Chapter Dua Puluh Dua

92 53 53
                                    

Kejadian itu berlangsung sangat cepat sehingga pengawas mereka tidak sempat berbuat apa-apa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kejadian itu berlangsung sangat cepat sehingga pengawas mereka tidak sempat berbuat apa-apa. Bahkan, teriakan kedua bocah itu masih bergema di telinganya. Ia mulai merasakan panas dingin di seluruh tubuhnya, hal ini bisa terjadi karena ia sudah mendapat bayangan konsekuensi atas kelalaiannya menjaga anak-anak itu. Kemungkinan terburuknya adalah hukuman mati.

Namun, entah mengapa firasatnya mengatakan bahwa keduanya masih hidup. Bukan tanpa alasan, ia bisa merasakan kalau anak-anak yang bertarung dengannya sangat kuat, pintar, dan juga tangguh. Jadi, mereka pasti bisa mengatasinya untuk sementara waktu.

Ia mulai turun kembali dengan tujuan meminta bantuan prajurit untuk mencari kedua bocah itu sebelum hari gelap, hanya itu solusi yang ia pikirkan.

***

Aeiry merasakan sentuhan hangat di wajah dan mendengar samar-samar seseorang memanggilnya. Itu adalah Azlan, anak laki-laki itu sangat lega saat Aeiry membuka matanya.

"Kak, kita di mana? Kenapa tempatnya sangat menakutkan." Aeiry mengedarkan pandangannya ke segala arah.

Beberapa pohon mati terlihat mengeluarkan akarnya dan aroma tidak sedap yang berasal dari air berwarna hijau keruh juga menyerang indra penciuman Aeiry

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beberapa pohon mati terlihat mengeluarkan akarnya dan aroma tidak sedap yang berasal dari air berwarna hijau keruh juga menyerang indra penciuman Aeiry. Namun, yang lebih membuatnya takut adalah, tempat ini lumayan gelap, berkabut tipis, dan sangat sunyi. Selain itu, suara burung gagak juga terdengar seolah-olah menyambut mereka sehingga meninggalkan kesan mengerikan.

"Mungkin ini yang dinamakan rawa-rawa, Aeiry. Aku sangat bersyukur kita berhasil mendarat di air. Ceritanya akan berbeda jika mendarat di bebatuan." Azlan mengusap rambut merahnya. "Pokoknya kita harus tenang dan keluar secepat mungkin dari sini."

Aeiry mengangguk pelan meskipun ketakutan dalam dirinya tidak memudar. Penglihatan di rawa-rawa itu sangat terbatas karena sedikit berkabut. Ditambah, Aeiry harus meningkatkan kewaspadaannya dan tidak bisa bergerak leluasa karena air setinggi pahanya.

Rasa takut Aeiry semakin membesar saat tiga puluh menit tidak kunjung menemukan jalan keluar. Air matanya mulai turun karena panik tidak bisa kembali lagi. Terlebih, petanya dibawa oleh sang pengawas. Azlan juga sudah lelah, akhirnya ia berinisiatif memilih istirahat sebentar di dekat pohon mati.

Namun, Aeiry merasa ada sesuatu yang merayap di lengan belakangnya. Ia sangat terkejut ketika mendapati beberapa lintah gemuk haus darah sedang menggigitnya. Lantas, Aeiry berteriak dan membuat air rawa bergejolak karena panik. Ia terus saja bergerak seperti ingin lari ke daratan secepatnya. Namun, Aeiry menginjak lumut dan hampir terjatuh ke air. Untungnya, Azlan menangkap dan membantunya naik ke darat kembali.

Azlan pun juga digerogoti oleh beberapa lintah di kakinya. Namun, ia memilih melepaskan hewan itu pada Aeiry terlebih dahulu dengan cara dibakar menggunakan sihir apinya. Semua lintah itu berhasil mati. Namun, Aeiry masih saja terus menangis. Respon yang wajar untuk seorang anak kecil. Selain tempat yang gelap, berkabut, dan juga sunyi. Mereka juga harus mewaspadai hewan yang mengintai dari balik kabut dan air.

Azlan mulai bersiap melanjutkan perjalanan kembali, tetapi gadis itu masih murung. Aeiry masih takut jika masuk ke dalam air yang keruh itu dan Azlan mau tidak mau harus menggendongnya.

Namun, ada sesuatu yang tidak beres. Keduanya mendengar seperti ada yang berjalan di air sehingga memunculkan gelombang yang lumayan besar.

"Kak, akhirnya ada yang menemukan kita, kita selamat!" ujar Aeiry lega.

Lambat laun suara itu semakin dekat. Dari balik kabut, terlihat sebuah mata merah menyala dengan ukuran tubuh yang besar dan lebar. Aeiry tidak percaya dengan yang ia lihat, seekor kodok hijau tua dengan lidah menjulur hanya diam memperhatikan mereka.

Azlan tidak habis pikir. Masalah selalu datang di waktu yang tidak tepat, jatuh dari tebing, digigit lintah, dan sekarang harus menghadapi kodok besar. Seakan, Azlan dicintai oleh masalah dan selalu menempel kepadanya. Selain jelek, wajah kodok itu juga menyebalkan. Jika bisa bicara pasti ia akan mengatakan "jika ingin lewat, hadapi aku dulu" begitulah pikiran Azlan.

"Bersiaplah, Aeiry. Aku merasa kondisinya akan lebih sulit dari sekarang." Azlan menarik dua pisau belati dari saku celana. "Aku tahu kau masih takut. Namun, ingatlah pesan paman Robert 'rasa takut hanya akan menghambat tujuanmu. Maka dari itu, kau harus berani dan fokus, karena akan sangat manis rasanya kalau sudah berhasil mencapai tujuan' kau mengerti, 'kan?"

Aeiry mengangguk karena ucapan Azlan ada benarnya. Tujuan mereka adalah bebas dari sini dan menyerahkan tanaman obat pada Rachel. Maka dari itu, ia harus berani melawan kodok di depannya.

Aeiry menarik anak panahnya. " Mari kita lakukan, Kak!"

Kodok itu secara cepat menjulurkan lidah panjangnya menuju Aeiry. Untung saja, Azlan dengan sigap membawanya berlindung ke belakang pohon.

"Te-terima kasih, Kak. Ae ... terselamatkan." Jantung Aeiry berdebar kencang.

Serangan kedua dilancarkan kembali. Kali ini lidah sang katak melilit batang pohon tempat Aeiry berada dan menariknya, Aeiry hanya bisa melongo saat pohon itu terangkat lengkap dengan akar-akarnya yang panjang.

Aeiry yang melongo kemudian tersadar akan sesuatu. Kesempatan, kodok yang sedang sibuk melilit batang pohon menjadi sasaran empuk untuknya. Satu anak panah bersarang di perut dan satunya lagi berhasil mengenai mata besarnya. Azlan juga menyerang dengan sihir api yang membakar lidah sehingga membuat kodok itu termundur beberapa langkah.

Meskipun lidahnya sudah dibakar, hewan itu tetap melilit batang pohon. Ia mengangkatnya ke atas dan melemparnya menuju anak-anak dengan kekuatan penuh. Lagi-lagi Azlan menarik Aeiry dan menceburkan diri ke air. Namun, bahu Azlan menerima beberapa luka akibat gesekan kayu runcing yang terlempar.

"Kodok ini benar-benar mencari masalah!" Azlan mengusap luka di bahunya. "Tetap waspada, Aeiry. Sepertinya dia tidak akan melepaskan kita dengan mudah."

"Baik, Kak. Kodok ini menyebalkan," gerutu Aeiry. "Sepertinya ia akan melakukan sesuatu lagi, Kak."

Azlan dan Aeiry dibuat bingung oleh perilaku hewan ini, tiba-tiba saja kodoknya meneguk banyak air. Haus? Meredakan panas pada lidahnya? Mereka tidak bisa menebak. Namun, sepertinya akan terjadi hal buruk.

"Aeiry. Sebaiknya kita naik ke daratan dulu, akan sangat sulit bergerak di air." Azlan merasakan sinyal bahaya dari kodok.

Benar saja, hewan itu langsung menyerang dengan air berkecepatan tinggi dari mulutnya saat kedua bocah itu naik dan berlari di daratan. Serangan itu memporak-porandakan daratan yang mereka lalui. Seperti pohon yang tumbang, batu terbelah, dan tanah yang hancur. Selain air, dalam serangannya juga terdapat batu kecil, kayu runcing, tanah, dan tentunya lintah. Bisa dibayangkan sesakit apa jika sampai mengenai mereka.

Keduanya memelankan langkah kaki saat menyadari serangan itu telah berhenti. Mereka mengambil napas sejenak, tetapi tidak menurunkan fokus karena pergerakan hewan itu tidak bisa ditebak dan bisa menyerang kapan saja.

Saat menoleh ke belakang, hewan itu sudah menghilang layaknya kabut yang membaur di sekitar rawa. Aeiry dan Azlan juga berbagi penglihatan ke segala arah, tetapi tidak ada petunjuk keberadaan. Namun, mereka melupakan satu hal, yaitu bagian atas. Keduanya mendapati kodok itu tengah terbang di atas kepala mereka dan bersiap menyerang lagi.

BERSAMBUNG

Journey Of Five Child's Season 1 [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang