4. The Strings

686 79 10
                                    

Di hari Sabtu yang cerah berawan, Jungwon duduk di ruang tengah seraya memakan nasi goreng yang sudah mamanya buatkan tadi. Selagi menunggu waktu untuk berangkat bimbel, ia beberapa kali mengganti acara tv yang menurutnya tidak ada yang menarik. Sampai akhirnya ia hanya membiarkan televisi itu menyala dengan berita-berita pagi.

Tepat saat ia menyuap satu sendok nasi goreng beserta telur mata sapi, satu berita tentang fenomena langit yang akan terjadi Sabtu depan menjadi penutup siaran kali itu. Jika langit malam Jakarta cerah, masyarakat dapat melihat gerhana bulan pada jam satu malam. Dengan puncak gerhana sekitar jam dua malam. Jungwon memperhatikannya dengan serius. Ini yang ia tunggu-tunggu dari beberapa waktu lalu. Orangtuanya tidak pernah melarang Jungwon terjaga semalam itu hanya untuk melihat gerhana. Dengan satu syarat, tugas sekolah sudah dikerjakan.

Saat tayangan berita selesai, ia matikan televisinya. Nasi gorengnya juga sudah tandas. Ia bergegas menuju dapur untuk mencuci piring bekas makannya dan segera bersiap menuju tempat bimbelnya.

Sewaktu ia mengeluarkan sepeda dan memarkirkannya di dekat pagar, kebetulan juga motor Jay sedang dipanaskan di luar. Cowok itu baru akan pergi, ekskul sepertinya, pikir Jungwon.

Pagi ini papa Jungwon ada kerjaan di luar kota. Tidak lama, nanti malam sudah pulang. Sedangkan mamanya sudah berada di rumah jahit yang tidak jauh dari komplek perumahan. Sudah bertahun-tahun mama membantu keuangan keluarga. Terlebih karena Jungwon sudah besar, di rumah sepi. Terkadang, mama juga membawa pesanan jahitnya ke rumah. Jungwon sering membantu mengantarkannya ke pelanggan.

"Bimbel terus apa gak meledak tu otak."

Jungwon menoleh ke sumber suara. Jay, dengan jersey voli dan jaket hitam, menaiki motornya lalu menaikkan standarnya. Ia melihat Jungwon yang sedang membuka pagar. Karena tidak ada balasan, Jay kembali bersuara.

"Padahal kalo lo ikut voli, kita bisa berangkat bareng," ucapnya setengah meledek. Jay melajukan motornya dan berhenti tepat di depan Jungwon, membuat Jungwon merengut sebal. "Tau gak kenapa bintang meledak? Karena dia ngebakar intinya sendiri. Kalo lo terus-terusan gunain otak lo, lo—"

"Gue bukan bintang," ucap Jungwon datar. "Lagian ngapain lo tiba-tiba ngangkat topik lama yang udah gak mau lo omongin lagi?" Jungwon naik ke sepedanya lalu pergi meninggalkan Jay yang masih terdiam.

Ternyata omongan Jungwon tadi sedikit mempengaruhinya dan membekas dalam ingatannya. Ia juga langsung tersadar an bergumam, "Iya juga. Ngapain gue ngomong kayak gitu." Lalu Jay menancapkan gas motornya. Ia lewati Jungwon tanpa menoleh dengan kecepatan tinggi dan langsung menuju sekolah.

***

"Halah! Woy, Jay! Maen lo ancur banget. Kenapa, sih?"

Jay merukuk. Ia usap peluh di dahinya. Ternyata ia masih terpikirkan omongannya bersama Jungwon tadi pagi. Kalimat Jungwon terngiang-ngiang diingatan. Ia tidak menyangka hal tersebut akan mempengaruhinya sejauh ini, selama ini.

"ARGH, SIALAN!" Ia langsung berdiri tegap dengan berteriak. Membuat teman-temannya yang lain terheran-heran.

"Dua set lagi, ya," ucap Jay pada Sunghoon.

"Dua set? Tadi baru setengah main aja lo udah begitu. Gak-gak. Istirahat dulu lo. Nanti Pak Mark ke sini berabe urusannya ngeliat lo kayak gini."

"Gue gapapa, nyet! Udah buruan!" Kemudian Jay memanggil teman-temannya yang tadi sempat istirahat untuk kembali ke lapangan.

Hari itu banyak anak-anak kelas 10 yang baru masuk. Mereka melihat sesi latihan itu dengan ekspresi kagum. Voli putra dan putri lapangannya berbeda. Dari sisi lain lapangan, Minji melihat bagaimana kekacauan Jay hari itu. Cewek itu tidak tahu saja, yang menyebabkan kekacauan permainan voli Jay hari itu adalah temannya.

The Milky Way and The Lost Stars [jaywon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang