Dua Puluh : Mencoba Mengobati

36 24 12
                                    

Suasana malam ini begitu dingin. Hujan baru saja mengguyur kota dengan begitu deras. Gemutuh guntur terdengar seolah langit sedang marah. Angin kencang menerbangkan dedaunan kering layaknya kenyataan yang menerbangkan harapan.

Gadis itu terus memandangi kota dari jendela yang berembun karena hujan. Tatapan kosong tetapi pikirannya bergemuruh. Matanya begitu berat untuk sekedar melihat sekitar. Seorang perawat mendatanginya sambil membawa alat-alat kesehatan.

"Nona Anin, kita ukur dahulu tekanan darah dulu" Anin hanya diam, tetapi tatapannya tak lepas dari jendela yang berembun itu.

"Kamu baru datang, bukan? bagaimana kabar kamu? ada yang buat kamu tidak nyaman?" Anin masih diam. Perawat itu hanya tersenyum tipis.

"Tekanannya normal. Istirahat yang cukup ya," Ucap perawat tadi sambil melepas tensimeter yang melekat pada lengan atas Anin.

"Permisi? aku ada di mana?" Perawat itu menghentikan langkahnya dan berbalik.

"Poli Kesehatan Jiwa" Jawab perawat itu sambil tersenyum.

"Pol-li Kesehatan Jiwa? kenapa? kenapa aku di sini?" Perawat itu tak menjawab. Hanya tersenyum. Perawat Poli Kesehatan Jiwa harus berhati-hati dalam berkata sebab ketika mereka salah satu kata saja maka semuanya akan berantakan.

"Aku baik-baik saja. Ak-"

"Kamu udah ngga waras lagi, Anindita, Kamu sakit!"

"Jangan bilang kamu juga kaya ayah? kamu juga nganggep aku gila? dengar ya, bu perawat, aku baik-baik aja. Aku benar-benar baik-baik aja. Jadi sekarang aku mau pulang!" Anin berlari menuju pintu. Perawat itu mencoba menghentikan Anin. Anin berlari sambil mengepalkan tangannya hingga kuku-kukunya melukai telapaknya hingga berdarah.

Anin menghentikan langkahnya. Memandang darah yang mulai mengalir dari telapak tangannya. Gadis itu mulai mengoleskan darahnya ke tembok seolah tengah melukis. Perawat tadi segera menghentikan tindakan Anin itu.

"Aku baik-baik aja! Engga aku ngga baik-baik aja! Aku baik-baik aja! Engga aku ngga baik-baik aja!" Semakin dicekal, Anin semakin brutal hingga diberi infus ativan. Perlahan tenaga Anin melemah. Dirinya mulai tenang matanya sayup-sayup hingga menutup sempurna.

Anin sudah tenang

3 jam sebelumnya

"Bun, Yah. Aku cuma mau sebagai bebek bukan sebagai angsa cantik yang kalian inginkan. Aku ingin di sayangi karena itu aku bukan karena aku sempurna. Aku ngga sesempurna itu karena pada nyatanya aku banyak luka" Anin terisak. Dia benar-benar ingin disayangi dengan ketidaksempurnaannya. Nyatanya mereka hanya melihat sisinya yang sempurna.

"Terus sekarang kamu mau gimana?"

"Ayah nanya sekarang aku mau gimana? yah, aku capek menuhin ekspetasi kalian. Aku merasa ini bukan aku. Orang yang ada dihadapan buk-"

"Lalu kenapa kamu selama ini diam? kenapa kamu ngga memberontak. Kenapa kamu tidak memberi tau ayah apapun tentang kamu. Ayah nggak pernah tau kalau kamu ngga pernah cerita!"

"Ayah tanya kenapa aku selalu diam? yah, sedari kecil aku selalu iri sama anak-anak lain yang dicintai apa adanya. Bahkan mereka dicintai meskipun mereka ngga sempurna. Aku ingin seperti itu, yah. Tapi, apa yang aku dapatkan? Ayah selalu banding-bandingkan aku sama Kak Megan. Aku benci kenyataan kalau aku ngga sepintar Kak Megan. Cara satu-satunya agar aku disayang adalah menjadi sempurna. Aku kira itu mudah, nyatanya ngga semudah itu hahaha. Aku tersiksa batin. Aku stress. Aku kehilangan jati diri. Aku merasa ini bukan aku yang aku kenal. Aku mati-matian belajar tetapi ayah bunda selalu mikir kalau aku kurang berusaha? yah! bun! aku sampai terkena radang otak asal kalian tau! dan saat ini aku udah ngga kuat. Aku udah di titik terendah aku. Aku capek, bun, yah. Aku ingin bebas. Aku ingin menjadi Anin dengan segala kekurangannya. Aku ingin dicintai apa adanya" Tanpa sadar Dinda meneteskan air matanya. Melihat putrinya begitu menderita karenanya membuatnya merasa gagal sebagai ibu. Begitupun dengan Rama yang hanya diam menerima fakta segamblang ini. Anin terus menangis, semakin mengiris-ngiris hati Rama dan Dinda.

