Enam : Itu Dia

119 68 18
                                    

Malam ini, Januari tampak gelisah dengan keringat yang bercucuran. Badannya panas dingin serta kepalanya pening. Lagi-lagi bayangan masa lalu itu kembali datang. Tangannya tergerak mengambil ponsel di meja sebelah ranjangnya.

 Tangannya tergerak mengambil ponsel di meja sebelah ranjangnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pintu kamar Januari yang tak terkunci itu terbuka. Harsa yang setengah panik itu langsung berlari menuju pria yang sudah dipastikan pingsan. Harsa hanya butuh waktu untuk menyiapkan mental untuk menghadapi Rajan. Perlahan kelopak mata Janu mulai terbuka. Tatapannya begitu menyala kala terbuka. Belum selesai Harsa menghembuskan nafasnya, Rajan sudah mencekik lehernya.

"Ra-jan, stop" Harsa mencoba melepaskan cekikan dari Rajan.

"Lo pasti selingkuhan mama gua kan! lo itu harus mati" Tatapan Rajan terus menyala. Cekikan di leher Harsa kian menguat. Harsa sebisa mungkin melepaskan cekikan itu dan menenangkan Rajan.

"Ra-jan, li-at gua. In-i gua, Har-harsa" Perlahan, siratan di matanya kian meneduh. Cecikan di lehernya juga semakin mengendur.

"Harsa? em... kayanya gua kenal lo? apa kita pernah ketemu?" Harsa menghembuskan nafasnya lega kala Rajan melepaskan cekikan di lehernya.

"Iya, kita pernah ketemu dua kali. Lo inget kan?" Rajan membalikan badan. Menatap remeh Harsa.

"Inget. Lo yang gagalin rencana gua, buat bunuh selingkuhan mama gua kan" Harsa hanya diam. Mengingat kejadian pertama kali dia bertemu dengan Rajan, kepribadian lainnya Janu. Yang mana saat itu dia melihat Janu yang hendak menusuk mamahnya ketika di swalayan. Untuk pertama kalinya dia mengetahui sisi gelap Januari yang dia sembunyikan dari siapapun.

"Harusnya lo masuk ke list manusia busuk yang harus gua musnahkan. Tapi berhubung kayanya lo deket sama dia jadi gua lolosin" Ucap Rajan dengan angkuh. Harsa hanya menatap sendu temannya itu. Ternyata hidupnya semengerikan itu sebelumnya, sampai-sampai tercipta jiwa lain dalam raga Janu.

"Rajan!" Pria itu menoleh. Alisnya berkerut penuh tanda tanya.

"Boleh kita temenan?" Harsa tersenyum tulus, mengajaknya bersalaman. Sayangnya uluran tangan itu hanya melayang di udara, Rajan enggan menyambutnya.

"Gua pikir-pikir dulu, lo orang yang bahaya atau bukan" Lelaki itu beranjak keluar kamar, memilih untuk ke dapur untuk mengupas apel yang ia dapatkan di lemari pendingin. Harsa mengikuti Rajan hingga duduk di sampingnya.

"Rajan, lo ngga mau temenan sama gua?" Rajan hanya diam. Dia tetap fokus mengupas apel.

Sreettt

Tiba-tiba Rajan menusuk Harsa dan beruntungnya pria itu berhasil menahan pisau itu dengan tangannya. Darah Harsa terus bercucuran. Dengan sisa tenaga yang ia punya, Harsa melempar pisau buah itu sejauh mungkin kemudian memeluk Januari dengan erat.

"Rajan tenang, tolong tenang" Rajan terus memberontak dan Harsa terus memeluknya dengan erat.

"Lepasin gua, Harsa! lo mau gua bunuh?!" Rumah itu penuh dengan teriakan Rajan serta Harsa. Di balik pelukan Rajan, Harsa menangis. Semakin Rajan memberontak hatinya semakin sakit.

"Lepasin aku, mama. Jangan sakiti aku, tolong" Rajan terus meracau di balik pelukan Harsa.

"Papah, jangan sakiti mamah"

"Argghh, brengsek!" Harsa terus menepuk-nepuk pundak Rajan berharap dia segera tenang. Perlahan tapi pasti, mata Janu mulai meredup. Racauannya mulai berhenti serta tubuhnya semakin lemas. Harsa terus memeluknya sambil menepuk-nepuk pundaknya hingga kesadaran lelaki itu hilang.

"Jan, gua ngga pernah nyangka lo bakalan gini. Dan gua ngga bisa bayangin secape apa lo yang harus berubah-ubah kepribadian setiap kali ada yang berhubungan dengan masa lalu lo. Bertahan sampai akhir ya, Jan. Lo harus bisa berdamai sama Rajan"

- Lengkara di Ujung Senja-

Lelaki dengan kaos biru tosca itu berdiam di antara ramainya alun-alun kota malam ini. Dia sudah duduk sedari matahari masih tersenyum pada bumi.

Dia mengawasi mahasiswa-mahasiswa yang tengah berkeliling untuk mengerjakan observasi atau sedang syuting untuk video promosi organisasi kampus. Rasanya dia ingin berada di sana. Menjadi bagian orang-orang dengan almamater biru itu.

Dia menengguk obat yang telah di resepkan dokter untuk dirinya. Sebenarnya tanpa sepengatahuan adiknya dia telah berkonsultasi ke dokter kejiwaan sejak ia merasa ada yang aneh dalam dirinya. Dan dirinya sekarang tengah berobat jalan, alias sesekali harus cek up ke dokter untuk kondisi psikologisnya.

"Xanax?" Jeffri terkejut kala gadis yang ia kenal beberapa hari yang lalu berada di belakangnya.

"Ah, Anin?" Anin tersenyum kemudian duduk di samping Jeffri.

"Xanax? kam-"

"Iya, hehehe. Aku penderita panic disorder. Semanjak aku gagal masuk universitas aku selalu takut akan banyak hal. Aku stress saat itu. Saat aku mencoba untuk ujian ke lima kalinya, banyak pikiran-pikiran yang menganggu aku sampai akhirnya aku ngga maksimal dalam mengerjakannya. Bayang-bayang kegagalan sebelum-sebelumnya buat aku ngga fokus dan yah... seperti yang kamu tau. Tahun ini aku ingin coba lagi, tapi rasa takutku lebih besar akhirnya aku memilih untuk membiarkan adikku aja yang kuliah" Anin menyimak tiap kalimat yang terucap dalam mulut Jeffri. Nyatanya, baik Anugrah maupun Jeffri memiliki hal yang begitu menyakitkan di baliknya.

"Jeff, terima kasih sudah memilih bertahan dan ingin sembuh. Jangan khawatir, dunia punya hal yang baik ke depannya. Untuk kamu, ataupun untuk adik kamu. Tetap bertahan sampai akhir, ya"

Hallo guys
welcome to back heheh
plis yang tau tentang perobat2an kalo ada salah bisa koreksi yaaa, aku cuma riset di google aja...
jangan lupa vote komen
dan kritik saran juseyo
makasih
-salam dari author

Lengkara di Ujung Senja (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang