Angin tenang menerbangkan anak rambut gadis yang duduk diam di bibir pantai. Tangannya memegang kelapa muda yang baru saja ia beli. Di sampingnya ada lelaki yang sibuk memakan gorengan dan segelas kopi susu.
Manik gelap itu milik gadis itu terus menatap luasnya laut dihadapannya. Mengingat kenangan-kenangan kecil saat dia di laut di masa lalu. Tentang laut dan kebahagiaannya di masa lalu. Kata orang kita akan melupakan suara orang yang telah meninggal setelah tujuh tahun dan semakin lama kita akan melupakan wajahnya. Dia tak siap dengan hal itu.
"Nin?" Gadis itu terkejut kala telapak tangan lelaki di sampingnya menepuk pundaknya, memudarkan lamunannya.
"Ah, Jan. Kenapa?" Lelaki itu menatap Anin khawatir.
"Lo nggak papa?" Tanya lelaki itu lagi memastikan.
"Enggak astaga cuma kepikiran Kak Megan aja. Udah gua ngga papa, Januari"
Anin dan Januari masih betah berlama-lamaan di pantai. Bagi mereka pantai adalah tempat mereka lari dari segala problematika kehidupan mereka selama ini. Menjadi tempat di mana mereka bebas menjadi apapun yang mereka mau.
"Jan, lo kepikiran ngga si pengin kaya laut?" Celetuk Anin di tengah-tengah kebisuan mereka tadi.
"Maksudnya?"
"Laut itu lambang kebebasan. Warnanya yang biru itu menunjukan ketenangan. Lo tau ngga kenapa orang yang masuk ke dunia laut seolah enggan kembali ke bumi? karena mereka seolah dipeluk oleh dinginnya laut, tapi hati mereka menghangat. Gua ingin sebebas itu. Sebebas gulungan ombak yang memecah di karang tanpa rasa bersalah. Gua ingin bebas berekspresi seperti pohon kelapa yang melambai-lambai terkena angin. Keinginan gua sesederhana itu, Jan"
"Memang definisi bebas menurut lo apa, Nin?" Janu justru bertanya seolah tak ingin menimpali pernyataan Anin.
"Bebas menurut gua itu ketika kita bisa menjadi diri kita sendiri dan melakukan segala hal yang kita suka tanpa memikirkan perasaan orang. Dan bebas adalah keegoisan"
"Hm? kenapa keegoisan?" Lagi-lagi Janu penasaran dengan gadis di sampingnya.
"Karena bebas hanya dirasakan oleh diri sendiri aja. Ketika lo merasa bebas, belum tentu mereka bebas"
"Itu alasan lo sulit untuk mendapatkan kebebasan? karena lo ngga punya kemampuan untuk menjadi egois?"
"Heem. Simplenya begitu. Gua ngga bisa egois untuk kebahagiaan gua padahal ini hidup gua. Gua terlalu takut mengecewakan orang-orang di sekitar gua. Aku selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik. Sama kaya gua yang ingin menjadi yang terbaik untuk bunda sama ayah gua" Janu melihat ada pancaran ingin kebebasan dari mata Anin, tetapi gadis itu tak berani untuk keluar dari zona nyamannya.
"Emang orang tua lo maunya lo gimana?"
"Dokter. Ayah dokter spesialis jantung dan bunda dokter gigi. Kak Megan juga calon dokter. Kak Megan suka hal yang berbau keilmuan sedangkan gua enggak. Gua menyukai seni, Jan. Gua ngga tau darah siapa yang mengalir di tubuh gua sampai-sampai gua suka seni. Dua tahun ini gua coba kedokteran tapi gagal semua. Waktu pertama kali gua UTBK gua naro Farmasi dipilihan kedua dan Kedokteran dipilihan kedua tapi malah gua lolos dipilihan kedua. Rasanya sakit karena sampai detik ini gua ngga bisa menuhin harapan orang tua gua kaya Kak Megan yang selalu memenuhi ekspetasi orang tua gua" Setetes air mata Anin jatuh. Dadanya begitu sesak mengingat bagaimana cara dia bertahan sampai di titik ini.
"Kalau boleh tau Kak Megan meninggal kenapa?"
"Kak Megan menyerah saat dia tengah berjuang di masa-masa UTBK. Kak Megan memilih buat memeluk dinginnya sungai saat itu dan aku saat itu cuma bisa diam tanpa berniat menyelamatkan dia. Tapi, Jan yang buat rasa bersalah gua makin besar itu waktu Kak Megan nyelametin gua dari kecelakaan mobil waktu gua SD yang buat dia kehilangan pendengarannya" Anin masih mengingat dengan jelas bagaimana kakaknya itu tersimpuh di jalanan dengan darah yang mengalir dari telinganya.
"Kak Megan tunarungu?" Tanya Janu dengan hati-hati takut menyinggung perasaan Anin.
"Iya, Kak Megan tunarungu semenjak hari itu. Mimpi Kak Megan saat itu benar-benar hancur. Kak Megan jadi banyak ngelamun. Selama setahun setelah kejadian itu, Kak Megan mulai belajar bahasa isyarat sampai entah alasan apa Kak Megan memilih bunuh diri daripada berkawan dengan keadaan"
"Jadi lo bisa bahasa isyarat?"
"Bisa"
"Cantik"
"Jan?" Lelaki itu tersadar akan lamunanya. Dia hanya tersenyum kikuk sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Hehehe, engga. Btw bahasa isyarat lo cakep" Anin hanya mengucapkan terima kasih setelah itu mereka kembali fokus pada pikirannya masing-masing.
"Nin, lo tau ngga gua hidup sendiri dari SMP. Mama sama papa gua cerai saat itu. Gua selalu mendapatkan kekerasan dari orang tua gua sejak gua lahir. Gua lahir dari sebuah kesalahan yang orang tua gua lakukan. Mama gua ngga cinta sama sekali sama papa gua. Dia cuma menerima tanggung jawab papa gua yang ngehamilin dia. Sampai akhirnya gua lahir dan ternyata semua ngga berjalan seperti apa yang mama gua inginkan. Papa selalu melakukan kekerasan sama mama dan mama akhirnya memilih selingkuh sama cinta pertama dia. Mama selalu pulang mabok. Papa selalu nyiksa mama setiap malam. Gua stress berat waktu itu. Gua hampir bunuh diri tapi ternyata gua selamat sampai waktu SMP mama sama papa pisah dan gua tinggal sendiri."
"Lo mau adu nasib kah? antara siapa yang lebih sakit, gua atau lo?"
"Ngga ada yang bisa mengukur siapa yang lebih menderita antara gua atau lo dan ngga ada yang berhak mengukur penderitaan gua atau lo karena cuma lo yang tau seberapa terlukanya lo dan cuma gua yang tau seberapa terlukanya gua. Gua cuma membagi sedikit tentang gua, sama kaya lo yang membagi sedikit tentang lo. Kita sekedar bertukar cerita agar kita saling memahami satu sama lain bukan saling mengukur siapa yang lebih menderita di antara kita" Lagi-lagi Anin selalu terpana dengan tiap kata yang keluar dari lelaki dengan nama Janu itu.
"Jan?"
"Ngga papa. Kita sama-sama terluka. Kita sama-sama merasakan rasa sakit. Daripada kita saling membandingkan bagaiman jika saling menyembuhkan. Sekuat-kuatnya manusia dia ngga akan pernah bisa mengobati lukanya sendiri. Luka orang lain lebih terlihat dibandingkan luka kita, maka dari itu kita ngga bisa menyembuhkan luka itu sendiri dan kita butuh orang untuk membantu kita menyembuhkan luka. Anin, mungkin kita memang belum kenal lama, tapi lo mau ngga kalau lo sembuhin luka gua? dan gua akan menyembuhkan luka lo? kita akan saling menyembuhkan"
Hallo guys welcome to back
Gimana Anin sama Janunya wkwk
Gimana juga kabar kalian? baik ngga?
Btw jangan lupa vote and komen
kritik saran juseyo
-salam cinta dari author
KAMU SEDANG MEMBACA
Lengkara di Ujung Senja (Segera Terbit)
Teen FictionBagi Anindita, asumsi orang di sekitarnya adalah segalanya. Hidupnya bergelimpangan dengan komentar baik membuatnya merasa sempurna, seperti namanya. Sebelum akhirnya dia bertemu dengan Januari, lelaki dengan segala problematika kehidupan yang jauh...