BAB 9 : Interaksi Hippocampus dan Ringo

19 3 1
                                    


(Dilarang plagiat)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Dilarang plagiat)

"Maju selangkah, kamu yang bersalah," ulang Arin, tatapan matanya yang tajam menatap Arena, menciptakan aura intimidasi di sekelilingnya. Keduanya, meskipun bersaudara, telah terlibat dalam pertengkaran yang panas dan sering mendapatkan sindiran dari rekan-rekan mereka.

"Bagaimana bisa mereka bersaudara, tapi saling bertengkar hebat seperti ini?" Arin mendengar suara orang-orang di sekitarnya berbisik-bisik, namun dia tak memperdulikannya.

"Tentu, namanya persaudaraan ada tengkar ada yang akur. Tapi berbeda dengan kami," ujar Arin sambil melangkah dengan mantap, membiarkan Arena tercengang.

Langkah cepat Arin membuat dua anak dewa yang mengawal di dekat gerbang tidak mampu menangkapnya. "Kalian kurang gesit 0,6 detik dariku," goda Arin dengan senyuman sinis saat dia melintas dengan gesitnya.

Senyum sinisnya terlihat di antara sorotan cahaya dari senter yang sengaja dia nyalakan. Cahaya yang terang memenuhi area sekitar, membingungkan pengawal dan memberikan jalan bagi Arin untuk melarikan diri.

Phalasia, yang melihat seluruh aksi tersebut, tak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap kemahiran Arin dalam mengelabui pengawal.

"Ketika aku hitung, maka berlarilah," perintah Arin kepada pengawal, sambil melemparkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah senter besar dinyalakan, memancarkan cahaya yang cukup luas, mengalihkan perhatian para pengawal.

Arin segera menyusul ketiga saudaranya yang telah pergi terlebih dahulu. Telinganya menangkap gemuruh kekesalan para pengawal yang mulai mengejarnya, namun dia telah memperoleh cukup waktu untuk bergabung kembali dengan Phalasia, Prinka, dan Ringo, sambil membawa benda tersebut yang dia ambil dari tasnya.

****

Berjalan tanpa arah yang pasti, Phalasia dan yang lainnya memutuskan untuk berhenti sejenak saat langit mulai gelap. Cahaya yang semakin redup menunjukkan bahwa malam akan segera tiba, dan hutan di luar perkemahan terasa semakin misterius dan berbahaya.

"Kita harus mempersiapkan diri dengan baik. Aku bisa mencium aroma laut dari sini," ujar Phalasia, memecah keheningan.

"Bagus. Kita bisa menggunakan danau ini untuk melanjutkan perjalanan kita dan menyusuri dunia manusia," tambah Arin dengan penuh keyakinan. Namun, jawabannya tidak direspon oleh yang lain. Pandangan Arin menangkap Ringo yang tertidur di punggung Phalasia.

"Sepertinya dia kelelahan," kata Phalasia sambil mengangguk setuju.

"Benar-benar manis," ujar Prinka, mengamati Ringo dengan senyum.

Arin juga ikut tersenyum. Mereka berempat tidak menyangka bahwa keadaan di perkemahan akan menjadi begitu kacau. Dugaan Arin bahwa Subani tidak ada di sana ternyata benar. "Mereka pasti menyembunyikan Pak Subani," kata Arin dengan mantap.

Ringo : Catching Fire (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang