Menceritakan tentang kelima anak yatim piatu yang kebahagiaannya terenggut paksa akibat peperangan, tidak hanya itu. pemerintah juga mengambil alih kendali atas nasib mereka dengan mengirim ke kamp militer.
Kehidupan di tempat pelatihan pun tidak b...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dinginnya udara malam itu tidak menggoyahkan hasrat balas dendam yang akan mereka jalankan. Jari jemari Halley perlahan menyingkap tirai tenda itu.
Amarah mereka seketika menggebu-gebu ketika menyaksikan seorang pria terlelap dengan posisi telentang di atas ranjang. Tentu saja, itu adalah target mereka hari ini, Instruktur yang menyakiti William.
"Seingatku, di tenda mana pun tidak ada benda seperti itu." Azlan menunjuk sesuatu yang berserakan di lantai. "Apa itu?"
Halley menyeringai lebar. "Paku, aku menyebarnya sebelum kalian datang."
Perkataan yang sederhana. Namun, mampu membuat Azlan dan Louis tercengang tatkala mendengarnya. Mereka tidak menyangka, seorang anak gadis manis dan lucu seperti Halley memiliki sisi kejam. Terlebih, dirinya berniat melukai seorang pria.
"Kau sudah gila, Halley. Bukankah niat awal kita hanya mengerjainya dan tidak ada niat melukai." Louis menggeleng kepalanya. "Kau juga, Aeiry. kenapa tidak menghentikan kelakuannya? Ini sudah melenceng."
Aeiry hanya hanya menjawab sambil menundukkan kepalanya karena takut menatap Louis. "Maaf, Kak ... Aeiry sudah mencobanya. Namun, Kak Halle-"
"Ya ampun, jangan banyak mengeluh," potong Halley. "Jangan tanggung-tanggung kalau mau balas dendam, kalian masih ingat bagaimana dia menghajar William tanpa belas kasihan? Kita akan melakukan hal yang sama. Jadi, mari kita bekerja sama."
Ucapan Halley ada benarnya meskipun berbeda dari rencana awal. Kini, mereka sudah siap memulai aksinya, dimulai dari Aeiry yang mengeluarkan busur serta anak panah kayunya dan membidik area kepala instruktur yang sedang tertidur.
Sorot matanya begitu fokus membidik. Namun, tangannya mulai gemetar. Sebab, ini pertama kali Aeiry mengarahkan senjata itu ke seseorang.
"Jika gemetaran seperti itu kau takkan bisa membidiknya," Louis memegang tangan Aeiry yang gemetaran. "Kau pasti bisa! Aku percaya padamu"
Entah mengapa, rasa gemetar itu berubah menjadi kepercayaan diri berkat sentuhan dan kata-kata dari Louis. Terlebih, hubungan keduanya semakin dekat setelah kejadian penguburan jasad. Kini, Aeiry telah siap sepenuhnya.
Dengan satu tarikan napas, anak panah itu perlahan melesat memasuki tenda dengan tenaga yang cukup kencang. Sedikit meleset dari kepala dan hanya mengenai leher. Namun, cukup untuk membuat instruktur terbangun. Ia mengusap lehernya dengan mata yang setengah sadar.
Keduanya kompak melempar bungkusan kertas yang sedari tadi mereka genggam dan jatuh tepat di area kasur. Mata instruktur tertuju pada benda itu dan meraihnya.
"Kiriman surat? Dari siapa?" Ia mengusap matanya yang masih mengantuk.
Matanya yang semula masih mengantuk, seketika tercengang ketika membuka isi kertas itu. Rasa jijik, geli, ditambah keringat mulai bercucuran membasahi wajahnya ketika ia melihat beberapa belatung dan kecoak mulai keluar dari gumpalan kertas itu. Ditambah, ada beberapa kecoak yang bergerak cepat masuk ke area bajunya.