Rain: Grace Russel

151 21 6
                                    

"PROFESOR!!!"

Profesor Snape tergeletak lemah di lapangan Quidditch. Jubahnya sudah tidak karuan bentuknya. Sobek di sana sini. Basah darah. Betapa menderitanya pasti ia.

Apa yang sebenarnya ia lakukan?

Aku mendekatinya. Menudunginya dari hujan. Mengelus pipi dan dahinya. Sembari berusaha membangunkan dirinya yang sudah sekarat.

"PROFESOR!!!"

Ia menggeliat kesakitan. Matanya terpejam perih sebelum ia membukanya.

Ia melihatku. Menatapku begitu dalam. Bak seorang penjaga yang menemukan fajar. Bak musafir yang menemukan oasis. Begitulah tatapannya. Tatapan yang menghantui duniaku selama ini.

Dan seketika segala rasa sakit di hatiku, hilang.

"Prof..."

Ia menggenggam tanganku.

"Leave me... Grace..."

"NO!"

JEDER!!!

Ia membawaku ke dalam pelukannya. Menudungiku dari petir dan hujan yang dahsyat. Aku merasa hangat. Sehangat ketika ia bilang bahwa ia mencintaiku. Dan... Lily...

Entah air hujan atau bukan, pipiku basah seketika. Begitu panas rasanya. Aku rasa ini bukan ulah hujan... Tapi air mata...

Aku membenamkan diri di dada sang potion master. Pedih. Hangat. Kecewa. Lega... Semua itu tercampur rata.

Sial...

"Please..." Lirih Snape.

Aku mendongak. Melihat wajahnya yang sedih dan putus asa.

"Please don't leave me..." Ucapnya. Seakan-akan ia yang menderita di sini.

Aku diam. Bayangan buku itu masih membekas di hatiku. Entah siapa Lily Evans itu. Sial... Memikirkan namanya saja sudah membuatku cemburu. Panas.

"Lily's dead..."

M-mati...?

"She might be my first love... But she wasn't meant for me..."

Aku mendengarkan.

"Please... I'm tired with being prophecied... I'm tired of my own destiny...

Ia memelukku lebih erat lagi.

"Be my destiny, Grace... Be my life..."

"Lily still be..."

"Kamu masih cemburu ya...?" Tanya Snape lembut.

Aku diam. Mencoba mengalihkan pikiranku dari bayangannya mencintai gadis lain. Perihnya bayangan itu. Yang aku tahu sebenarnya gadis itu sudah tidak ada.

Bukankah aku egois?

"Shut... Tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri..." Snape menutup mulutku dengan telunjuknya.

"Sedikit..."

Ia tersenyum. Puas dengan aku yang akhirnya mengakui kecemburuanku. Tangannya yang dingin itu membelai dengan hangat. Ia gemetar sekali. Oh, andaikata aku bisa menghangatkan dirinya.

Profesor Snape menggenggam tanganku. "Maaf ya..."

Aku terkejut. Baru pertama kali ia meminta maaf kepadaku. Atau bahkan kepada siapapun(?)

"Aku tahu Lily adalah masa lalu ku. Tapi ia bukan takdirku. Salahkah kalau aku mencintaimu, Grace? Atau kau merasa aku hanya memanfaatkan mu untuk menyembuhkan luka ku?"

Aku menatap Snape. Memegang tangannya yang kelu dan dingin itu. Menahan air mata "d-do you still l-love her?"

Dan aku tidak diberi jawaban apapun. Yang kulihat hanya sebongkah cinta di kedua mata hitamnya. Mata yang tulus. Mata yang melihat bahwa dunianya ada di depannya. Mata yang berpendar-pendar menginginkan diriku seutuhnya. Itu cinta yang baru pertama kali kulihat. Cinta yang begitu murni dari seorang profesor yang gelap.

"Look at me.." bisiknya lembut.

Hujan masih menerpa kami. Namun aku tidak peduli.

Mungkinkah... Ini yang dibuatkan profesor Trelawney?

"I find you in my rain... Grace..."

"Kau akan temukan sesuatu di dalam hujan... Sesuatu yang... Tidak akan pernah bisa direbut darimu... Masa depan maupun masa lalu sekalipun."

***

"Sudah baikan?"

"Ouch! Huh... Lumayan. Terima kasih Grace..."

"Apa yang kau lakukan malam itu?"

Hening. Aku memberanikan diri menanyakan hal itu kepadanya. Lantas, bagaimana aku bisa tahu kenapa ia begitu bodohnya sampai terluka di bawah derasnya hujan itu?

"Jangan pikir aku bodoh..."

"Memang kenyataannya begitu!"

"Wah.. sudah mulai berani dia" pikir Snape.

"Kenapa? Aku berani kan bertanya seperti itu?"

"Sejak kapan kamu belajar legilimance?"

"Ga perlu legilimance. Namanya feeling."

"Dasar wanita..."

"Oh jadi kamu mengenal wanita?"

"Maksudnya kamu Grace! Astaga!"

"Hehe... Katakan padaku!"

"Apa?"

"Ya yang tadi!"

"Dasar galak!"

"Profesor!"

"Shut... Jangan panggil prof, nona muda"

"Yaudah, Tobias!"

"Jelek. Ganti"

"Snape"

"Terlalu biasa"

"Baik, Severus..."

"Kenapa tidak sayang?"

Mukaku memerah. Ada senyum licik di wajahnya yang tergurat halus. Dasar! Udah sekarat gini masih aja bisa bikin aku salting!

"Hehe... Aku bercanda."

"I-it's o-okay... Love..."

Snape terdiam. Baru kali ini Grace yang memulai panggilan itu kepadanya.

"Sorry..."

"No... I like it..." Jawab Snape.

Kami bertatap-tatapan. Entah mengapa. Bersama dia, aku merasa dirinya menjadi muda. Bak remaja yang sedang dimabuk asmara.

"Kenapa?" Tanyaku pelan.

"Cantik..."

Ia benar-benar membuatku salting kepalang.

"Kamu cantik, Grace..." Ia mengelus pipiku lembut.

"Bisa aja..."

Ia tidak menjawab apa-apa. Masa bodoh dengan bagaimana aku menatapnya. Tatapannya jauh lebih dalam. Pekat penuh kasih yang begitu indah. Tidak bisa kujelaskan.

"Ehm..."

Ia malah menyenderkan kepala pada tumpuan telapak tangannya.

"AAAA! SIALAN!!! POSE NYA BIKIN GUA SALTING!!!"

"Shut... Gausah salting..."

BRAK!

"OUCH! SAKIT! KAU GILA YA, GRACE!?"

"M-maaf... Efek salting..."

"Kena kau!" Ia menyentil hidungku. Kabur dari hospital wing.

"SIALAN! HEH! KE MANA KAU! ITU PERBANNYA BELUM REKAT LHO!"

Snape.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang