Chapter Enam Belas

128 83 49
                                    

William menatap lekat ke arah lentera yang ditaruh di atas gentong air

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

William menatap lekat ke arah lentera yang ditaruh di atas gentong air. Hatinya begitu panas seperti api yang berada di dalam lentera itu. Berkali-kali ia mencoba tidur, tetapi tidak bisa. Sampai akhirnya ia jengkel sendiri dan menggebrak kasur yang ia tempati.

Hal ini tentu saja menarik perhatian Louis dan Azlan. Mereka bisa mengerti situasi saat ini, William akan bertingkah seperti ini bila terjadi sesuatu terhadap Aeiry. Sejak awal masuk ke gereja, bermain, makan bersama, dan akhirnya tiba di kota ini. Semua perhatian William selalu tertuju pada Aeiry layaknya seorang kakak yang memiliki hubungan darah. Bisa dibilang, hubungan mereka sangat dekat.

"Kau mau ke mana malam-malam seperti ini, William?" tanya Azlan.

"Tidur dan jangan keluyuran. kau tahu, penjagaan diperketat," saran Louis.

William diam sejenak lalu melirik temannya. "Bagaimana bisa aku tidur nyenyak saat Aeiry kesusahan seperti ini. Kalian tahu, udara dingin dan nyamuk tentu akan menyerangnya malam ini dan itu sangat menggangu pikiranku. Aku yakin, saat ia terbangun nanti akan merasakan kesepian mendalam saat kita tidak berada di sisinya." William mengusap air matanya. "Aku akan menemaninya tidur malam ini. Terserah saja, kalian ikut atau tidak."

Azlan dan Louis bukan tidak peduli dengan Aeiry. Namun, mereka takut kalau instruktur dan prajurit bertindak lebih dari ini, keduanya lalu mengikuti William dari belakang karena tidak punya pilihan lagi, tetapi Azlan sedikit terlambat karena mencari sesuatu untuk Aeiry.

Sesampainya di luar tenda, mereka mendapati Halley yang meringkuk sambil mengacak-acak rambutnya. Dirinya sama seperti Wiliam, gelisah serta tidak bisa tidur karena memikirkan Aeiry. Halley setuju dengan ide William dan bergegas menuju ke tempat Aeiry dikurung.

Banyaknya tenda, tubuh kecil, dan kelincahan mereka tentu saja begitu membantu menghindari para prajurit. Tidak perlu waktu lama, mereka sudah sampai di tempat yang dituju.

Aeiry rupanya sudah bangun terlebih dahulu. Namun, matanya masih sembab karena teringat siksaan gila instruktur, dia terlihat kedinginan dan beberapa kali menepuk nyamuk yang membuat badannya merah-merah.

William dengan cepat menghampirinya. "Aeiry, Maafkan aku! Jika saja ... aku punya kekuatan mungkin aku bisa menolongmu!" ucapnya sambil memegang jeruji besi yang mengurung Aeiry. Matanya memerah karena ingin menangis saat melihat adik kecilnya tersiksa.

"Andai saja ... aku bisa melawan instruktur saat aku bertarung pedang waktu itu, aku pasti akan mengeluarkanmu dari sini." Halley terlihat begitu sedih air matanya sudah turun sejak tadi diikuti suara yang bergetar.

"Jangan meminta maaf. Semua ini terjadi karena kecerobohan Aeiry, Kak. yang seharusnya meminta maaf itu Ae, maaf selalu membuat kalian repot dan khawatir." Aeiry menatap para kakaknya seraya menyeka air mata di pipinya.

"Kita tidak seharusnya meminta maaf satu sama lain! Kita tidak melakukan kesalahan sama sekali, merekalah yang harus meminta maaf! Aeiry, kau tidak perlu meminta maaf. William! kau juga!" tegas Louis merasa kesal. "Tidak perlu mengeluh, merekalah yang terlalu kejam dan menaruh ekspektasi tinggi kepada kita!"

Azlan mengembuskan napas lega. Dirinya puas akan kata-kata Louis yang mewakili perasaannya dan mulai memberikan barang bawaan dari tendanya berupa selimut serta bingkisan dari Marie untuk dimakan bersama.

Teman-temannya hanya bisa melongo saat Azlan memasukkan manisan ke dalam mulut Aeiry. Sebab, biasanya yang melakukan hal itu adalah William. Namun, seperti itulah persahabatan. Tidak peduli siapa yang melakukannya, asalkan tulus maka semuanya akan terasa bahagia.

Mereka kemudian bercerita satu sama lain untuk menghibur dan berniat menemani Aeiry tidur malam itu. Namun, semuanya tidak terealisasi karena kedatangan dua prajurit yang diutus instruktur untuk mengawasi Aeiry sepanjang malam.

"Hei! Dasar cecunguk, kalian sangat keras kepala! Bukankah sudah instruktur katakan untuk tidak mendekat!" Salah satu prajurit menarik kerah William dan mendorongnya. "Kalian sangat berani melawan perintahnya, dasar anak berandal!"

"Kami juga diberi perintah! Untuk menghalangi siapa saja yang berusaha mendekat dan diperbolehkan menggunakan kekerasan! Berhubung kalian anak-anak, kami akan sedikit lembut. Pulanglah ke tenda!" perintah prajurit satunya.

Lagi dan lagi mereka dipaksa pulang untuk meninggalkan Aeiry. Hal ini tentunya membuat kecewa dan sakit hati karena sudah dua kali terjadi. Sebelum pulang, Azlan menitipkan bingkisan dari Marie untuk Aeiry santap jika ia merasa lapar.

Namun, baru beberapa langkah berjalan menjauh, terdengar suara keras dari belakang yang membuat mereka menoleh untuk memastikan apa yang terjadi.

Rupanya itu ulah salah satu prajurit yang memukul bagian atas kurungan besi. "Siapa yang menyuruhmu untuk makan!" bentak prajurit pada Aeiry yang sedang memakan manisan, "makanlah ketika disuruh! Kau mengerti!?"

Aeiry berhenti makan, bersandar pada kurungan besi, dan meringkuk kembali sambil menyelimuti tubuhnya. Rasa takut itu kembali, ketakutan akan siksaan yang akan dirinya dapatkan seperti tadi dan teriakan prajurit itu terdengar mengerikan di telinganya.

Tidak hanya itu, kedua prajurit lalu membanting serta menginjak-injak bingkisannya seolah-olah itu ada benda yang menjijikkan. Hal ini tentunya mengundang amarah anak-anak karena mereka tahu betul bingkisan itu dibuat susah payah dan penuh cinta dari Marie.

Azlan mengepal kuat tangannya sampai bergetar dengan wajah merah menyala. Prajurit itu tidak hanya menyakiti perasaanya, tetapi juga melecehkan apa yang dibuat oleh Marie. "Brengsek! Tidak bisa dimaafkan! Cukup ... aku tidak peduli lagi dengan semua ini, aku hanya ingin menghajar orang di sana!"

Ucapan Azlan bukan omong kosong belaka. Dirinya menerjang ke depan layaknya anak panah yang sedang menargetkan sesuatu. Ia tidak peduli gelapnya malam dan udara dingin. Azlan memulai serangan dengan sihir apinya sehingga membakar area bahu salah satu prajurit. Tepat saat prajurit itu berbalik, Azlan sudah siap dengan tinju dan mengarahkannya ke titik vital pria, yaitu kemaluannya.

Prajurit itu tumbang seketika dengan rasa perih, sakit, dan tubuhnya seketika merasakan sengatan yang luar biasa. "Brengsek! Kau tahu akibatnya kalau berani melawan kami!?" bentak prajurit satunya.

"Azlan! Apa kau sudah gila?!" Louis tidak menyangka Azlan bertindak gegabah.

"Mereka sudah keterlaluan, Louis. Mari balas dendam atas bingkisan Bibi Marie yang sudah mereka hancurkan!" William mengepalkan tangannya dan mulai maju.

Perasaan Louis terbungkus oleh kebimbangan dan tidak bisa mengambil sikap atas kejadian barusan. Ia senang karena temannya berani menuntut balas. Namun, ia juga takut akan konsekuensi setelah insiden perkelahian ini. Sorot matanya selalu berpindah-pindah dari Azlan mengambil posisi bertarung sampai William yang sudah dikuasai amarah.

Namun, ada sesuatu yang menggangu fokus Louis. Suara napas kasar dan terkesan memburu berada di dekatnya sehingga ia menoleh dan mendapati sesuatu yang mengejutkan dan itu adalah ...

BERSAMBUNG

Aeiry: Dunia kejam berhenti menjadi orang naif! Siapa yang kuat dia yang berkuasa.

William: Orang yang kita sayangi harus dilindungi. Dunia terlalu kejam terhadap orang-orang lemah, aku ingin melindungi orang yang kusayangi.

Halley : mungkin banyak orang jahat di dunia ini, tetapi tidak sedikit juga orang baik.

Louis : terkadang situasi akan membuat mu bimbang di satu sisi kau harus ikut bergabung tapi di sisi lain kau harus melihat akibat yang akan datang setelah itu.

Azlan : Sekuat-kuatnya seorang pria, pasti akan tumbang juga kalau dihantam di area kemaluannya😁

Journey Of Five Child's Season 1 [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang