3. Kenalan

718 88 0
                                    

Memasuki area komplek perumahan, terllihat banyak orang-orang yang yang sedang bersantai di depan rumahnya masing-masing, mereka adalah tetangga Agatha. Sesekali Agatha menyapa para tetangganya, mereka adalah orang-orang yang baik. Mereka seringkali menanyakan kabarnya hari ini, membawakan makanan ke rumahnya, dan masih kebaikan lainnya. Mereka yang selalu memperhatikan keadaaannya dan memastikan bahwa Agatha baik-baik saja. Semua itu mereka lakukan agar Agatha tidak merasa kesepian, setelah ditinggal keluarga kecilnya ke dunia yang berbeda.

Ya, Agatha hidup sebatang kara saat menjelang hari kelulusannya sebagai siswi SMA. Agatha yang saat itu sudah mempersiapkan segalanya untuk masuk ke universitas yang telah menjadi impiannya sejak dulu, harus ia kubur dalam-dalam semua impiannya itu demi melanjutkan hidupnya. Satu-satunya cara adalah bekerja.

Agatha yang kala itu sedang duduk di taman dengan wajahnya yang hampir putus asa mencari pekerjaan yang layak untuk anak lulusan SMA sepertinya.

Ivanka, wanita cantik nan lemah lembut mendatangi Agatha yang terlihat sedih itu. Ivanka mulai menanyakan kepada Agatha, hal apa yang membuatnya terlihat sesedih ini. Agatha memberitahu Ivanka bahwa ia sedang mencari pekerjaan yang layak untuk anak lulusan SMA sepertinya. Ivanka yang kebetulan sedang mencari karyawan baru untuk menggantikan barista yang saat itu akan resign, menawarkan pekerjaan itu kepada Agatha untuk bekerja di café miliknya. Mendengar hal itu, Agatha sangat senang dan langsung menyetujuinya untuk bekerja di café milik Ivanka. Hasta Cafetaria.

Bekerja di café milik Ivanka, membuat Agatha merasa hidupnya tidak terlalu merasa kesepian setelah mengenal Ivanka dan teman kerjanya, Berryl. Dirinya yang lemah lembut dan pengertian, membuat Agatha merasa nyaman. Dia sudah menganggap Ivanka seperti kakaknya sendiri. Dan Berryl, temannya yang tomboy dengan semangatnya yang selalu meletup-letup itu, membuat Agatha merasa tertular juga dengan semangatnya yang selalu membara.


*****


Mengingat hal yang telah berlalu, membuatnya merasa sangat bersyukur dia masih diberi kesempatan untuk hidup dalam keadaan sehat dan baik hingga saat ini. Dan secercah harapan untuk bahagia tentunya. Hingga tak terasa pula Agatha telah sampai di rumahnya yang sederhana ini. Agatha membuka pagar rumahnya, dan mulai masuk ke rumahnya dengan motor kesayangannya.

Rumah dua lantai bercat biru, di halaman rumah ada kolam kecil yang berisi ikan miliknya. Sederhana. Tetapi membuat Agatha nyaman. Hanya rumah ini dan motor vespa kesayangannya yang menjadi satu-satunya peninggalan berharga dari orang tuanya, serta kalung milik mamanya yang sedang ia pakai sekarang.

Sunyi.

Itulah yang selalu Agatha rasakan saat pulang ke rumahnya. Langkah kakinya mulai memasuki ke dalam rumahnya itu. Merebahkan tubuhnya sejenak ke sofa yang ada di ruang tamu. Ia sangat lelah. Hari weekend selalu ramai pengunjung, tetapi yang tadi itu benar-benar ramai sekali hingga dirinya dan Berrryl hampir tidak duduk sama sekali.

Melelahkan dan menyenangkan.

Melelahkan karena pekerjaannya. Menyenangkan karena dia baru saja berbincang dan berkenalan dengan wanita yang selalu ia kagumi itu, walau baru dua kali ke café tempatnya bekerja. Intinya Agatha senang bersama Gretha. Iya, dia telah kenalan dengan wanita yang ia kagumi itu, Gretha.

Flashback on

"Aku tunggu disini. Sambil liatin kamu bikin kopi, nggak apa-apa, kan?" Agatha mengerjabkan matanya beberapa kali, bisa dirasakan wajahnya menghangat saat ini.

"E-eh iya, Kak. Silakan." Agatha berusaha menyibukkan dirinya dengan membuat kopi pesanan Gretha. Dia sangat gugup berhadapan dengan Gretha.

"Ehm, aku Gretha."

Agatha membalikkan tubuhnya yang tadinya membelakangi Gretha, sekarang mereka saling berhadapan dengan meja pantry sebagai pembatasnya. Saat itulah, Agatha tahu satu hal dari wanita itu, dia kaku. Haha, jadi dia ingin berkenalan dengannya. Agatha terkekeh melihat sosok Gretha yang benar-benar kaku itu. Agatha melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda sebentar.

"Agatha Lenathea, panggil aja Agatha," balas Agatha dengan ramah. Terlihat Gretha hanya menganggukan kepalanya.

"Ada apa, Kak? Mau bertanya sesuatu," tanya Agatha setelah melihat Gretha yang terlihat sedang memikirkan sesuatu.

"Emm ... i-itu kamu udah berapa lama kerja di café ini, T-thea?" Tangan Agatha yang sedang ingin mengambil sendok untuk mengaduk kopi, tiba-tiba terhenti ketika nama panggilannnya yang sudah lama Agatha tidak dengar kembali, setelah orang tua dan adiknya meninggal. Dan sekarang, nama panggilan itu keluar begitu saja dari bibir seorang wanita yang baru berkenalan dengannya itu.

"T-thea?" Bingung tapi senang. Bingung karena dia tidak biasa dipanggil nama itu oleh 'orang lain'. Senang karena yang memanggilnya adalah seorang Gretha. Dia merasa sangat spesial.

Gretha sedikit gelagapan, dia berfikir bahwa Agatha tidak nyaman dipanggil dengan nama panggilan itu. "E-eh maaf-maaf, kamu nggak nyaman ya, dipanggil nama itu? M-maaf aku nggak tau." Agatha merubah ekpresinya dalam sekejap karena hal itu. Dia tersenyum gemas melihat Gretha yang terlihat panik.

"Hahahaha, nggak kok, Kak. Aku ngerasa aneh aja dipanggil nama itu sama orang lain, soalnya yang manggil aku pakai nama Thea, ya, cuma orang tua sama adikku doang," jelas Agatha.

Hal itu membuat Gretha menghela nafas lega, tetapi sedikit kecewa saat Agatha menganggapnya orang lain. Tapi memang itulah kenyataannya, apalagi mereka baru saja tahu nama satu sama lain beberapa menit yang lalu.

"Oh, iya! Tadi Kak Gre nanya aku ya. Aku udah kerja disini hampir dua tahun."

Gretha hanya menganggukan kepalanya, lagi. Ingatlah Gretha ini sangat kaku dan jarang bergaul juga berinteraksi dengan orang lain. Dia punya teman satu si Febri, itu juga karena Febri sering mengganggunya dan membututi Gretha kemanapun Gretha pergi.

Agatha kembali fokus dengan kopi buatannya dan membuat latte art di Macchiato Latte pesanan Febri. "Sudah siap! Ini Kak pesanan kalian, selamat menikmati." Gretha kagum dengan latte art yang dibuat Agatha. Ah, Gretha jadi iri dengan Febri.

"Wah, bagus banget latte art buatan kamu. Lain kali kamu harus buatin kayak gini buat aku, kalau pilih menu kopi yang lain. Walaupun Americano buatan kamu lebih enak, sih. Haha. By the way, makasih yaa!" Setelah tawa singkat itu, Gretha langsung berjalan membawa nampan meninggalkan pantry café menuju meja tempat Febri dan Gretha akan menikmati kopinya.

"Sama-sama," jawab Agatha lirih, setelah melihat Gretha yang menjauh. Dia jadi senyum-senyum sendiri mengingat drama perkenalannya dengan Gretha tadi. Lucu sekali.

*****


Tepat sebelum adzan maghrib berkumandang, Febri dan Gretha mulai meninggalkan café itu. Tidak lupa juga berpamitan dan berterima kasih kepada Agatha dan Berryl. Ah, beruntung Berryl belum datang saat drama perkenalan Gretha dan Agatha tadi, pasti dia akan ceng-cengin si Agatha terus-terusan saat ini. Dan juga Febri yang saat itu tengah sibuk dengan ponselnya, jika tahu Gretha akan digoreng habis-habisan. Teman yang sangat suportif sekali.

Gretha dan Febri mulai memasuki mobil, dan Gretha yang saat ini menyetir. Tangan Gretha terhenti saat ingin membuka pintu kursi kemudi. Dia lupa sesuatu. Meminta nomor Agatha!

"Besok lagi aja lah." Gretha mulai masuk ke dalam mobilnya, perlahan mobilnya mulai menjauhi café itu.

Flashback off



Segitu dulu, sorry jarang update. Banyak kegiatan wajib yang penting, nggak bisa ditinggalkan bro.

Ini mengetik ide sambil terkantuk-kantuk weh, huhu

Betewe, mau cerita dikit.

Jadi waktu perkenalan gen 12 di japan matsuri. Gweh sudah menargetkan oline sebagai oshi yang kesekian. Niatnya bakal nge-follow dia sebelum 10k.

Nah, pas baru buka X waktu itu. Ngeliat akun-akun ig gen 12 udh ada. Gua pikir baru sedikit karena baru diumumin kan. Eh, pas dibuka... ANJWERRR 40K COK, huhu rada kecewa dikit.

Tapi gapapa, di X sm tiktok udh follow sebelum 10k wkwk.

Sekian cerita gabut dari saya hehe. Semangat all.

Dewana [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang