Sudah beberapa hari semenjak pembicaraan Agatha dengan Chloe dan Ivanka, dirinya dan Greta masih belum bertemu satu sama lain. Rasa rindu dari keduanya sudah sangat menumpuk, siap untuk meledak. Tetapi, gengsi keduanya yang menahan semua itu.
Agatha tengah merenung, tatapannya mengarah ke langit-langit kamarnya yang berwarna putih, mengikuti warna tembok kamarnya yang telah ia ganti menjadi warna putih juga. Dia sudah tahu beberapa mengenai kepribadian Gretha dari Chloe, termasuk hari ulang tahunnya yang ternyata hanya berbeda satu hari dengannya. Dan sekarang ia bingung harus memberikan hadiah apa untuk Gretha.
Ada satu keinginan yang ia inginkan sejak pertama kali mengenal Gretha, melukis wajah wanita itu dengan tangannya sendiri. Agatha bangkit dari rasa malasnya dan berjalan menuju ruangan yang hampir tidak tersentuh olehnya, terakhir ia masuk ke ruangan itu satu tahun yang lalu, itu juga hanya untuk membersihkan ruangan itu seperlunya.
Di sinilah Agatha, tepat di depan pintu ruangan yang menjadi tujuannya saat ini. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut, melainkan membuka perlahan luka yang selalu ia sembunyikan dari semua orang, kecuali Ivanka, Berryl dan Gretha yang telah mengetahui trauma yang dialami Agatha. Dia membuka kunci pintu ruangan itu, menekan kenop pintu tersebut, dan membukanya lebar-lebar.
Aroma debu yang cukup menusuk indra penciumannya, membuatnya terbatuk kecil. Banyak barang-barang yang tidak terpakai tetapi masih berguna kapan pun ia membutuhkannya.
Gudang
Tempat keluarganya menyimpan barang-barang bekas dan tempat Agatha menyimpan alat-alat lukisnya. Dia berjalan masuk ke dalam untuk mengambil alat-alat lukisnya yang sudah dua tahun yang lalu tak ia sentuh. Ia membuka salah satu kain putih yang berada di pojok ruangan itu. Easel kayu dan koper berisi alat lukisnya yang sudah sangat berdebu, membuatnya terbatuk kembali.
"Berdebu banget..."
Dia memandanginya dengan perasaan campur aduk, terharu, sedih, hingga takut. Sekelebat memori yang buruk terlintas dalam pikirannya, dimana peti milik ayah, ibu, dan adiknya masuk ke dalam tempat peristirahatannya masing-masing. Dan Agatha yang masih SMA yang menyaksikan itu, menangis hebat sembari di tenangkan oleh ibu tetangga depan rumahnya.
Agatha menggelengkan kepalanya kencang, berusaha untuk tidak mengingat memori buruk itu. Matanya sudah berair, jika berkedip air matanya akan jatuh ke pipi chubby nya yang putih.
Dia mengambil peralatan melukisnya, dan membawanya ke halaman rumah untuk dibersihkan. Tak lupa Agatha mengunci pintu gudangnya kembali. Dengan bermodalkan kain lap bekas, peralatan melukisnya kini telah bersih dan siap untuk dia gunakan.
Agatha membawa peralatan melukisnya ke dalam rumah. Dia berniat untuk melukisnya hari ini, walaupun ia sendiri ragu apakah lukisan wajah seseorang itu berhasil ia lukis atau tidak.
*****
Hari Minggu adalah hari libur yang paling ditunggu-tunggu oleh semua orang. Ada yang memanfaatkan waktunya dengan berkumpul dengan teman-teman untuk menghabisi waktu libur sebelum esok hari kembali memulai kegiatannya masing-masing, ada juga yang memilih untuk beristirahat di rumah seharian.
Gretha memilih opsi kedua untuk menghabiskan waktu libur ini. Banyak masalah dimana-mana yang membuatnya sangat membutuhkan waktu untuk istirahat. Tapi yang paling membuatnya gelisah adalah masalahnya dengan Agatha yang belum selesai. Walaupun terkesan sepele, tapi Gretha akan merasakan hal yang sama seperti Agatha.
Bagaimana rasanya saat kamu meminta temanmu untuk ke rumah, sedangkan kamu, si pemilik rumah, malah tertidur. Apa yang dirasakan temanmu? Kecewa, bukan?
Ditambah lagi saat dirinya yang cekcok dengan Reva. Gretha yang saat itu cukup pusing dengan masalah kantor sekaligus panik karena Agatha yang menjadi sedikit dingin padanya, membuat emosi Gretha tidak stabil. Puncaknya adalah saat Reva yang mengatakan bahwa gadis tomboy itu adalah calon pacar Agatha, dan saat itu juga darahnya mendidih, marah. Wajah Agatha yang pucat karena takut, selalu terbayang-bayang dalam pikirannya. Karena itulah, Gretha masih tidak berani bertemu dengan Agatha.
Hari libur yang harusnya ia habiskan dengan tidur seharian, justru Gretha memakai waktunya untuk memikirkan caranya meminta maaf kepada Agatha sekaligus memberikan hadiah yang sudah ia beli jauh-jauh hari itu.
Niatnya, Gretha ingin memberikan hadiah itu saat mereka pulang liburan tahun baru. Tapi, tidak jadi karena dia terlalu lelah dan akhirnya lupa. Saat dirinya mengirimkan pesan dan berkenalan dengan Ivanka lewat WhatsApp, dan saat itulah ia mulai bertanya-tanya mengenai Agatha. Hingga ia tahu hari ulang tahun Agatha yang ternyata hanya berbeda satu hari dengannya.
Dia memutuskan untuk memberikan hadiah itu sebagai hadiah ulang tahun Agatha dan sebagai permintaan maafnya juga. Gretha merelakan hari liburnya hari ini, untuk membungkus dan menghiasi barang yang ia beli sekitar satu minggu lalu itu.
Gretha keluar dari kamarnya, menuju kamar sang adik untuk meminta sesuatu. Dia mengetuk pintu kamar itu, pintu dibuka oleh sang pemilik kamar yang sudah memakai kacamatanya dengan kuas di tangannya. Sepertinya Fray sedang melukis.
Gretha tersenyum dan mengucapkan selamat pagi kepada adiknya, dan dibalas juga dengan senyum cerah dari Fray. "Dek, kamu ada bungkus buat kado, enggak?" Gretha bertanya sesuai tujuan awalnya mendatangi kamar Fray.
"Enggak ada, Kak. Mau bungkus kado, ya?" Tanya Fray balik.
Gretha mengangguk mengiyakan. "Mau buat siapa, sih?" Tanya Fray kembali. Gretha hanya dengan tersenyum malu, membuat Fray mengerti.
"Ya udah, ayo! Kita beli aja di supermarket yang kemarin, sekalian aku mau beli cat akrilik yang udah abis." Ajak Fray dengan nada penuh antusias.
"Kuy!" Ucap Gretha tak kalah antusiasnya.
Kertas kanvas yang masih bersih dan belum tergores satu garis pun menjadi pusat perhatiannya saat ini. Sudah tiga puluh menit berlalu, tangannya masih belum bergerak untuk membuat pola-pola wajah yang akan dia gambar.
Agatha menahan dadanya yang sesak, hingga tangannya bergetar. Dia tidak bisa melewatinya sendirian. Dia butuh sang pemilik wajah hadir di sini, langsung. Agatha sangat ingin melihat wajah yang menenangkan itu. Bukan bermodalkan foto yang ia ambil diam-diam waktu liburannya dengan Gretha saat tahun baru kemarin.
Dia sudah tidak sanggup memaksakan dirinya, Agatha membanting pensil yang berada di tangannya ke atas meja. Dia keluar dari aplikasi galeri di layar ponselnya, dan beralih ke WhatsApp.
Mengetikkan nama 'Kak Gretha', lalu membuka roomchat dengan wanita itu. Agatha menekan icon panggilan, dan tak lama kemudian panggilan keduanya terhubung.
"H-halo, Thea. Ada apa?" Sapa seseorang di seberang sana dengan canggung.
Agatha menarik nafasnya dan membuangnya perlahan, "Halo, Kak Gre." Sapanya balik dengan suara sedikit bergetar, membuat Gretha yang di sana mulai panik.
"Kamu kenapa? Suara kamu kok kayak geter, gitu?" Tanyanya dengan khawatir.
"..."
"Aku kesana, ya? Kamu di cafe atau di rumah?"
"Aku... Enggak apa-apa, Kak. Aku lagi pengen denger suara kamu aja. Hehe." Agatha terkekeh paksa agar Gretha tidak curiga.
"Bohong!"
"Enggak, Kak. Ee... Ya udah ya, Kak Gre. Aku tutup teleponnya! Mau lanjut gambar hehe, bye!" Agatha dengan cepat mengakhiri panggilannya tanpa peduli jawaban Gretha.
Gretha mengernyitkan dahinya curiga. Selain panggilan yang tiba-tiba mendadak setelah beberapa hari tidak berinteraksi, ada hal lain yang membuatnya curiga. Kalimat terakhir yang Agatha lontarkan sebelum panggilan berakhir, membuat kecurigaan semakin kuat.
"Bukannya dia trauma ngegambar, ya?"
Dikit ya?
Lagi bingung soalnya, gimana caranya ngilangin tanggal 11 Feb...
hoho🏃🏻🏃🏻♀️🏃🏻♂️
KAMU SEDANG MEMBACA
Dewana [End]
FanfictionDewana dalam bahasa sastra, bermakna tergila-gila. Makna itu tepat untuk seorang Athalla Gretha ketika dirinya bertemu ... "Know that I truly love you. Agatha Lenathea." ..... Cast: Ashel as Gretha Marsha as Agatha Freya as Fray Olla as Febri Onie...