Situasi berbalik begitu cepat. Jika tadi Louis berada di atas angin, kali ini ia merasakan tekanan dan kegelisahan yang luar biasa. Wajar saja, dirinya saat ini dikejar oleh instruktur yang terlihat seperti singa yang bisa menerkamnya kapan saja.
Di lain sisi, instruktur begitu menggebu-gebu serta marah. Bahkan, ia mengabaikan rasa sakit akibat pertarungan sebelumnya. Baginya, petarung jarak jauh menyebalkan dan sangat merepotkan.
Sebilah pisau kecil kembali terbang ke arah Louis, meskipun sudah menghindar, tetap saja berhasil menggores luka tipis di telinganya.
"Sial! Aku benar-benar kesal saat ini!" Halley mempercepat larinya. "Aku paling benci ketika diabaikan begitu saja! Selain itu, ia juga berani-beraninya menyakiti Louis! Tidak bisa dimaafkan!"
Louis yang sedari tadi panik karena instruktur berhasil memangkas jarak dengannya, tiba-tiba mendapat ide yang berisiko gagal dan berhasilnya sama besar. Bimbang? Ragu? Tentunya Louis merasakan hal itu. Namun, kalau tidak dicoba tidak akan tahu hasilnya. Terlebih, dirinya tidak bisa lari terus-menerus karena stamina dan kakinya juga mempunyai batas kelelahan.
Ia memutar badan, menarik karet ketapel, dan terlihat melontarkan sesuatu. Sama seperti perkiraannya, instruktur menghindar dan inilah momentumnya. Serangan pertama hanyalah tipuan karena tidak ada apa-apa di dalam karet dan serangan kedua adalah yang sesungguhnya. Tangannya begitu cepat meraih peluru kayu dan menembaknya di pipi serta paha instruktur. Rencana Louis sukses.
Halley memulai kembali serangannya. Namun, instruktur sudah bisa membaca pola serangan dan berhasil meraih kerah Halley lalu mengangkat gadis itu setinggi mungkin. "Cukup sudah! Kau terlalu sombong akan kemampuanmu sehingga berakhir seperti ini. Satu lagi, aku benar-benar marah kali ini!"
Aeiry sangat terkejut saat melihat sesuatu mendekat. Itu adalah Halley, punggungnya begitu keras menghantam kurungan besi.
Azlan yang sudah membaik berjalan menuju arah suara. Ia sangat terkejut saat mendapati Aeiry sedang terisak sambil menggerak-gerakkan tubuh Halley yang terbaring.
Tangis Aeiry mulai pecah saat Azlan memangku Halley. Dunianya seakan hancur saat melihat temannya terbatuk-batuk sambil mengeluarkan darah dengan sinar mata yang mulai redup. Azlan? Ia memaksa untuk tegar, meskipun perasaannya campur aduk. Ia tidak ingin membuat Aeiry lebih sedih lagi.
"Kak Halley!" teriak Aeiry dengan linangan air mata yang mengalir deras. "Kak Az! Cepatlah bawa Kak Halley ke tenda penyembuh, saat ini kondisinya lebih buruk dari kak William saat itu!"
"Aeiry, ya." Halley dengan suara lemahnya. "Maaf, Aeiry. Aku ... tidak bisa membalaskan ... rasa sakitmu."
Azlan mengelap darah pada pipi Halley. "Jangan gunakan energimu untuk bicara hal yang tidak-tidak, Halley! Ini bukan waktu yang tepat untuk meminta ma—"
Azlan terdiam saat Halley menempelkan jari telunjuk di mulutnya. Dengan mata redup, Halley melanjutkan kata-katanya. "Azlan ... maaf juga, karena kecerobohanku kau harus melindungiku dari tendangan instruktur. Namun, berkatmu juga aku bisa berjuang lebih lama bersama mereka. Terima ... kasih." Halley mulai berlinang air mata. "Kebahagiaan terbesarku adalah bisa mengenal dan berteman dengan kalian. Kurasa itu saja yang bisa ku ... sampaikan. Mataku sudah mulai mengantuk, Az ... lan."
Jari telunjuk Halley yang berada di mulut Azlan, perlahan jatuh ke tanah. Ditambah, matanya yang mulai tertutup semakin membuat Aeiry histeris sejadi-jadinya sambil memukul-mukul penjara besi.
"Ini bercanda, kan?" Azlan mengguncang tubuhnya. "Halley! Halley! Sadarlah, oi! Jangan pergi, bukankah kita sudah berjanji untuk selalu bersama, Halley! Kumohon sadarlah ... Halley!"
Berbagai cara sudah Azlan lakukan. Namun, Halley tidak sadar juga.
"Kenapa ... kenapa? Padahal, aku sudah berlatih terus-menerus untuk menjadi kuat." Azlan memukul tanah berkali-kali karena frustrasi. "Tetapi, kenapa aku tidak bisa melindungimu, Halley! Jawablah, oi! Jangan diam saja! Apa latihanku masih kurang keras atau dunia yang terlalu kejam pada kita!? Aku sudah kehilangan orang tua, aku tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya. Kau mendengarku, kan? Halley!"
Azlan bergegas pergi setelah menyandarkan Halley di kurungan besi dan meminta Aeiry untuk menjaganya. Aeiry sempat melarangnya untuk pergi karena takut akan bernasib sama seperti Halley. Namun, Azlan menolak, ia lebih takut jika tidak melakukan apa-apa dan membiarkan instruktur mengacau lebih dari ini.
Lagi-lagi Azlan harus menelan pil pahit saat dirinya menemukan William terkapar. Dengan pelipis berdarah, mulut yang robek, tubuhnya juga lebam-lebam, dan tentunya tidak sadarkan diri. Melihatnya saja sudah membuat Azlan sangat kecewa dengan dirinya sendiri, dirinya yang tidak bisa melindungi sahabatnya.
Suara teriakan tiba-tiba muncul di keheningan malam, terdengar memilukan dan menyayat hati Azlan yang saat ini sedang putus asa. Ia teringat satu temannya yang lain, Louis. Ia kemudian mencari asal suara itu dan berhasil menemukan Louis.
Sayang sekali, Azlan terlambat. Louis sudah terkapar di tanah dengan tangan instruktur yang menarik rambut panjangnya dan membenturkan wajah Louis ke tanah beberapa kali.
Tidak puas dengan kepala, instruktur menginjak tangan kecil Louis. "Karena kau sangat merepotkan, aku akan memberikanmu perlakuan 'khusus' bersiaplah"
Ia mengangkat tangan Louis dan menginjak bagian siku dengan keras. Sampai akhirnya.
KRAK!
Suara yang indah di telinga instruktur. Namun, tidak untuk Louis. Rasa sakit yang teramat membuatnya menjerit begitu keras dan menusuk jiwa bagi siapa pun yang mendengar, mencerminkan penderitaan serta rasa sakit yang tidak terbayangkan. Bagaimana tidak, tangannya yang lincah, kuat, dan selalu Louis banggakan harus dipatahkan instruktur.
"Apalagi yang mau kau hancurkan dari temanku, brengsek!" Azlan meneriaki instruktur yang bersiap mematahkan tangan Louis satunya.
Melihat Azlan yang belum terluka sama sekali, membuat instruktur ingin menghajarnya dan mengabaikan Louis.
Tepat saat Azlan berlari ingin bertarung, sebuah tanah tiba-tiba menahannya sampai pergelangan kaki. Instruktur juga sama, meskipun berusaha keras tanah itu terlalu kuat menahan kakinya.
"Bukankah sudah kubilang agar tidak ikut campur dalam urusanku, Daniz!"
"Maaf saja, tetapi aku tidak bisa membiarkanmu bertindak lebih jauh dari ini! Mematahkan tangan anak-anak!? Yang benar saja! Kau sudah keterlaluan!" teriak Daniz.
Leonor Agreclya, itulah nama wanita paruh baya yang menggunakan sihir tanah untuk mengunci kaki Azlan dan instruktur. Ia juga merupakan seorang penyihir yang merangkap jadi seorang instruktur di kota bagian depan Solzerinos. "Hei, Nak. Jangan gunakan waktumu untuk pertarungan yang tidak bisa kau menangkan! Lihatlah temanmu. Mereka saling bekerja sama. Namun, tetap saja kalah. Apalagi kau yang hanya sendiri," katanya, "jika kau kalah, maka hanya tersisa satu gadis yang berada di kurungan besi itu. Apa kau tega membuatnya semakin bersedih? Lagi pula, akan sangat merepotkan jika satu gadis merawat empat temannya, 'kan?"
Azlan mulai melunak, kata-kata yang terucap dari wanita itu ada benarnya. Akan sangat menguras fisik serta mental jika Aeiry harus merawat semuanya seorang diri.
Pertarungan dibubarkan. Namun, Azlan sempat melihat sinis ke arah instruktur. William dan Louis kemudian dibawa menuju tenda penyembuh oleh prajurit dan Azlan yang menggendong Halley mengikuti dari belakang.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey Of Five Child's Season 1 [End]
FantasíaMenceritakan tentang kelima anak yatim piatu yang kebahagiaannya terenggut paksa akibat peperangan, tidak hanya itu. pemerintah juga mengambil alih kendali atas nasib mereka dengan mengirim ke kamp militer. Kehidupan di tempat pelatihan pun tidak b...