Sama seperti hari-hari biasanya, Anindita lebih memilih menghabiskan waktunya di kampus. Dia lebih memilih berbaur dengan kebisingan daripada berkawan dengan kesunyian. Saat ini, mata kuliahnya telah selesai dan akan disambung mata kuliah lagi sore nanti. Perut Anin saat ini juga meminta diisi karena pagi tadi dia tak sempat sarapan.
"Nin, lo mau ke kantin?" Anin yang merasa terpanggil menoleh.
"Heem. Lo duluan aja gua masih ada urusan. Tapi, take satu bangku buat gua ya, hehehe" Mala hanya berdehem dan memutar bola matanya malas. Dia lebih dulu meninggalkan kelas dan menyisakan Anin sendiri di kelas.
Anin yang telah selesai memasukan buku-buku serta laptopnya beranjak meninggalkan kelas. Di tangannya ada salad yang telah ia buat kemarin malam. Dia saat ini tengah mencari sosok yang ia kenal menjauh dari keramaian. Langkahnya cepat menuju embung belakang fakultas MIPA yang terkenal sepi.
"An!" Wajahnya berseri kala menemukan sosok yang ia cari sejak tadi. Anugrah hanya diam tak menoleh.
"An?" Lelaki berkemeja coklat itu terkejut kala tangan halus Anin menepuk pelan pundaknya. Buru-buru dia memakai alat bantu dengarnya.
"Anin? kamu ke sini ngapain?" Tanyanya dengan nada ragu-ragu.
"Aku buat salad semalem di makan, ya. Kata Kak Jeffri kamu jarang makan buah. Hufft... padahal buah enak loh"
"Em... makasih Nin" Anin hanya mengangguk hingga keheningan tercipta.
"Eh, An. Aku balik dulu, ya. Mau sarapan di kantin dulu. Mala udah nungguin. Jangan lupa dimakan ya" Anugrah hanya diam tak merespon. Hanya mengamati punggung kecil itu perlahan hilang dari pandangannya. Ada banyak pertanyaan dalam otaknya tentang sosok teman sekelasnya itu.
"Anin, kamu jangan terlalu baik. Kebaikan kamu bisa menyakiti seseorang yang ngga bisa balas kebaikan kamu"
-Lengkara di Ujung Senja-
Langkah Anin semakin dipercepat kala kantin sudah berada di depan matanya. Dia tak ingin Mala menunggunya lebih lama. Anin memang seperti itu. Dia selalu mengusahakan menjadi sempurna untuk semua orang. Dia ingin selalu menebar kebaikan dan kebahagiaan bagi semua orang. Bagi Anin, orang-orang di sekitarnya jauh lebih berharga daripada dirinya sendiri.
Semangkok mie ayam telah berada di tangannya. Dirinya mencari keberadaan teman sekelasnya itu. Setelah matanya menangkap objek seorang gadis ikal berponi itu, dia tersenyum manis. Langkahnya makin di percepat agar dirinya bisa menemani makan Mala.
"Hah? Anin? anak farmasi?"
Langkahnya langsung terhenti kala mendengar namanya disebut. Matanya mencari sumber suara yang sedang membicarakan dirinya.
"Anin beneran sok dari jaman SMA. Dulu jaman SMA dia ambis susah buat join dia mah. Egois banget. Pas dimintai jawaban malah kita disuruh belajar sama dia. Dih, malas bener gua"
"Tapi emang Anin gitu nggak si? Di kelas dia jadi komting sok ngebela anak yang disabilitas. Dia beneran mau jadi sempurna ya?"
"Wkwk nyatanya bukannya keliatan sempurna malah jatohnya caper ngga si?"
"Pengin ngetawain dia waktu dia ngga lolos Kedokteran. Dulu dia ngotot banget pengin Kedokteran nyatanya otaknya ngga mampu kan. Mampus"
Sebulir air matanya jatuh. Seburuk itukah dirinya di mata orang lain. Dalam hatinya dia selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik untuk semua orang. Mencoba untuk mengerti banyak orang. Tapi nyatanya orang di sekitarnya tidak bisa mengerti dirinya. Dalam benaknya yang paling dalam tak pernah terbesit bahwa orang di sekitarnya begitu jahat padanya.
Prangg..
Kala Anin berbalik dan ingin menjauh dari kantin, seseorang tak sengaja menabraknya. Mie ayam yang berada di tangannya tumpah dan mangkoknya pecah. Seluruh kantin hanya diam tak berniat membantunya.
"Maaf kak, maaf" ucapnya pada seseorang yang menabraknya.
Setelahnya Anin berlari meninggalkan kantin. Dia saat ini hanya ingin menenangkan dirinya. Segala asumsi-asumsi buruk mulai bertebaran dalam otaknya. Segala kepercayaan dirinya langsung runtuh dalam waktu sekejap. Langkahnya membawanya pada rooftop fakultasnya yang sepi.
"Ngapain lo di sini" Anin menoleh kala suara berat itu masuk dalam gendang telinganya.
"Lo ngapain nangis di sini?" Buru-buru Anin menghapus air matanya yang sudah terlanjur mengalir dari matanya.
"Pakai jaket gua. Baju lo tembus" Anin menerima jaket abu-abu itu meskipun dia belum kenal dengan pemiliknya.
"Lo terlalu polos, ya? Kalo orang kasih permen jangan mau"
"Maksudnya?"
"Gua tau apa yang terjadi di kantin tadi. Lo ngga perlu jadi sempurna buat memuaskan orang lain. Lo ngga perlu ngepush diri lo sendiri cuma buat orang lain. Orang yang tepat bakalan mandang lo sempurna. Dan orang yang tepat ngga akan pernah mandang lo serendah itu. Nggak usah dengerin pendapat orang. Selagi lo ngerasa hal itu baik, kenapa harus dengerin orang?" Anin hanya menahan nafas ketika lelaki di sampingnya begitu lugas mengatakan hal itu.
"Kita ngga bisa mengontrol orang untuk selalu suka sama kita. Mau sesempurna apapun lo, tetep ada orang yang ngga suka sama lo. Itu hak mereka. Kita ngga bisa maksain. Lo ngga perlu khawatir kalo lo ngga punya teman cuma gara-gara lo jadi diri lo sendiri. Seperti yang aku bilang tadi, orang yang tepat bakalan mandang kamu baik"
"Tapi,-"
"Bagi lo yang gua nilai selalu mendengarkan orang lain pasti susah. Tapi itu satu-satunya cara buat lo tetap hidup waras sekarang. Semakin lo ingin menjadi sempurna bagi orang lain, lo semakin gila. Lo berhak egois untuk kebahagiaan lo sendiri"
"Mungkin pendapat lo benar. Lantas aku harus apa?"
hallo guys
welcome to back!
gimana kabarnya?
btw jangan lupa vote and komen ya
kritik saran juga aku terima
-salam cinta dari author
KAMU SEDANG MEMBACA
Lengkara di Ujung Senja (Segera Terbit)
Teen FictionBagi Anindita, asumsi orang di sekitarnya adalah segalanya. Hidupnya bergelimpangan dengan komentar baik membuatnya merasa sempurna, seperti namanya. Sebelum akhirnya dia bertemu dengan Januari, lelaki dengan segala problematika kehidupan yang jauh...