BAB 31 : Jangan Sampai Hilang

10 1 0
                                    

 Sebuah dataran hijau menawarkan pemandangan yang baru, memberikan perasaan lega kepada kelima anak dewa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

 Sebuah dataran hijau menawarkan pemandangan yang baru, memberikan perasaan lega kepada kelima anak dewa. Meskipun mereka harus kembali ke Olympia, setidaknya tidak ada lagi tekanan yang membebani. "Lebih baik kita menjelajahi hutan itu," ajak Arin, yang masih merasa lemah karena ramuan yang dibuat oleh Prinka belum memberikan efek.

Phalasia tersenyum dan mengangguk setuju. Hutan tersebut masih asing bagi mereka, kecuali bagi Ringo yang merasa ada rasa deja vu. Mata Ringo menangkap sebuah ukiran di salah satu batang pohon. "Pohon ini...."

Ringo teringat akan masa kecilnya ketika berkunjung ke hutan ini untuk berkemah bersama teman-temannya. Namun, kebingungan menyelimuti pikirannya, mengingat labirin sebelumnya merupakan hasil campur tangan dewa, dan dengan cepat mereka kembali ke dunia manusia.

"Hutan Ek Foloi," ujar Ringo.

Semua orang menoleh ke belakang, dan Ringo merasa bahwa mereka semua menatapnya dengan kebingungan. "Bagaimana kamu tahu hutan ini?" tanya Phalasia dengan curiga. Ringo menghela napas, bersabar menghadapi ketidakpekaan Phalasia.

"Hutan ini berada di dua dunia. Tempat ini adalah kelahiran Pak Subani. Aku sempat membaca sejarah keturunan Pak Subani. Centaurus. Lalu, jika ini di dunia manusia, Centaurus hanyalah akan terlihat seperti seekor kuda biasa."

Arin tersenyum mendengar cerita dari Ringo, menunjukkan bahwa Ringo yang dulunya pendiam kini memahami banyak hal dan benar-benar kuat. Arin meyakinkan, "Aku merasa seperti membesarkan anak sendiri. Dia sudah dewasa."

Phalasia tersenyum tipis sambil menatap Arin, meresapi kata-katanya. Keduanya kemudian melihat Ringo yang sedang dijahili oleh Prinka. Ringo terlihat sangat bahagia di tengah lelucon itu, sehingga Phalasia menarik tangan Arin.

Senyum yang terpancar dari Phalasia menenangkan Arin. "Kak! Ringo! Kak!" teriak Prinka sambil terus melemparkan dedaunan yang rontok dari pohonnya. Phalasia meletakkan kedua tangannya di pinggang.

Ringo terdiam, memandang Phalasia yang berpura-pura marah. "Lucu sekali."

Phalasia tertawa terbahak-bahak, tak kuasa menahan tawanya melihat wajah takut Ringo. Ringo akhirnya menendang dedaunan yang sudah dikumpulkan oleh Prinka. Kejahilan Phalasia membuat kakak beradik saling berperang kecil.

Arin tertawa bersama dengan tawa menggelegar Ringo yang sedang digelitik oleh Phalasia, "Kak, sudah! Jangan, kak! Geli!!" Ringo mengambil napas dalam-dalam, merasakan detak jantungnya yang berdebar kencang. Tubuhnya meregang saat ia menatap langit yang sekarang dipenuhi awan lembut seperti kapas. "Akhirnya aku bisa melihat langit yang aku rindukan!"

Phalasia mengusulkan, "Kurasa kita beristirahat dulu di sini. Kita bisa mengambil batang kayu yang sudah tumbang sebagai tiang tenda. Harapanku cuma satu ... tidak hujan saat malam nanti," sambil melepaskan tas dan mengumpulkannya di tengah-tengah.

Arin beruntung menemukan tempat yang cukup nyaman, dua batu besar di kanan dan kiri yang menjadi sandaran bagi semua orang. Prinka mengumpulkan ranting-ranting untuk api unggun, sementara tumpukan dedaunan juga dikumpulkan di tempat yang sama.

Ringo : Catching Fire (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang