BAB 32 : Prometheus dan Api Milik Zeus

10 2 0
                                    

Rumah itu hanyalah tempat tinggal sementara, meski dilapisi kayu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rumah itu hanyalah tempat tinggal sementara, meski dilapisi kayu. Phalasia duduk di bawahnya, merasa tidak nyaman karena karpet tipis yang sudah usang. Di dekat perapian, mereka berempat duduk termenung setelah selesai makan. Merasakan kehampaan. Tidak ada yang membuat mereka waspada. Sejumlah kaleng tergeletak di atas meja.

"Aku merasa ada yang berbeda dari kita," ujar salah satu dari mereka.

"Tidak biasanya Hodomos diam seperti ini," sahut Prinka, membuat Arin menengok sekeliling. Hodomos tidak terlihat di dalam rumah, dan Phalasia serta Ringo juga tidak menyadarinya. Semua orang berfokus pada kegiatan mereka masing-masing sedari tadi.

"Gawat, keadaan di luar akan sangat berbahaya. Hutan ini sangat luas," kata Ringo, membuat Arin semakin panik. Dia tidak ingin meninggalkan adik lelakinya dalam keadaan seperti ini.

Sayangnya, saat Arin membuka pintu, hujan mulai turun. Meskipun tidak deras, akan sangat berbahaya pergi dalam kondisi seperti itu. "Arin, aku mohon tunggulah sampai hujan reda," pinta Phalasia dengan wajah memelas, membuat Arin membatalkan niatnya untuk melakukan sesuatu yang berbahaya.

Selama hampir setengah jam, Arin berdiri di depan jendela, menyaksikan hujan yang belum juga mereda. Meskipun sinar matahari mulai menghangatkan tanah, tetapi hujan terus turun tanpa hentinya. "Hodomos, apa yang kamu lakukan?" gumam Arin dengan kekhawatiran yang masih menghantuinya.

Phalasia meraih bahu Arin, membuatnya menoleh ke belakang. Menjadi kakak tertua bukanlah tugas yang mudah, banyak tanggung jawab yang harus dipikul. Arin merenung, merasa bahwa ini mungkin yang dirasakan Annabelle di keluarganya sendiri. Berpisah dengan saudara kandung bukanlah hal yang mudah.

"Aku teringat kakakku sendiri melihat kejadian ini," ujar Phalasia seolah bisa membaca pikiran Arin yang sedang terhanyut dalam pemikiran. Ringo merasa menyesal karena tidak terlalu memperhatikan teman bermainnya. Keadaan yang rumit membuat suasana menjadi tegang tanpa disadari oleh mereka.

"Aku hanya merasakan kasih sayang saudara ketika bersama kalian. Aku ingin mendengar kisah kedekatan kalian dengan saudara-saudaramu. Itu akan menjadi cerita yang menyenangkan sambil menunggu hujan reda," ajak Ringo dengan lembut, berhasil membuat suasana kembali tenang.

Arin tertawa kecil dan kembali duduk di karpet yang sama. Phalasia tersenyum bangga pada Ringo yang mampu meredakan ketegangan. "Ah, aku tidak begitu dengan kakakku. Dia berada di dunia manusia untuk berkuliah, sementara aku berada di dua dunia. Tapi, aku sama sekali tidak pernah belajar bagaimana menjadi manusia."

"Pasti akan sulit bagimu."

"Tinggal di perkemahan seperti penjara bagiku."

"Kamu benar," setuju Phalasia, merasa memiliki nasib yang serupa.

Phalasia menghela napas. "Kurasa ceritaku mirip dengan Arin. Aku juga jarang bertemu dengan kakakku. Dia sangat dekat dengan kak Annabelle. Namun, ada satu kejadian yang membuatku enggan menyebut namanya lagi. Dia selalu menjadi pusat perhatian ayah."

Ringo : Catching Fire (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang