Perjalanan melelahkan akhirnya berakhir hari ini, tepatnya siang hari. Kini mereka berada di depan gerbang Kota Militer, Solzerinos, yang terbagi atas dua bagian. Bagian depan untuk prajurit ahli dan bagian belakang adalah tempat pelatihan bagi calon prajurit baru yang dibatasi oleh pos penjaga.
Mereka pun masuk ke dalam, setelah prajurit berbincang dengan penjaga gerbang.
Awal masuk, mereka sudah disambut oleh suasana kota yang begitu ramai, banyak orang sibuk bolak-balik mengangkut beberapa kotak berisi senjata ke kereta kuda, membawa bahan makanan, mempersenjatai diri, dan sebagainya. Namun, aura yang terpancar di kota ini sungguh tidak mengenakkan. Anak-anak itu bisa merasakannya, apalagi saat mereka berada di wilayah bagian belakang tempat yang akan ditinggali.
Prajurit itu berkata, “Kami hanya bisa mengantar sampai sini. Selebihnya, kalian akan dipandu oleh Pak Robert.”
“Ayo, turun.” Robert mengulurkan tangannya. “Aku akan mengantar kalian.”
Anak-anak itu sebenarnya enggan untuk turun karena melihat betapa suramnya tempat ini. Namun, tidak ada pilihan selain menurutinya.
Mereka lalu berjalan sambil dipandu oleh Robert, yang ada di kanan dan kiri hanyalah tenda-tenda yang besar seperti tempat pengungsian. Raut wajah dari orang di sana pun terlihat tidak bergairah untuk hidup, mungkin karena terpaksa menjalani kehidupan militer.
Langkah kaki mereka seketika terhenti ketika mendengar suara seseorang mengerang kesakitan, teriakannya begitu keras dan memilukan. Terlihat dengan jelas, seorang pria paruh baya tanpa sehelai kain yang tengah dicambuk dan ditendang sambil disinari cahaya matahari yang menyengat kulit, makin keras ia meminta tolong, makin pedas juga cambukan dilayangkan oleh prajurit itu.
William serta Halley bergerak cepat menutup mata dan telinga Aeiry, takut-takut kalau ia pingsan lagi, sementara Azlan dan Louis hanya bisa bergidik ngeri melihat hal itu sambil mempercepat langkah kakinya. Namun, suara memilukan itu terus terngiang-ngiang di telinga dan pikiran mereka.
Mereka terus berjalan hingga akhirnya sampai ke tenda paling ujung, warnanya merah dan lebih besar jika dibandingkan dengan tenda lainnya.
Begitu masuk, hanya ada seorang pria yang sedang duduk seraya menulis menggunakan pena bulu. Di meja kerjanya hanya ada vas bunga kecil, beberapa buku, mangkuk tinta, dan berkas yang menumpuk banyak. Dalam tenda pun tersedia beberapa tempat tidur, alat masak, serta senjata perang.
Orang itu bernama Daniz, ia ditugaskan untuk menjadi penanggung jawab area ini. Perawakannya lumayan berotot, memiliki luka gores di bagian pipi, serta kepala botak yang menjadi ciri khas darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey Of Five Child's Season 1 [End]
FantasíaMenceritakan tentang kelima anak yatim piatu yang kebahagiaannya terenggut paksa akibat peperangan, tidak hanya itu. pemerintah juga mengambil alih kendali atas nasib mereka dengan mengirim ke kamp militer. Kehidupan di tempat pelatihan pun tidak b...