Menceritakan tentang kelima anak yatim piatu yang kebahagiaannya terenggut paksa akibat peperangan, tidak hanya itu. pemerintah juga mengambil alih kendali atas nasib mereka dengan mengirim ke kamp militer.
Kehidupan di tempat pelatihan pun tidak b...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Simulasi usai dan barisan secara kompak dibubarkan. Namun, Azlan, Louis, William, dan Halley tidak beranjak dari tempatnya. Untuk Aeiry, dirinya masih dibiarkan tergeletak di tanah dengan sekujur badan terasa pedih sambil sesekali meringis kesakitan.
William berinisiatif membawa pergi Aeiry setelah melihat instruktur itu berbalik badan dan menjauh. Namun, sebuah pisau terlempar ke arah William dan menggores pipinya. Tidak terlalu dalam, tetapi cukup untuk membuatnya berhenti.
"Aku tidak akan segan melukai anak-anak jika mereka melawan!" Instruktur itu melempar pisau lagi dan tepat berhenti di kaki William. "Jangan melewati batas pisau itu, jika tidak ingin mendapat masalah!"
Louis mulai menarik William yang berada dalam bahaya. Setelahnya, mereka pulang dengan penuh keterpaksaan, di lain sisi mereka juga takut kalau instruktur akan bertindak lebih kejam.
"Instruktur itu benar-benar jahat! Kita harus menolong Aeiry diam-diam, kalian ada ide?" ucap Louis.
Kejadian ini tentunya berbeda dengan situasi William yang kapan saja mereka bisa membalasnya, tetapi kali ini mereka harus berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan Aeiry.
"Aku ada ide!" William dengan mata yang berbinar-binar. "Rencanaku tentunya tidak memiliki risiko yang besar dan pasti berhasil."
***
Matahari mulai terbenam dan Aeiry masih dibiarkan tergeletak di sana. Sudah beberapa kali ia meronta minta tolong, memuntahkan darah dari mulut, badannya tidak hanya sakit, tetapi juga gatal akibat debu yang masuk ke pori-pori kulit.
Aeiry merasakan adanya harapan ketika mendengar suara langkah kaki mendekat. Sialnya, yang datang malah instruktur dengan mata marah, padahal ia sangat berharap teman-temannya akan menyelamatkan dirinya saat ini. Inilah yang dinamakan ekpektasi tidak sesuai dengan realita.
Namun, yang lebih mengejutkan saat Aeiry menyoroti sesuatu yang dibawa instruktur. Sebuah tali tambang dan cambuk berwarna merah menyala. Tanpa pikir panjang, instruktur menyeretnya menuju pohon terdekat lalu mulai mengikatnya.
Aeiry memberontak terhadap apa yang terjadi padanya saat ini. Kesalahannya tidak seberapa. Lantas, kenapa dirinya harus menerima hukuman yang seharusnya tidak ia dapatkan.
Rasanya sungguh menyakitkan saat diseret paksa dan diikat dengan kencang pada pohon. Terlebih, dahan pohonnya begitu dingin saat bersentuhan langsung dengan bagian belakang Aeiry, batinnya mulai meringis saat instruktur mulai mencambuknya berulang kali.
Tubuhnya bergetar hebat dan keringat dingin mengucur deras begitu saja. Cambukan itu masih terus dilayangkan pada tubuh mungilnya, Rambutnya juga beberapa kali dijambak dan kepalanya dibenturkan pada pohon sehingga membuatnya kehilangan kesadaran selama beberapa saat.
Remuk? Sakit? Ya, tubuh rasanya hancur saat instruktur tanpa henti menyiksanya. Air mata Aeiry kering dan sudah berhenti mengalir dari sudut matanya karena menangis pun sudah tidak ada gunanya. Instruktur itu tidak akan berhenti menyiksanya sebelum ia puas menyalurkan emosinya.