21. Rencana, Bencana, Gwenchana

517 59 11
                                    

"Ih, Tha! Papahnya Agatha, temen mamah dari pas kuliah sampe kita kerja di rumah sakit, loh," Yessi memberi tahu Gretha dengan penuh antusias, ketika tahu mendiang papah Agatha berprofesi dokter pula sama seperti Yessi. Bahkan keduanya berteman dan bertugas di rumah sakit yang sama.

Mendapat respons anggukan singkat dari Gretha, membuatnya kembali terpusat kepada gadis yang telah merebut hati anaknya itu. "Maafin, Tante, ya, Ga. Nggak ikut urus pemakaman keluarga kamu, waktu itu rumah sakit bener-bener lagi hectic banget, sampe kita–para dokter baru tau kepergian papah kamu seminggu setelahnya. Tante juga waktu itu cuma titip salam, maaf banget, ya ...," jelas Yessi panjang lebar dengan nada penuh sesal.

"Gapapa, Tante. Lagi pula itu udah berlalu," ujar Agatha sambil tersenyum lebar untuk menenangkan Yessi. Dan tentu juga dirinya sendiri.

"Sehat-sehat, ya, kamu. Kalo Gretha nakal laporin sama, Tante," guraunya yang malah terdengar serius di telinga Gretha dan Agatha.

Gretha yang hanya menyimak dari tadi menjadi cemberut ketika dirinya tiba-tiba dibawa. "Apaan, sih, Mah. Thea kalo sama aku selalu baik-baik aja."

Yessi memasang raut tak percaya. "Loh, ini buktinya ... siapa coba yang bikin dia masuk rumah sakit, gini?"

"Tapi, kan, Mah ..., ah!" Yessi tertawa puas melihat anaknya yang kehilangan kata-kata untuk mengelak. Sedangkan Agatha hanya terkekeh canggung melihat Gretha yang dipojokkan.

"Ya udah, ayo! Katanya mau ke lapas, kan," ujar Gretha mengalihkan pembicaraan. Dia berdiri dari tempat duduknya, lalu menghampiri Fray yang masih terlihat asyik berbincang dengan para manusia yang berada di atas karpet.

Ekor mata Yessi mengikuti setiap pergerakan Gretha. "Dih, katanya masih mau lama di sini," kemudian kembali menatap Agatha yang mulai mengendurkan raut cerianya. "Nanti Gretha ke sini lagi, ya, Ga ... jangan sedih. Anak itu walau suka nggak jelas, tapi tanggung jawab, kok."

Yessi mengulas gummy smile khasnya, dan Agatha membalasnya dengan senyum simpul. "Iya, Tante. Terbukti, kok. Sekarang aja aku dikasih tempat yang nyaman sama Kak Gre," dia tersenyum malu mengingat semua perlakuan hangat Gretha kepadanya.

"Oke, deh. Pokoknya kalau ada apa-apa, telpon Tante atau Gretha, ya ..., Fray juga boleh."

Agatha mengangguk mengerti. "Iya, Tante. Makasih ...."

Lalu ibu dan dua anaknya itu meninggalkan ruangan yang Agatha tempati. Walaupun, tadi tertunda tiga menit karena Gretha yang berpamitan mesra dengan Agatha, sebelum ditarik paksa oleh Fray. Kalau tidak, dua insan yang baru mendapat restu itu akan berpelukan sampai pagi.

*****

Suasana mencekam di penjara khusus para tentara membuat tubuh Fray dan Gretha merinding, saat melewati koridor yang di sekitarnya terdapat pintu-pintu yang di dalamnya berisi para tentara yang pernah melakukan aksi kejahatan. Dibalik celah jeruji besi, mereka dapat merasakan banyak pasang mata yang menatap penasaran.

Akhirnya, mereka telah sampai juga di depan pintu tempat Fadel ditahan. Mereka diizinkan masuk, tetapi sebelum itu petugas yang menjaga memborgol Fadel terlebih dahulu. Setelah itu, barulah petugas meninggalkan mereka di dalam ruangan lapas, demi menghargai privasi sang pengunjung dan juga tahanan.

"Hai, sayang. Aku tau kalian bakal dateng ke sini buat jenguk aku," ujar Fadel percaya diri begitu melihat kehadiran Yessi dan kedua putrinya.

"Kata siapa? Aku dateng ke sini cuma mau ngasih surat ini ke kamu," Yessi melempar sebuah amplop ke hadapan Fadel.

Gretha dan Fray hanya menyimak pembicaraan kedua orang tuanya tanpa ada keinginan menyela. Walau masing-masing mereka mulutnya sangat gatal ingin menyumpah serapah pria yang tengah diborgol saat ini.

Dewana [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang