Garis itu tak telihat, namun benar adanya. Menghubungkan satu jiwa ke jiwa lainnya. Membentuk perwujudan nyata dari makna cinta. Satu garis hilang, berganti lah bentuknya. Jay berpikir keluarganya sudah sempurna. Dengan Mama, papa, dan dirinya sendiri. Formasi sederhana membentuk satu keluarga. Tetapi ternyata ia salah besar. Ia lupa dengan kalimat, "Tidak ada yang sempurna di dunia ini." Maka remuk lah segala angan yang sudah ia jaga dari lama.
Dan hari ini Jungwon melihat keterjatuhan itu. Diselimuti banyak air mata, didekapnya Jay erat-erat. Sudah sekitar setengah jam mereka duduk di kursi belakang mobil. Dengan Jay yang bersandar pada bahu kiri Jungwon sembari memejamkan mata. Tubuhnya ditutupi oleh jaket hijau Jungwon. Kedua tangan mereka bertaut. Tidak pernah lepas. Yang dilakukan Jungwon adalah membawa tautan itu ke atas pahanya kemudian ia mengelus tangan Jay dengan lembut. Mata keduanya pun hampir sama sembabnya. Suara ranting pohon yang bergesekan terdengar samar dari celah pintu mobil yang Jungwon biarkan terbuka sedikit. Sehingga masih ada pertukaran udara di dalam sana.
Jay membuka kelopak matanya perlahan seiring mengeratnya genggaman tangan itu. Ia lirik dua tangan yang bertaut. Tanpa sengaja, ia bisa melihat pergelangan yang kemerahan karena ulahnya tadi. Lalu Jay bawa tangan itu ke hadapannya lalu ia kecup bekas kemerahannya. Begitu lembut. Seperti takut akan menyakiti orang di sampingnya lagi.
"Maaf."
Satu kata diucapkan Jay dengan suara serak. Jungwon mematung di tempat. Ia menatap pergelangan tangannya yang diusap oleh Jay.
"Gue bego banget, ya? Gue yang sakit tapi tanpa gue sadari, gue juga jadi nyakitin orang lain, nyakitin lo."
Refleks, Jungwon menggeleng. Suaranya jadi tidak mau keluar. Ia tidak menemukan padanan kata yang tepat. Mendengar suara Jay membuatnya ingin menangis lagi. Maka ia biarkan setelahnya kembali hening. Jungwon hanya menjawab dengan kembali mengelus kecil jemari Jay.
"Selama ini gue masih berharap papa balik, Won. Tapi kayaknya itu cuma jadi harapan konyol gue doang. Nyatanya masalah mereka lebih rumit. Dan gue gak tau soal itu." Jay menatap lurus ke depan. Kedipannya lamban, seperti ia akan memejamkan mata lagi. "Jujur, tadi gue sempet punya pemikiran, seharusnya gak gue tolongin anak itu. Seharusnya gue biarin aja. Dia udah ngambil papa."
Tawa getir terdengar. Sambil menggeleng, Jay berkata lagi, "Tapi gue juga paham pasti anak itu gak tau apa-apa. Sama kayak gue dulu. Masih bego."
Jungwon masih setia mendengarkan. Tak sedikit pun ia memotong pembicaraan Jay. Lalu ia rasakan Jay menyamankan posisi di bahunya.
"Won?"
"Hm?"
"Jangan pergi. Jangan kayak bokap gue. Temenin gue. Gue sendirian."
Mendengar hal tersebut Jungwon jadi nelangsa. Ia menoleh ke arah lain guna menghalau Jay agar tidak melihat ia menahan air matanya lagi. Susah payah ia mengontrol suaranya agar terdengar normal. Lalu Jungwon menggesekkan kepalanya ke kepala Jay. Sambil tersenyum kecil Jungwon berkata, "Gak akan, Kak. Gue di sini."
Kedua mata Jay memejam, bibirnya melengkung sedikit. "Makasih, Won."
Tidak ada suara lagi setelahnya. Jay terlelap karena lelah menangis. Berbeda dengan Jungwon. Ia terjaga sepanjang waktu. Menepuk-nepuk kecil punggung tangan Jay. Perlahan, Jungwon majukan kepalanya. Ia lihat ujung mata Jay mengeluarkan air yang turun ke pipi. Lalu Jungwon usap lembut pipi itu, menghilangkan bekasnya.
Waktu berlalu, sudah hampir setengah jam Jay tertidur di pundak Jungwon. Ia jadi merasa khawatir. Tidak mungkin mereka pulang dengan kondisi Jay yang seperti ini. Dan juga Jungwon tidak bisa menyetir mobil. Maka ia terus memutar otak. Lalu muncul lah satu ide di kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Milky Way and The Lost Stars [jaywon]
Fiksi PenggemarSepasang mata meninggalkan sepasang mata lainnya. Gelap, dingin, membingungkan. Jay membisu karena janji yang pernah ia ucapkan meledak menjadi ruang kosong yang mampu menyerap apa pun di sekelilingnya. Salah satunya termasuk mimpi Jungwon. Warnin...