"Kamu udah ngga waras lagi, Anindita. Kamu sakit" Anin mendongak. Menatap tak percaya ayahnya.

"Yah!"

"Kamu sakit ayo, kita berobat. Ikut ayah!" Rama menarik paksa Anin. Anin terus berusaha memberontak tetapi tenaganya tak sebanding dengan ayahnya.

"Lepasin, ayah. Ayah mau bawa aku kemana? ayah ngga capek bikin Anin tersiksa. Ayah ng-"

"Diam Anindita!" Anin mendadak diam. Kepala gadis itu mulai berat. Efek menangis terlalu lama. Lama-kelamaan kesadarannya mulai hilang dan akhirnya Anin pingsan dibahu ayahnya.

-Lengkara di Ujung Senja-

"Mas Ram" Rama menoleh, ternyata istrinya yang duduk di sebelahnya.

"Kita sebegitu kejam ya, mas? sampai Anin bi-bipolar?" Rama hanya diam teringat gambar abstrak yang ia temukan ditembok yang ditutupi gorden. Gambar abstrak yang Rama yakin seratus persen jika Anin yang menggambarnya menggunakan darahnya. Dirinya baru sadar bahwa Anin menyembunyikan luka-luka itu dibalik jam tangannya. Belum lagi dia menemukan botol vitamin yang ternyata isinya alphazolam. Ternyata Anin sudah sejauh itu.

"Gangguan bipolar adalah sebuah kondisi di mana pasien mengalami dua fase yaitu fase manik dan fase depresi. Saat pasien mengalami fase manik maka energinya akan terlampau besar dan setelah fase manik selesai maka pasien akan jatuh dalam depresi"¹

Ucapan psikiater terus berputar di otak Rama. Anin selama ini selalu menaati perkataannya dan hidup sempurna. Anin selalu terlihat ceria setiap kali bertemu dengan dirinya. Tetapi ternyata banyak luka yang ia pendam karena itu membuat dirinya kehilangan kewarasannya.

Saat bipolarnya muncul maka kepribadian Anin akan berubah seratus delapan puluh derajat. Saat fase manik maka Anin akan memiliki banyak energi dan tertawa seolah menjadi manusia paling bahagia di bumi. Tetapi Anin cepat mengganti topik dan mudah terganggu perhatiannya. Anin sangat pandai bergaul, dan selalu ingin sempurna. Begitulah Anin. Seorang Anindita yang sempurna seperti namanya.²

Rama menghembuskan nafasnya berat. Pikirannya dipenuhi rasa bersalah pada putrinya. Ternyata luka terparah yang Anin terima adalah dari dirinya. Dia selama ini mencoba menjadi ayah yang baik. Dia ingin Anin sukses ke depannya. Dengan menjadi dokter maka masa depan Anin akan terjamin. Dia hanya ingin Anin bahagia tanpa kekurangan apapun ke depannya.

Ternyata dia salah. Anin malah menderita karenanya. Anin bahkan gila karenanya. Semua karena dia. Rama menangis untuk pertama kalinya sejak lima tahun yang lalu. Dia ingin sekali meminta maaf pada Anin sambil memeluknya seperti seorang ayah pada putrinya.

Kali ini dia ingin menjadi Ayah Rama bukan sebagai dr. Rama. Dia ingin menjadi sosok ayah yang menjadi alasan anaknya tertawa setiap kali bersamanya. Dinda tiba-tiba memeluknya.

"Kamu udah hebat kok. Kamu udah berusaha menjadi ayah yang baik untuk putri kecil kita. Mari sekarang kita perbaiki hubungan dengan putri kita"

"Semua orang pernah mengalami kesalahan. Itu wajar. Jadi, mari kita jadikan kesalahan itu menjadi alat intropeksi diri dan menjadi lebih baik lagi"

¹ : drama daily dose of sunshine eps 1
² : drama daily dose of sunshine eps 1

Hallo guys welcome back!
Gimana kabar kalian hehshe
btw kalau aku ada salah kata dalam narasi tentang bipolar bisa koreksi ya!!
jangan lupa vote dan komen
kritik saran juseyooo~~~
-salam cinta author

Lengkara di Ujung Senja (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang