24. Two Hurt Cousins

579 64 9
                                    

"Yang bersih, ya, Ga."

Gadis itu mendengus pasrah ketika diledek habis-habisan oleh temannya. Seperti yang dikatakan Ivanka lewat pesan WhatsApp-nya, Agatha mendapat pekerjaan tambahan atau lebih bisa disebut hukuman, yaitu membersihkan meja pantry selama dua jam sebelum kafe dibuka.

"Lagian abis ngapain, sih, sampe disuruh bersihin meja dua jam sama Kak Iva."

"Berisik, ah, kepo!" kemudian Agatha melengos begitu saja ke arah dapur sebelum Berryl akan menanyainya lagi.

Berryl yang melihat kepergian Agatha hanya mengedikkan bahunya tidak peduli, lebih baik ia membuka kafe ini. Langkah kakinya membawanya menuju pintu utama dan membalikkan papan close menjadi open. Matanya menangkap seseorang yang tengah berlari menuju kafe. Setelah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Berryl memundurkan langkahnya menjauhi pintu.

Seorang gadis dengan tas ransel kecilnya mendorong pintu dengan kasar yang berhasil membuat Berryl terkejut. Untungnya Berryl sudah mengantisipasinya, jika tidak tubuhnya akan beradu dengan pintu dan tabrakan dengan Irene.

Si gadis tomboy tersebut berkacak pinggang dan menatap tajam Irene yang masih mengatur nafasnya. "Bisa yang pelan, nggak? Kalo nabrak orang, gimana?"

Irene mendongakkan kepalanya dan menatap Berryl sinis. "Ya sudah, sih, maaf ... namanya juga panik takut telat."

"Ck, ya sudah sana, pake apron lu. Beresin bagian dapur! Jadi si Agatha yang ngerjain kerjaan lu."

"Ya, ya ..." dengan mulut yang masih menggerutu, Irene berjalan menjauhi Berryl untuk mengerjakan pekerjaannya.

Agatha yang mendengar pertengkaran dua orang itu hanya menggeleng pelan. Begitulah kalau mereka di satukan. Dia mencuci tangannya di wastafel, berniat pergi keluar dari dapur karena Irene sudah datang. Tetapi belum sempat melangkah, bahunya secara tiba-tiba ditahan oleh Irene.

"Gimana kemaren? Berhasil, nggak?"

Senyum cerah mengembang di sudut bibir Agatha. "Iya, dong ... walaupun rada failed dikit."

"Failed? Apa gara-gara hujan malem itu?"

Kepalanya mengangguk membenarkan. "Tapi tetep jadi, kok."

"Seriously? Nggak badmood, kah?"

"Dikit. Tapi, gua punya cara lain. Gua bawa kak Gre ke tempat lain."

Irene menaikkan alisnya penasaran. "Di mana?"

Matanya menengadah ke atas dengan senyum yang masih mengembang. "Di tempat yang jadi saksi awal gua ketemu kak Gretha."

*****

Seorang wanita paruh baya dan seorang wanita yang usianya jauh di bawahnya sedang berada di ruangan yang sama. Tatapan wanita paruh baya itu tak lepas dari raut seorang wanita muda yang berada di kursi kerjanya. "Lagi bahagia Athalla?"

Wanita muda yang dipanggil 'Athalla' itu menoleh. "Iya, Bu Rina ... biasa anak muda. Hehe ...."

"Haha, iya wajar. Tapi jangan sampai ganggu kerjaan kamu, ya!" seru Bu Rina dengan lembut.

Gretha mengulas senyumnya kala diberi peringatan lembut dari seorang wanita paruh baya yang selalu menyebut namanya 'Athalla'. "Tenang aja, Bu. Aku profesional," kepalan tangannya menepuk dadanya bangga.

"Iya, deh, iya. Kalo ada yang bingung, nanti tanya Ibu aja, ya. Lewat telepon."

"Siap, Bu!" tangannya terangkat memberikan gestur hormat pada sang pembimbing.

Setelah memastikan pintu tertutup rapat oleh Bu Rina yang baru saja keluar, Gretha membuka aplikasi Instagram miliknya. Wanita itu berniat untuk posting sesuatu. Ibu jarinya tak henti-hentinya melihat foto-foto sang kekasih yang selalu ia ambil gambarnya setiap kali mereka menghabiskan waktu bersama.

Dewana [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang