampai secepat mungkin.
HAP!
Untung saja aku mendarat dengan mulus. Aku berubah menjadi sosok asliku lagi. Seisi ruangan terbangun dengan dobrakan yang Snape buat tadi. Untungnya masih dalam kondisi setengah ngantuk. Jadi aku bisa bersandiwara.
"W-what's that..." Bata-bata Hermione.
Aku menutup jendela kamar. Berpura-pura masih mengantuk. "Jendelanya terbuka tadi... Deras sekali hujannya. Aku sampai kebasahan..." Jelasku tenang.
"Huft... Rain, oh rain..." Keluh Patil.
Mereka semua tertidur kembali. Tapi aku tidak.
Aku pergi ke luar kamarku. Membawa baju ganti sebagai alibi ku nanti.
Aku cepat-cepat turun ke lantai dasar. Menuju dungeon. Aku tahu ia pasti akan ke sana. Entah mengapa, aku hanya berpikiran seperti itu.
"Profesor!" Aku menuruni tangga dungeon. Di hadapanku profesor Snape tergeletak lemas penuh dengan darah di kepala dan lengannya.
Ia tidak bisa berkata apa-apa. Tubuhnya lemas. Matanya redup. Oh Tuhan ia nampak sekarat. Seketika ia menengok ke arahku.
Lalu sekelibat cahaya muncul di matanya. Aku kira ia akan membaik. Ternyata
PRENG!
Ia menerobos keluar dari dungeon.
"Sialan! Jadi burung hantu lagi!" Aku mengejarnya.