[Jangan Plagiat]
Di alam semesta yang penuh dengan dewa dan kutukan kuno, lima jiwa berani merentasi utara yang gelap untuk menemui dewa yang terbantai. Tetapi takdir memiliki rencana lain, ketika empat di antaranya menghilang tanpa jejak, meninggal...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
(Dilarang plagiat)
Tiga jam berlalu hingga langit menjadi gelap. Perpustakaan menjadi semakin sepi, dan hanya mereka berempat di sana seolah menjadi basecamp. Arin menaruh kepalanya di atas buku yang baru saja ditutup.
"Kenapa kita tidak bisa menemukan buku lain selain buku yang ditemukan oleh Ringo?"
"Kita bahkan sudah berkeliling di Perpustakaan ini," sahut Phalasia, yang terlihat bingung, bahkan tangannya kembali menaruh buku yang hendak dia ambil.
Prinka menunjukkan wajahnya di lorong yang paling ujung, dan menatap semua orang di sana.
"Sebentar ... kalian mengatakan perpustakaan?" tanya Ringo tiba-tiba dari lorong di tengah-tengah. Arin yang mendengar itu langsung mengangguk. Prinka memilih duduk di kursi kembali sambil menyusun buku yang berantakan di atas meja.
"Ada apa dengan perpustakaan?" tanya Phalasia menunggu Ringo berjalan keluar dari lorong dan melihat cahaya. Ringo menatap ketiga saudaranya.
"Apa itu perpustakaan?"
Pertanyaan Ringo membuat yang lain terkejut. "Sebentar, kamu tidak tahu apa itu perpustakaan?"
Tatapan polos dan anggukan kecil dari Ringo membuat Arin dan Phalasia semakin lelah. Arin merebahkan kepalanya di sandaran kursi. Suasana yang cukup sejuk membuat perpustakaan menjadi tempat yang nyaman untuk tidur.
"Sekarang kamu berada di mana?" tanya Phalasia. Wajah Ringo yang sedang berpikir membuat Phalasia dengan tanggap memegang bahu lelaki itu.
"Di mana kamu berdiri di sini. Itu yang namanya perpustakaan. Aku tahu pasti kamu akan mengatakan kalau ini adalah rumah buku, bukan perpustakaan."
"Bagaimana kamu tahu?" Phalasia menghela napasnya pelan. Dia benar-benar bahagia memiliki saudara kecil dan polos seperti Ringo. Tangan yang semula ada di bahu, kini berganti memeluk Ringo.
Mereka duduk di sekitar meja sambil memperbincangkan rencana mereka. Namun, pikiran mereka masih terpecah tentang kemungkinan tempat Hodomos berada.
"Kita butuh petunjuk lebih lanjut," ujar Arin, menatap ke arah jendela yang kini tertutup oleh langit malam. "Apa kita harus memeriksa lagi catatan-catatan tua di sini?"
Phalasia mengangguk setuju. "Itu bisa menjadi ide bagus. Kita harus mencari setiap petunjuk yang mungkin terlewatkan."
Ringo yang sedang berpikir tiba-tiba mengangkat kepalanya. "Mungkin kita harus mencari petunjuk di luar perpustakaan juga. Hodomos mungkin meninggalkan jejak di sekitar kamp atau di tempat-tempat lain yang dia sering kunjungi."
Semua setuju dengan saran Ringo. Mereka sepakat untuk memeriksa catatan-catatan di perpustakaan dan juga mencari petunjuk di sekitar kamp. Dengan tekad yang kuat, mereka bersiap-siap untuk mencari Hodomos dan mengungkap misteri yang mengitari kepergiannya.