(Dilarang plagiat)
Hodomos menarik kerah Phalasia dengan kasar, tetapi cemoohan Hodomos tidak membuatnya goyah. "Kamu jangan berbohong. Tidak mungkin anak autis itu bisa menjadi saudara kita," ejek Hodomos dengan nada meremehkan.
"Autis? Berani kamu mengatakan dia seperti itu! Kamu lah anak autis itu! Dan ..." Phalasia terputus saat mendengar Hodomos berkata "kita".
"Kita? Kamu saja tidak pernah menganggapku saudara. Jangan harap kamu bisa menerima bantuanku saat kamu lemah," tukas Phalasia, melepaskan genggaman tangan Hodomos yang terasa menjijikkan di matanya. Dengan anggunnya, dia mengambil sebuah tas kantong dari karung goni.
"Kata siapa aku lemah!" bentak Hodomos, tetapi kata-katanya tidak dihiraukan oleh Phalasia yang sudah berjalan menjauh. Meskipun perbedaan usia mereka tidak begitu jauh, sifat kekanakan Hodomos membuat Phalasia lebih dewasa darinya.
Hodomos, sejak kecil, sangat membenci keluarga Zeus. Senyum bahagia Hodomos saat Thalia menjadi pohon adalah kenangan yang tidak pernah dilupakan oleh saudaranya yang lain. "Aku tidak pernah membenci keluarga kita sama sekali. Senyummu membuatku ingin muntah," ucap Phalasia dengan nada dingin.
"Aku hanya benci dengan keluarga pencuri. Seperti kakakmu, Hodomos," tambahnya sambil melangkah pergi, membiarkan Hodomos terdiam dalam kebencian dan amarahnya.
****
Phalasia meletakkan barang-barangnya di teras rumah, merasakan ketenangan langit yang menyelimuti mereka. Namun, ketenangan itu terputus ketika dia melihat secangkir teh di depan wajahnya.
"Ringo?" panggilnya, khawatir melihat keadaan saudaranya.
"Kamu ... apa ... bagaimana dengan lukamu?" tanya Phalasia dengan penuh kekhawatiran. Terkejut adalah hal yang wajar dalam situasi seperti ini.
Phalasia menerima cangkir teh tersebut dan menyuruh Ringo duduk perlahan di sebelahnya. Meskipun Ringo hanya tersenyum, bibirnya masih pucat pasi. Uap hangat teh itu membuat perasaannya sedikit tenang. Ketika Phalasia merasakan tangan dingin Ringo, dia genggam, membuat Ringo sedikit terkejut.
"Aku baik-baik saja, Phala. Aku mencarimu," akhirnya Ringo bersuara. Hari pertamanya di kamp sudah diwarnai oleh banyak kejadian, dan seakan siang hari belum berakhir, terasa begitu panjang dan penuh aktivitas.
"Lukaku hampir sembuh. Pak Subani memberi ramuan padaku. Jadi, tenanglah," ucap Ringo, menyadari bahwa Phalasia terus memperhatikan luka di punggungnya.
Phalasia tersenyum lebar. "Kamu memang saudara terbaik untukku."
"Terbaik?" tanya Ringo, membuat Phalasia sedikit bingung.
"Aku tidak apa-apa. Bahkan melindungi Arin saja tidak bisa. Aku mendengar ucapan Hodomos tentangku. Dia sudah menemuiku," ungkap Ringo, mengungkapkan ketidakpastiannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ringo : Catching Fire (Revisi)
Adventure[Jangan Plagiat] Di alam semesta yang penuh dengan dewa dan kutukan kuno, lima jiwa berani merentasi utara yang gelap untuk menemui dewa yang terbantai. Tetapi takdir memiliki rencana lain, ketika empat di antaranya menghilang tanpa jejak, meninggal...