Malam tak berbintang saat itu menemani perjalanan pulang Janu bersama Harsa. Sejak Harsa berucap saat itu, Janu lebih banyak diam. Dia lebih memilih untuk mendengar deru angin daripada ocehan Harsa saat di jalan, sampai-sampai ia tak sadar bahwa Fauzi itu telah membawanya sampai depan gang rumahnya.
"Jan?" Masih tak ada balasan. Lelaki itu masih sibuk dengan pikirannya.
"Januari! lo ngalamun?" Janu tersentak akan lamunannya.
"Hah? eh, udah sampai hehehe. Btw makasih ya, Har. Hati-hati di jalan" Janu mencopot helm yang sengaja Harsa bawa di jok motor lalu pergi begitu saja. Harsa hanya memandang sahabatnya itu sampai punggungnya tak terlihat lagi.
"Ma?" Janu terkejut saat wanita paruh baya tengah duduk di teras rumahnya. Wanita ternyata bau alkohol dan setengah mabuk.
"Rajan? udah balik, hehe" Janu hanya diam menatap wanita yang telah melahirkannya.
"Ini mama, Jan. Kamu lupa kah?" Wanita itu memeluk Janu. Sayangnya Janu hanya masih mematung tak membalas pelukan itu.
"Mama kenapa di sini?" Nada bicara Janu kali ini mendingin. Seolah ia tak ingin berurusan dengan wanita dihadapannya.
"Pamanmu yang bawa mama ke sini hehehe. Emang ngga boleh ya kalau mama berkunjung ke tempat tinggal anaknya?"
"Setelah apa yang mama lakuin ke aku, mama masih menyebut diri mama, mama? Bahkan mama ngga pantes disebut mama" Janu mendorong wanita itu, melepas pelukan mereka.
"Ya! harusnya kamu berterima kasih sama mama karena mama lebih milih buat melahirkan kamu di saat keadaan memaksa mama buat gugurin kamu"
"Mama ngga pernah cinta sama papa kamu. Mama cuma cinta sama Mas Dena. Cuma papa kamu yang menghancurkan hidup mama! kamu itu kesalahan terbesar mama dalam hidup mama! Ah, tapi ternyata anak mama ini tumbuh menjadi pria yang tampan hehehe, jadi seenggaknya mama ngga nyesel-nyesel banget hehehe" Sebulir air mata Janu terjatuh. Tidak, dia tak bisa menahan air matanya. Kalimat mamanya benar-benar menyakitkan.
"Lalu kenapa mama memilih buat melahirkan aku?"
"Em? Iya, ya? kenapa mama milih buat melahirkan kamu? hahaha"
"Ma! Kenapa mama lahirin aku kalo mama sendiri yang bikin aku terluka. Kenapa mama milih buat nyakitin aku sekarang daripada membunuh aku dulu? Jawab ma! Kenapa mama ngga gugurin aku aja, ma? Ma, aku darah daging, mama. Ak-"
"Diam! kamu itu anak pembawa sial! kamu yang buat hidup mama berantakan. Mama stress karena kamu hadir dalam hidup mama. Kamu tanya kenapa mama milih buat ngelahirin kamu? Papa kamu yang berjanji buat tanggung jawab buat nikahin mama. Mama kira semua akan selesai sampai di situ tapi mama salah. Semuanya ngga selesai sampai di situ. Mertua mama terus stress sampai Mas Dean datang kembali buat mama kembali merasakan hidup. Buat mama bisa bebas dari penjara yang dibuat papa kamu. Mama benci papa kamu! mama juga benci kamu karena kamu mirip papa kamu! Agghhh! brengsek Dimas!"
"Mama kamu ini jalang jadi pantes disiksa"
"Kamu harus tau kalo kamu lahir karena kelakuan busuk mama kamu"
"Pa, aku iri sama temen-temenku. Aku ingin keluarga yang harmonis"
"Mama benci kamu, Jan"
"Rajan! jangan dekat-dekat papa. Kamu lahir dari rahim wanita itu"
"Mama pergi, Jan"
"Papa jangan sakiti mama lagi"
"Jan, jangan kalau kamu sudah besar jangan kaya papa kamu, ya?"
"Ma, kenapa mama kembali lagi setelah banyak luka yang aku dapatkan dari mama? kenapa mama muncul lagi dengan bawa luka baru lagi? kenapa mama seolah-olah selalu buat aku luka, ma? Ma, setiap kali aku mendapatkan kasih sayang dari orang lain aku selalu merasa takut. Aku takut mereka salah memberikan rasa sayang mereka padaku. Mama tau kenapa? karena sepanjang aku hidup, aku tak pernah mendapatkan kasih sayang, ma. Ma, mungkin aku memang lahir dari kesalahan mama dan papa tapi apa aku ngga boleh mendapatkan kasih sayang kalian? Ma, aku ingin kaya mereka, ma. Aku ingin di setiap prosesku mama selalu bilang kerja bagus, Rajan. Mama bangga sama kamu. Ma, aku cuma mau diakui sebagai anak, ma. Bukan sebagai kesalahan atau sebagai alat pelunas utang mama. Aku anak mama, kan?" Sandra hanya menatap anaknya dengan tatapan tak bisa dijelaskan sebelum akhirnya matanya tertutup. Efek alkohol lebih memenangkan dirinya dibanding kesadarannya. Janu membawa Sandra dalam rumahnya. Janu mengunci rumahnya dan ia pergi menenangkan dirinya. Banyak fakta yang seharusnya ia tak tahu.
"Aghhh! Brengsek! Bajingan!" Buku-buku tangannya mengeluarkan cairan merah kental ketika kerasnya tulang beradu dengan kerasnya batang pohon.
"Aghh! Breng-"
"Engga, Jan!" Sepasang tangan melingkari pinggangnya dari belakang. Tangan kecil yang begitu asing bagi dirinya.
"Jangan, Jan" Janu berbalik. Sosok gadis kuncir kuda yang ia temui di rooftop kampus berada dihadapannya.
"Jangan menyakiti diri sendiri, Jan" Mendengar kalimat itu, Janu terduduk seketika. Menahan air matanya agar tak jatuh.
"Kenapa lo ke sini"
"Gua mau pulang terus liat lo kaya orang gila," Ucap Anin sambil menyedot susu pisangnya.
"Gua keliatan segila itu, ya?"
"Engga. Nggak papa sekali-kali lo terlihat gila buat melampiaskan emosi lo. Wajar kok" Janu tertawa sumbang. Nyatanya dia bisa segila itu.
"Lo pasti habis nangis, Nin. Mata lo merah" Anin menoleh, memandang kesal lelaki di sampingnya itu.
"Lo juga nangis ya! liat tuh mata lo bengkak kaya zombie"
"Dih, mana ada gua nangis. Lo kali yang nangis" Anin hanya memutar bola matanya malas. Niatnya membantu lelaki di sampingnya malah berujung dia yang memerlukan bantuan untuk mengalahkan argumen Janu.
"Jan, lo lahir Bulan Januari ya?" Entah ada angin apa, tiba-tiba Anin menanyakan hal random seperti itu.
"Sok tau"
"Dih, kan nama lo Januari. Pasti lahirnya Bulan Januari lah"
"Salah, gua lahir Bulan Juli. Emang kenapa lo nanya begitu?"
"Kadang lo perlu pertanyaan-pertanyaan random buat lo tetap waras, Jan. seenggaknya lo punya lawakan yang buat hidup lo ngga serius-serius banget. Seenggaknya lo punya alasan buat melupakan sejenak masalah lo dan buat lo inget kalo lo manusia bukan malaikat" Ucapan Anin membuat Janu terdiam. Sejenak Janu kagum dengan pola pikir Anin. Lagi-lagi gadis seolah kerang yang ketika kita buka isinya akan semenakjubkan itu.
"Kenapa lo masih mau temenan sama gua?"
"Hm? emang salah kalo gua temanan sama lo?"
"Gua nggak bisa memperlakukan lo kaya lo memperlakukan gua. Gua bukan manusia yang tumbuh dari kasih sayang orang di sekitarnya. Gua ngga tau cara memberikan kasih sayang ke orang yang menyayangi gua" Anin menatap lamat-lamat bola mata pekat itu. Meniti setiap kesedihan yang bersembunyi di balik indahnya netra pekat itu.
"Di dunia ini, ngga ada hidup yang mudah. Kita emang ngga melihatnya, tapi masing-masing punya masalahnya sendiri. Gua, akan coba memaklumi kekurangan lo dan mencoba buat memperbaikinya"
Hallo guys!
welcome to back!
maaf ya kalo lagi-lagi ngga ngefeel
btw gimana kabar kalian?
baik kan?
jangan lupa support karya ini dengan vote dan komen
jangan lupa kritik dan sarannya kaka
-salam cinta dari author
KAMU SEDANG MEMBACA
Lengkara di Ujung Senja (Segera Terbit)
Teen FictionBagi Anindita, asumsi orang di sekitarnya adalah segalanya. Hidupnya bergelimpangan dengan komentar baik membuatnya merasa sempurna, seperti namanya. Sebelum akhirnya dia bertemu dengan Januari, lelaki dengan segala problematika kehidupan yang jauh...