Menceritakan tentang kelima anak yatim piatu yang kebahagiaannya terenggut paksa akibat peperangan, tidak hanya itu. pemerintah juga mengambil alih kendali atas nasib mereka dengan mengirim ke kamp militer.
Kehidupan di tempat pelatihan pun tidak b...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Para penduduk yang gemetar, syok, dan pingsan mulai dibawa prajurit ke tenda masing-masing, sedangkan yang masih sanggup berdiri masih diberi porsi latihan meskipun ingatan tentang eksekusi terngiang-ngiang di memori mereka. Terdengar kejam, tetapi beginilah cara kerja Kota Solzerinos.
Di tenda, Aeiry mengusap punggung Halley yang masih terdiam. "Kakak, mau sampai kapan diam, bicaralah."
Perkataan Aeiry tidak ia dengarkan sama sekali, otak Halley terus mengingat kejadian setelah makan siang, tatapannya juga kosong seolah tidak ada kehidupan di dalamnya.
Di tenda laki-laki pun sama, Louis begitu sibuk berkutat dengan pikirannya, jantungnya berdebar-debar serta kepala terasa sakit. Louis juga terus-menerus menggigit kukunya menandakan bahwa ia begitu panik akan sesuatu. Sesekali ia melirik Azlan dan William yang meringkuk di pojok, keringat dingin terus mengucur dari wajah mereka berdua.
Sore hari. Waktu latihan telah berakhir dan semua orang mulai kembali ke tempat masing-masing. Aeiry memilih keluar dan duduk di luar tenda, ia begitu bosan karena sudah kehabisan cara agar Halley meresponnya. Menegur, meniup wajah, dan mengguncang badan Halley sudah Aeiry lakukan, tetapi hasilnya nihil.
Mata Aeiry menangkap seorang prajurit masuk ke tenda seberang dan membawa Louis, ia pun mendekat sambil berkata.
"Kak, bisa temani Ae bicara? Bosan sekali rasanya."
Louis melihat ke arah Aeiry sambil mengelus kepalanya. "Maaf, Aeiry. Aku harus pergi, nanti saja, ya."
"Kak Lou mau ke mana dengan paman ini?" tanya Aeiry penasaran.
Louis berlalu begitu saja, tidak menjawab pertanyaannya sehingga Aeiry membulatkan pipinya sebagai bentuk kekesalan. "Mencurigakan," gumam Aeiry.
Aeiry mulai mengikuti mereka dengan hati-hati agar tidak ketahuan, di satu sisi ia juga begitu takut jika sampai ketahuan. Akhirnya mereka pun berhenti di satu tempat.
"Ini kan tempat pelatihan siang tadi?" Aeiry menebarkan pandangannya ke semua arah sehingga menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya. "Kenapa mereka menggali tanah dan ada bungkusan kain hitam?"
Louis begini karena prajurit itu salah paham, ia mengira Louis pemberani karena tidak bergerak sama sekali ketika orang-orang panik atas eksekusi brutal itu. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Louis ketakutan setengah mati sampai akhirnya tidak bisa bergerak.
"Kuburkan jasadnya setelah pelatihan, tidak ada penolakan!" Itulah kata yang diucapkan prajurit itu kepada Louis tadi siang.
Penguburan pun selesai. Namun, selama proses berlangsung. Louis beberapa kali dibentak dan hampir dipukul karena terlalu lamban, terlebih saat ia memegang bungkusan kain hitam berisi kepala itu sehingga mengorek kenangan menyeramkan itu. Louis sebenarnya ingin mengeluarkan air matanya, tetapi ia memendamnya dalam-dalam, takut prajurit itu semakin murka.