One Last Time pt. 3

310 34 8
                                    






:::::

    "...Tuhan berikanlah mukjizatmu, berikan kedamaian di tanah ini seperti kau melimpahkan kasih sayangmu pada umat yang lain..."

    Bryan mendekati sang kakak yang tidak berhenti berdoa untuk tiga hari ini. Dia yakin lutut sang kakak sudah mati rasa karena bersimpuh tiada gerak selama hampir 72 jam. Pemuda itu memiringkan pandangannya untuk melihat dua sosok dari klan berbeda yang menjaga di dekat pintu selama sang kakak berdoa. Bryan memang agak bodoh sedikit, tapi dia peka untuk merasakan adanya atmosfer kesedihan diantara Kenzo dan Yukarin.

   " apa badai di luar semakin parah?" tanya nya pada kedua orang itu.

   Kenzo dengan sigap melepas tatapannya dari memperhatikan Yukarin, " badai semakin kencang. Penyihir itu menjadi semakin kuat dan aku rasa ia benar-benar meniatkan menghabisi seluruh mahluk immortal," jawab Yukarin.

   Pemuda vampir itu tak henti-hentinya memainkan bandul liontinnya. Kenzo yang melirik itu nekat mendekati 'sang mate' dan kemudian memberikan tangannya untuk menjadi pengalih perhatian Yukarin. " tanganmu akan terluka jika terus memainkan bandul tajam itu dengan kasar," ujarnya.

   Dan untuk setelahnya, entah bagaimana alurnya tapi keduanya menjadi cepat sekali dekat. Perkambangan yang terlalu signifikan untuk dua sosok dari latar belakang klan yang berbeda. Bryan memilih abai dan beranjak mengambilkan makan dan minum untuk sang kakak, meski tahu itu tidak akan berhasil karena makan dan minum sebelum-sebelumnya juga diabaikan. Bryan menyadari jika bibir sang kakak sudah sangat kering, Albert melantunkan doa terus meners tanpa henti.

   Dia yang seorang non-agamis kadang bertanya-tanya apa yang membuat sang kakak menjadi se taat itu dengan Tuhannya. Bryan dengan pemikiran realistisnya tidak bisa berkompromi dengan Tuhan sebaik sang kakak setelah menjalani takdir kehidupan pahit mereka. Tapi, dia sebagai adik yang begitu mengagumi sang kakak juga mengagumi ketaatan Albert dalam beribadah.

   Pemuda jangkung itu menatap salib besar tersebut dengan tatapan yang tak dapat dijelaskan. Dia kembali menatap kakak angkatnya itu dengan penuh teliti, rahangnya mengeras melihat ketaatan Albert. Pemuda itu kemudian pergi meninggalkan albert yang masih berdoa.

   "petir dan kilatnya semakin menjadi saja," gumamnya.

   Bryan menyadarkan dirinya dari rasa merinding. Dia tak berani mendekati dinding maupun jendela sebab bisingnya badai diluar. Dia jadi kasihan dengan hewan-hewan hutan yang harus melihat kekacauan yang disebabkan sihir hitam penyihir cantik itu.

   "bryan..."

   Bryan terkejut mendengar panggilan sang kakak lalu dengan segera menemui Albert. Ia dengan sigap membantu sang kakak untuk bangkit, Albert hampir jatuh karena kakinya yang mati rasa. Bryan yang mengetahui itu kemudian mengangkat Albert ke dalam gendongan ala bridal dan membawa sang kakak duduk di ranjang meluruskan kaki.

   "aku akan memijit pelan kakimu. Kau berdoa tidak berhenti sama sekali tanpa memedulikan kesehatan dan kenyamanan tubuhmu," ujar Bryan.

   " jika aku berhenti, Tuhan mungkin akan mengabaikan kita Bryan.."

   "bukankah kau bilang ia maha pengasih? kenapa masih menanyakan hal itu? kau sama saja meragukan kasih sayangnya," cibir Bryan.

   Albert tertawa pelan mendengarnya, dia memberikan usakan ringan pada surai sang adik yang lebih tinggi darinya. " Terimakasih bapa, kau memberikan Bryan sebagai adikku. Kau selalu ada untuk menyindirku agar tetap ingat pada kekuasaan Tuhan, bry."

[✓] House of memory | NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang