Keesokan harinya...
"Nggaa mauuu, Ilo ngga mau makan"
Sahya memijat pelipisnya dengan lelah sembari meratapi putri tunggalnya itu yang kini tengah terpojok diatas kasurnya dengan memasang wajah yang badmood. Gadis itu terus membantah perintahnya untuk ikut makan bersama setelah kemarin malam terjadi sedikit drama diantara mereka berdua. Sahya memarahi Wilo yang semalam tiba-tiba saja pergi seorang diri tanpa meminta izin terlebih dahulu, terlebih lagi malam hari adalah zona yang berbahaya untuk anak gadis keluar seorang diri, Sahya hanya mengkhawatirkan putri tunggalnya itu.
"Wilo, papa kemarin tidak bermaksud untuk memarahi Wilo. Papa hanya kesal karena Wilo tiba-tiba saja keluar sendiri dan tidak meminta izin kepada tante Irene maupun papa. Papa khawatir kalau terjadi apa-apa sama Wilo kemarin malam, papa minta maaf kalau kemarin papa marahin Wilo"ucap Sahya mencoba untuk membujuk putri tunggalnya itu dengan seribu penjelasan panjang lebar untuk menguatkan alasannya. Ia memang memarahi Wilo kemarin malam, namun itu semua karena rasa khawatirnya terhadap sang anak.
"Papa bukan papa Ilo, Ilo ngga mau liat papa" Wilo lagi-lagi melontarkan kata-kata kesalnya membuat Sahya menghela nafas lelah untuk kesekian kalinya. Ia merasa sangat kesal dengan pria itu karena kemarin malam suara tegasnya tiba-tiba saja meninggi dan menusuk hatinya, tentu air matanya berjatuhan deras kemarin malam.
"Yaudah, papa tidak akan memaksa Wilo untuk makan. Tapi dengan satu syarat Wilo harus maafin papa dengan tulus" Sahya menghampiri Wilo yang masih terpojok diatas kasurnya dan langsung mengelus kepala gadis itu dengan lembut. Diciumnya kening Wilo yang terhalang oleh poni tipisnya itu dan ia pun menatap gadis itu dengan hangat.
"Ilo mau maafin papa? " ucap Sahya setelah mencium kening Wilo dengan sayang.
Wilo menatap Sahya dengan sinis, ia pun segera menjauhkan tubuhnya dari pria kekar itu.
"Ngga mau, Ilo masih mau marah sama papa. Papa juga jangan sentuh-sentuh Ilo kayak tadi" Wilo menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut lalu mulai bergumam sendiri di dalam sana.
Sahya yang melihat tingkah putrinya yang sedang merajuk itu pun hanya bisa terdiam pasrah namun juga merasa gemas dengan Wilo. Belasan tahun ia membesarkan Wilo hingga sampai saat ini dan ia sangat bersyukur karena gadis itu tumbuh sesuai dengan apa yang diinginkannya. Sahya seketika tertawa kecil sembari mengusap wajahnya.
"Ilo, Ilo ingat tidak papa dulu pernah marahin Ilo gara-gara Ilo jatuhin TV yang ada di ruang tamu? " ucap Sahya memulai pembicaraan berharap anaknya itu mau mendengarkannya.
"Ilo ngga mau cerita, Ilo ngga mau cerita dari papa. Cerita papa jelek" balas Wilo tanpa takut. Tubuhnya masih diselimuti oleh kain tebal bermotif pororo.
Sahya pun kembali menghela nafasnya lelah, ia pun akhirnya menyerah untuk membujuk gadis ini. "yasudah. Papa tidak akan melanjutkan ceritanya. Sekarang papa akan keluar dari kamar Wilo. Papa akan kembali lagi jika kamu tidak turun-turun untuk makan".
Sahya segera beranjak meninggalkan Wilo seorang diri lalu menuruni tangga dengan perasaan yang sedikit kesal. Entah mengapa Wilo selalu susah untuk dibujuk jika sudah merajuk seperti tadi. Mungkin itu merupakan keturunan dari gennya yang dominan.
"Gimana mas? " tanya Irene yang tengah menyantap hidangannya. Ia melihat wajah Sahya yang terlihat frustasi.
"Saya sudah membujuknya, dia tetap tidak mau" jawab Sahya sebelum meneguk segelas air putih lalu ikut bergabung untuk menyantap hidangannya bersama Irene dan juga Karina.
Mereka semua tengah melakukan lunch bersama di hari libur ini namun dari waktu sarapan Wilo sama sekali tidak mengikutinya karena ngambek.
"Kalau gitu biar aku aja yang bujuk, mas. dia belum makan dari pagi" Irene hendak berdiri meninggalkan kursinya namun tangannya lebih dulu ditahan oleh Sahya.